Minggu, 08 November 2015

SEJARAH HUKUM KEHUTANAN DI INDONESIA

A.    Sejarah hukum kehutanan di Indonesia

Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

1.  1.   Sebelum Penjajahan

 

Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.


Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hokum adat. Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.

Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian. Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman.

Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur  hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu. Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara.

Berbeda halnya dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa. Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya.

2.      Masa Penjajahan

Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:

a.  Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)

Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan.


Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC.

Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai

sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang

berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon msampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya

pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadidomeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya.Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente).

Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam.Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni.

Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.

Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepadademang (petinggi) desa tersebut.

b.  Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)

Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati.

c.  Masa penjajahan Jepang (1942-1945)

    Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturanperaturan Militer Jepang.


   Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaituBoschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932)

 

3. Masa setelah kemerdekaan

Dalam masa ini terbagi menjadi 3 masa, yaitu :

a)  Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)

Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto.

Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun.Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.

b) Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)

Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya

c) Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)

Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).

B. Pengertian Hutan dan Kawasan Hutan

      Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.  Menurut  Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu  kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alam lingkungan, yang satu dengan  yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :

a)   Suatu kesatuan ekosistem

b)   Berupa hamparan lahan

c)  Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

d)  Mampu memberi manfaat secara lestari.

Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi.  Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia.

Untuk dapat dikategorikan hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan secara alami, dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah, dan menghasilkan tumpukan bahan organic/seresah yang sudah terurai maupun yang belum, di atas tanah mineral. Terdapat unsur-unsur lain yang berasosiasi, antara lain tumbuhan yang lebih kecil dan berbagai bentuk kehidupan fauna.[15]

Sedangkan kawasan  hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001  tentang Penetapan  Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.  Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi:

a)      suatu wilayah tertentu

b)      terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan

c)      ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan

d)     didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Dari unsur pokok yang terkandung  di dalam definisi kawasan  hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan.   Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik,  hidrologi dan ekosistem, maka luas  wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.

Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan,  maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :

a)      wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap

b)      wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan   dipertahankan sebagai hutan tetap.

 

Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan  dalam Peraturan  Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat  (2), sebagai berikut :

a)      Kawasan Hutan  Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan  Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.

b)      Hutan Lindung

c)      Hutan Produksi

 

C.   Asas dan tujuan hukum kehutanan

1)      Asas Asas Hukum Kehutanan

Sebelum membicarakan asas hokum kehutanan perlu dikemukakan pengertian asas hokum.Menurut Van Eikema homes asas hokum itu tidak boleh dianggap sebagai norma hokum konkret.Akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hokum yang berlaku.Pembentukan hokum  praktis perlu beroreintasi pada asas hokum tersebut.Dengan kata lain, asas hokum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hokum positif.

Asas bukanlah kaedah hokum yang konkrit melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat konkrit dan bersifat umum atau abstrak,.Pada umumnya asas peraturan yang konkrit dan yang dalam peraturan hokum konkrit

Untuk menemukan asas-asas hokum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah atau peraturan konkrit.Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang terdapat dalam ketentuan yang konkrit itu.Dari hasil analisis terhadap berbagai peraturan prundang-undangan kehutanan, dapat dikemukakan asas hokum kehutanan yang paling menonjol antara lain:

a)      Asas Manfaat

Asas manfaaat mengandung makna bahwa pemanfaaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk keakmuran rakyat banyak(lihat pasal 13 ayat (1) UU No 5 tahun 1967).

b)      Asas kelestarian

Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberiakan manfata yang terus-menerus(lihat pasal 13 ayat (2) UU no % tahun 1967 jo. Pasal 3 peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990 Hak pengusahaan hokum tanaman industri).tujuan asas kelestarian hutan adalah:

·          1.  Agar tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi (production gap) dari jenis kayu pergangan (commercial treepecies) pada rotasi(cutting cycle) yang berikut dan seterusnya

·             2.  Untuk penyelamatan tanah dan air (soil and water)

·             3.  Untuk perlindungan alam

c)      Asas Perusahaan

Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan financial yang layak(lihat pasal 13 ayat(2) UU nomor 5 tahun 1967 jo peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990

d)      Asas Perlindungan hutan

Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hokum harus ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia.

