A. Sejarah
hukum kehutanan di Indonesia
Pembahasan perkembangan
hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu
pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia
Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.
1. 1. Sebelum Penjajahan
Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hokum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.
Hukum
yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hokum adat. Iman Sudiyat
menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia
Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman,
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena
dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang
merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang
ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
Era zaman sebelum
masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di
nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba
kesaktian. Alam
kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan
pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami
menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian,
sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian. Pada
masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan
masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman.
Sedangkan pada zaman
Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah
Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja
tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang
mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja
ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah
hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu. Hemat
kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada
di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan,
yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara.
Berbeda halnya dengan di
Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan
Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah
dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa.
Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum berada dalam
kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah)
atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya
dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil
hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan
sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk
desanya.
2. Masa Penjajahan
Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:
a. Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)
Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan.
Pada
waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction),
para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang
tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk
tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang
yang diperoleh VOC.
Sejak tahun 1620 kompeni
mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai
atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%).
Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang
bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan
mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai
sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang
sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni
memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah
kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam
(hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau
karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang
dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang
berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa
mulai dari Cirebon msampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan
kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein)
dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun,
terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh
menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini
dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Dari
gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama,
sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada
beralihnya
pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan)
dari domein raja menjadidomeinnya kompeni. Raja tak
lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya.Namun pun demikian, hasil hutan
berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati.
Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente).
Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum
kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih
diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi
sumber daya alam.Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati
hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang.
Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin
kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu
untuk kepentingan kompeni.
Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678
tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami
bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina
dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu.
Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka
wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan) dipegang
oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.Banyaknya kasus kerusakan hutan di
berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha
tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan
tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan
dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.
Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi
hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan
hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa
tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang
bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan,
harus minta izin kepadademang (petinggi) desa tersebut.
b. Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)
Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati.
c. Masa penjajahan Jepang (1942-1945)
Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturanperaturan Militer Jepang.
Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaituBoschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932)
3. Masa setelah kemerdekaan
Dalam masa ini terbagi menjadi 3 masa, yaitu :
a) Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)
Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto.
Di
daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya
Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang
kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan
macam apapun.Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan
tidak lagi berlaku.
b) Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)
Tak
lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
(UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi
kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie1927
yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya
c) Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)
Rezim
Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan
reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai
dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan
produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah
satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (UUK).
B. Pengertian Hutan dan Kawasan Hutan
Hutan
secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alam lingkungan, yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang
meliputi :
a) Suatu kesatuan ekosistem
b) Berupa hamparan lahan
c) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
d) Mampu memberi manfaat
secara lestari.
Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan,
merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan
terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai
subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia.
Untuk dapat dikategorikan
hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk yang cukup rapat,
sehingga merangsang pemangkasan secara alami, dengan cara menaungi ranting dan
dahan di bagian bawah, dan menghasilkan tumpukan bahan organic/seresah yang
sudah terurai maupun yang belum, di atas tanah mineral. Terdapat unsur-unsur
lain yang berasosiasi, antara lain tumbuhan yang lebih kecil dan berbagai
bentuk kehidupan fauna.[15]
Sedangkan
kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan
Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan
tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi:
a) suatu
wilayah tertentu
b) terdapat
hutan atau tidak tidak terdapat hutan
c) ditetapkan
pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan
d) didasarkan
pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Dari unsur pokok yang
terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan
dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan
hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang
sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat
serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem,
maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan
hutan adalah 30 % dari luas daratan.
Berdasarkan kriteria
pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan
peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :
a) wilayah
yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap
b) wilayah
tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan
tetap.
Pembagian kawasan hutan
berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu,
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2),
sebagai berikut :
a) Kawasan
Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam
dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.
b) Hutan Lindung
c) Hutan Produksi
C. Asas dan tujuan hukum kehutanan
1) Asas Asas Hukum Kehutanan
Sebelum membicarakan asas hokum kehutanan perlu dikemukakan pengertian asas hokum.Menurut Van Eikema homes asas hokum itu tidak boleh dianggap sebagai norma hokum konkret.Akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hokum yang berlaku.Pembentukan hokum praktis perlu beroreintasi pada asas hokum tersebut.Dengan kata lain, asas hokum ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hokum positif.