 

2)      Tujuan Hukum kehutanan

Tujuan hokum kehutanan adalah melindungi, memanfaatan, dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hukum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan kehutanan.Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu, hokum hokum kehutanan disebut sebagai lex specialis, sedangkan hokum lainnya seprti agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum (lex specialis derogate legi generalis)

 

D.    Status dan Fungsi  Hutan

1)      Status Hutan

Menurut pasal 5 UU No 41 1999 tentang kehutanan, Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: 

·  Htan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

 

·  Hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB).

2)      Fungsi hutan

Hutan mempunyai tiga fungsi, menurut pasal 6 ayat (1)  UU No 41  tahun 1999 tentang kehutanan  yaitu: 

·      fungsi konservasi,

·      fungsi lindung, dan

·      fungsi produksi.

 

Berdasarkan tiga fungsi tersebut, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.


1) Hutan Konservasi

Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam.

a) Hutan Suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru

b) Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam

2) Hutan Lindung

 

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan

3)   Hutan Produksi

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonservasikan (HPK).

Secara umum fungsi hutan adalah untuk kehidupan Sebagai bagian dari cagar lapisan biosfer, hutan memiliki banyak fungsi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan makhluk di muka bumi.Tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun sangat memerlukan hutan untuk kelangsungan hidupnya.

Allah menciptakan hutan bukan sekedar melengkapi keindahan bumi-Nya, namun di sini lah kita akan menemukan fungsi hutan yang sangat penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi. Ada beberapa fungsi hutan yang sangat vital bagi kehidupan makhluk di bumi, diantaranya adalah sebagai berikut;

1. Menghasilkan Oksigen bagi Kehidupan

 

Hutan adalah kumpulan pepohonan yang berperan sebagai produsen oksigen. Tumbuhan hijau akan menghasilkan oksigen dari hasil proses fotosintesis yang berlangsung di daun tumbuhan tersebut. Dengan jumlah pepohonan yang cukup luas, tentunya hutan akan memberikan suplay kebutuhan oksigen yang cukup besar bagi kehidupan di muka bumi ini. Bisa Anda bayangkan bagaimana bumi ini tanpa hutan. Sebagai contoh saat kita berada di kawasan padang tandus yang tidak ditumbuhi pepohonan hijau, apa yang Anda rasakan? Dan setelah itu cobalah berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tentu akan terasa jelasperbedaan suasana yang kita rasakan. Begitulah fungsi hutan sebagai penyedia oksigen kehidupan.

2. Menyerap Karbon Dioksida

 

Karbon dioksida dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis.Sebuah keseimbangan alam yang luar biasa telah Allah ciptakan untuk kehidupan manusia. Karbon dioksida adalah gas berbahaya apabila dihirup secara berlebih oleh manusia. Sebagai contoh Anda menghirup asap kendaraan bermotor, ini jelas akan sangat membahayakan manusia.Namun ternyata di sisi lain tumbuhan memerlukan gas tersebut untuk menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan makhluk bumi.Keberadaan hutan yang luas di muka bumi, akan memberikan peluang penyerapan karbon dioksida yang lebih besar. Akibatnya udara di muka bumi akan bersih dan jumlah oksigen yang dihasilkan hutan pun akan semakin besar.Inilah fungsi hutan yang cukup luar biasa Allah ciptakan untuk manusia.Anda tentu masih sangat familiar dengan istilah efek rumah kaca alias pemanasan global. Inilah peran tersebut. Gas penyebab efek rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2).

3. Mencegah Erosi

 

Keberadaan kawasan hutan yang luas juga akan membantu mencegah erosi atau pengikisan tanah. Pengikisan tanah dapat disebabkan oleh air. Hutan yang luas akan menyerap dan menampung sejumlah air yang besar. Akibatnya banjir dan tanah longsor dapat dikembalikan. Kawasan yang tandus dan gersang biasanya akan rawan dengan bencana longsor. Inilah fungsi hutan yang lain dan kerap kita lupakan. Para penebang hutan secara liar melakukan penggundulan hutan tanpa rasa tanggung jawab terhadap keselamatan bumi. Mereka sebenarnya tak hanya berkhianat kepada banyak orang, tapi juga kepada bumi sebagai tempat tinggal mereka.

 

4. Kawasan Lindung dan Pariwisata

 

Hutan juga berfungsi sebagai tempat untuk melindungi aneka hewan dan tumbuhan langka. Habitat mereka dilestarikan di kawasan hutan khusus. Di samping itu hutan juga dapat berfungsi sebagai objek penelitian, tempat wisata dan berpetualang.



-Nasrah Sandika

 

Selasa, 05 Mei 2015

PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA



DEFENISI PLURALITAS

Pluralitas berasal dari bahasa inggris “plural” yang berarti banyak, majemuk. Dalam beberapa kamus bahasa Inggris, paling tidak ada tiga pengertian,

pengertian kegerejaan; sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan.

pengertian filosofis; sistem pemikiran yang tidak hanya berlandaskan pada satu hal.
pengertian sosio-politis; mengakui adanya perbedaan dalam segala hal dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan diantara kelompok-kelompok tersebut.
Sedangkan dalam kamus ilmiah popular, pluralitas adalah kejamakan, orang banyak. Atau bisa juga diartikan sebagai keberagaman.


DEFINISI PLURALITAS AGAMA
Sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai pluralitas agama, ada baiknya kita mengetahui definisi dari agama itu sendiri.
Agama berasal dari bahasa sanskerta “a”yang berarti tidak, dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, secara etimologi agama adalah sesuatu yang tidak kacau(teratur). Dari segi istilah, agama dapat dirtikan sebagai suatu hal yang mencakup tentang keyakinan (kepercayaan) dan cara-cara peribadatan yang ditujukan kepada Tuhan, serta mengkaji tentang berbagai amalan (tindakan) yang ditujukan kepada sesame manusia.

Dari kedua uraian diatas (pluralitas dan agama), dapat diambil kesimpulan bahwa pluralitas agama adalah suatu keragaman agama yang terkumpul dalam suatu masyarakat tertentu. Seseorang bisa disebut manusia yang berpluralitas (agama) jika dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan dalam agama tersebut. Dengan kata lain, dalam pluralitas agama, tiap pemeluk agama dituntut untuk mengakui adanya berbagai agama sebagai sunnatullah. Artinya, tidak mungkin bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Lebih dari itu, tiap pemeluk agama tidak hanya mengakui adanya perbedaan agama, tapi juga memahami dan menghormati perbedaan tersebut sehingga memunculkan suatu persatuan yang kuat dalam suatu masyarakat tersebut

PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA
Seperti yang diketahui bahwa indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan kebudayaan. Seperti motto negara negara kita Bhinneka Tunggal Ikayang artinya Berbeda-beda tetapi tetap satu. Karena itulah di Indonesia terdapat bermacam macam agama. Yang diakui oleh pemerintah ada 5 agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Islam sendiri menjadi agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. 

Selain kelima agama yang diakui pemerintah tadi masih banyak agama lain yang tidak diakui oleh pemerintah. Setiap warga negara Indonesia diwajibkan untuk memeluk salah satu dari kelima agama yang diakui oleh pemerintah. Sesuai dengan sila 1 pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memilih agama yang ingin mereka peluk dan semua diatur dalam Undang-undang. Karena itu seorang warga negara Indonesia tidak boleh dipaksa dalam memilih suatu agama.Banyak yang pro dan kontra dengan konsep pluralitas agama di Indonesia ini. 


a. Pro Pluralitas.
Bagi yang pro pruralitas agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang positif. Ini disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama. Dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal dari masa lalu yang tidak bisa dirubah. Sehingga keberagaman ini memang harus dipertahankan dan setiap umat agama harus bisa menghormati umar agama lain. Selain itu bagi kelompok pro prutalitas beranggapan bahwa islam juga harus mencerminkan salah satu ajarannya yakni sikap toleransi. Dengan mencerminkan sikap toleransi ini maka umat Islam juga dapat mencerminkan ajaran agamanya kepada penganut agama lain, bahwa islam itu toleran dan tidak radikal.


Selain itu bagi kelompok pro pluralitas ini mereka juga mengutamakan kesatuan dari NKRI. Sesuai dengan sejarah perumusan sila pancasila pertama bahwa pada saat itu para pendiri bangsa juga sempat berdebat apakah Indonesia akan dijadikan negara Islam atau negara dengan keberagaman agama. Tapi pada akhirnya Indonesia dijadikan negara dengan keberagaman budaya dan agama. Dan kelompok pro pluralitas beranggapan bahwa warisan sejarah dari para pendiri bangsa ini harus dipertahankan. Karena itu setiap kebijakan dalam pemerintahan haruslah menguntungkan semua umat beragama dan jangan hanya menguntungkan satu umat saja.

b. Kontra Pluralitas
Bagi kelompok kontra pluralitas, pluralitas dianggap bisa mengancam kemurnian ajaran suatu agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing masing yang berbeda dari agama lain. Dan ketakutan para kelompok kontra pluralitas ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap agama akan saling bercampur baur dengan ajaran agama lain. Selain itu jika dilihat dari praktek dilapangan, sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh adalah ketakutan kristenisasi di daerah islam dan islamisasi di daerah kristen membuat setiap penganut agama akan sedikitmenutup diri dari prnganut agama lain.


Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat indonesia memungkinkan terjadi banyak keberagaman dalam islam itu sendiri. Keberagaman dalam islam bisa dilihat dari adanya aliran islam seperti 2 aliran terbesar yang ada di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Selain 2 aliran terbesar di Indonesia tadi masih banyak juga aliran islam lainnya di Indonesia, seperti wahabi, syiah, LDII, dan masih banyak lagi. Setiap aliran islam tersebut mempunyai ciri masing masing yang tidak dimiliki oleh aliran lain. Keberagaman dalam islam ini tentunya menyebabkan perbedaan dalam penentuan kebijakan agama islam di Indonesia, seperti penentuan hari raya, penentuan awal bulan ramadhan karena setiap aliran mempunyai dasar masing masing dalam penentuan kebijakan agama tersebut.

1. NU
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstremaqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidangteologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'idan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imamHanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah.

Sikap tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal zhanniyyat.

2. Muhammadiyah

Organisasi Muhammadiyah didirikan olehK.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330H). Nama "Muhammadiyah" diambil dari tokoh pembaharu dari Mesir bernama Muhammad Abduh seorang cendekiawan dari Mesir. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan ajaran islam yang sudah dianggap melenceng karena bercampur baur dengan kebudayaan lokal. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.

Pluralisme (bahasa Inggris:pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham.
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula:
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif  bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.


Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagaidenominasi dalam satu agama.
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah. 

Pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkanfatwa melarang paham pluralisme dalam agama Islam. Dalam fatwa tersebut, pluralisme didefiniskan sebagai""Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". 

Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalanganMuslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.


Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang sedikit banyak dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini. 

Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.  Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang boleh jadi terdapat pada umat.sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15) 

Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. 


Indonesia sebagai Negara multikultural, yang memiliki keanekaragaman baik dalam hal bahasa,suku,ras/etnis dan  agama khususnya memang rawan terjadi konflik.  Tuduhan bahwa agama ikut andil dalam memicu konflik atau bahkan sebagai sumber konflik yang terjadi antar umat beragama memang sulit dibantah. Di Indonesia sendiri ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam,Kristen,Katolik,Hindu,Budha,dan Khonghucu. 

Agama merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akhirat,yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan-Nya,beradab dan manusiawi yang berbeda dari cara-cara hidup hewan atau mahkluk lainnya. Jadi tidak seharusnya agama menjadi faktor penyebab konflik. Karena agama sendiri sebagai sistem keyakinan bisa menjadi bagian  inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.


Namun pada kenyataannya di Indonesia saat ini masih sering terjadi konflik antar umat beragama. Masih kurangnya rasa saling pengertian  dan pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain serta kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat menjadi sebab timbulnya ketegangan yang akhirnya memicu terjadinya konflik. Adanya sikap etnhosentrisme yang menganggap agamanya lebih baik daripada yang lain membuat potensi konflik menjadi semakin nyata. Menurut Malinowski bahwa agama mendatangkan akibat-akibat lain disamping keyakinan dan keharmonisan yang meningkat,ia juga dapat menimbulkan berbagai konflik dengan  kelompok-kelompok masyarakat lain.

Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan ideologi Negara yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang mencerminkan karakter dan kepribadian bangsa. Pancasila sebagai ideologi terbuka senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Di era globalisasi saat ini nilai-nilai Pancasila sudah semakin memudar dalam pribadi bangsa Indonesia terutama dalam generasi muda penerus bangsa. Pancasila seolah-olah hanya sebagai simbol pemersatu kita saja tanpa memaknai lagi hal-hal yang terkandung di dalamnya. Ironis memang, Indonesia yang terkenal dengan masyarakat multikultural justru bersikap anarkis ketika menghadapi konflik antar umat beragama tersebut.  

SOLUSI ATAS KONFLIK BERAGAMA DI INDONESIA
Berikut ada beberapa hal yang dapat dijadikan solusi atas pemasalahan tersebut:

1. Dialog Antar Agama
Untuk mengatasi hubungan yang tidak harmonis antar umat beragama dan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalah, maka H.A. Mukti Ali, sebagai Menteri Agama, pada tahun 1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya dialog agama. Dalam dialog kita tidak hanya saling beradu argumen dan mempertahankan pendapat kita masing-masing yang dianggap benar. Karena pada dasarnya  dialog agama ini adalah suatu percakapan bebas,terus terang dan bertanggung jawab yang didasari rasa saling pengertian dalam menanggulangi masalah kehidupan bangsa baik berupa materil maupun spiritual.

Diharapkan dengan adanya dialog agama ini tidak terjadi kesalahpahaman yang nantinya dapat memicu terjadinya konflik. Didalam artikel tersebut juga dikatakan bahwa dialog antar umat beragama digunakan sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara umat Muslim dan umat Protestan
Pendidikan Multikultural


Perlu ditanamkannya pemahaman mengenai pentingnya toleransi antar umat beragama sejak dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebagai Negara yang memiliki keanekaragaman kita harus saling menghormati dan menghargai antar sesama. Apalagi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam hal adat-istiadat,suku,ras/etnis,bahasa dan agama. Perbedaan yang ada tersebut jangan sampai membuat kita tercerai berai. Namun sebaliknya perbedaan yang ada tersebut kita anggap sebagai kekayaan bangsa yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perlunya ditanamkannya rasa nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri generasi penerus bangsa sejak dapat membuat mereka semakin memahami dan akhirnya dapat saling menghargai setiap perbedaan yang ada.

2. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama,tidak memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama.

3. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.

4. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti luhur dan akhlakul karimah.

Solusi tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sikap toleransi yang harus dimiliki agar tidak lagi terjadi konflik antar umat beragama di Indonesia.


-Nasrah Sandika




Sumber :

Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004 
Husaini, Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003 
Imarah, Muhammad. 1999. ISLAM DAN PLURALITAS Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan. Jakarta : Gema Insani Press.
Keputusan Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme
Thayib dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997