Asas bukanlah kaedah hokum yang konkrit melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat konkrit dan bersifat umum atau abstrak,.Pada umumnya asas peraturan yang konkrit dan yang dalam peraturan hokum konkrit
Untuk menemukan
asas-asas hokum tersebut harus dicari sifat umum dalam kaidah atau peraturan
konkrit.Hal ini berarti menunjuk pada kesamaan yang terdapat dalam ketentuan
yang konkrit itu.Dari hasil analisis terhadap berbagai peraturan
prundang-undangan kehutanan, dapat dikemukakan asas hokum kehutanan yang paling
menonjol antara lain:
a) Asas Manfaat
Asas manfaaat mengandung
makna bahwa pemanfaaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk keakmuran rakyat banyak(lihat pasal 13 ayat (1) UU No 5
tahun 1967).
b) Asas kelestarian
Asas kelestarian
mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus senantiasa
memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberiakan manfata
yang terus-menerus(lihat pasal 13 ayat (2) UU no % tahun 1967 jo. Pasal 3
peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990 Hak pengusahaan hokum tanaman
industri).tujuan asas kelestarian hutan adalah:
· 1. Agar tidak
terjadi penurunan atau kekosongan produksi (production gap) dari jenis kayu
pergangan (commercial treepecies) pada rotasi(cutting cycle) yang berikut dan
seterusnya
· 2. Untuk
penyelamatan tanah dan air (soil and water)
· 3. Untuk
perlindungan alam
c) Asas Perusahaan
Asas perusahaan adalah
pengusaha harus mampu memberikan keuntungan financial yang layak(lihat pasal 13
ayat(2) UU nomor 5 tahun 1967 jo peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1990
d) Asas Perlindungan hutan
Asas perlindungan hutan
adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hokum harus ikut berperan serta
untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan
oleh perbuatan manusia.
2) Tujuan Hukum kehutanan
Tujuan hokum kehutanan adalah melindungi, memanfaatan, dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari.Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena hukum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan kehutanan.Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu adalah hokum kehutanan.Oleh karena itu, hokum hokum kehutanan disebut sebagai lex specialis, sedangkan hokum lainnya seprti agraria dan hokum lingkungan sebagai hokum umum (lex specialis derogate legi generalis)
D. Status dan Fungsi Hutan
1) Status Hutan
Menurut pasal 5 UU No 41 1999 tentang
kehutanan, Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
· Htan Negara yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
· Hutan
hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna
bangunan (HGB).
2) Fungsi
hutan
Hutan mempunyai tiga fungsi, menurut pasal 6 ayat (1) UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan yaitu:
· fungsi konservasi,
· fungsi lindung, dan
· fungsi produksi.
Berdasarkan tiga fungsi tersebut, pemerintah menetapkan hutan
berdasarkan fungsi pokok, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi.
1) Hutan Konservasi
Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam dan
kawasan hutan pelestarian alam.
a) Hutan Suaka alam
adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta
berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri
atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru
b) Kawasan Hutan
pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun
di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara
lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri
atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam
2) Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan
3) Hutan Produksi
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna
produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta
pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi
tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan
produksi yang dapat dikonservasikan (HPK).
Secara
umum fungsi hutan adalah untuk kehidupan Sebagai bagian dari cagar
lapisan biosfer, hutan memiliki banyak fungsi yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan makhluk di muka bumi.Tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun sangat
memerlukan hutan untuk kelangsungan hidupnya.
Allah menciptakan hutan
bukan sekedar melengkapi keindahan bumi-Nya, namun di sini lah kita akan
menemukan fungsi hutan yang sangat penting bagi kehidupan makhluk di muka bumi.
Ada beberapa fungsi hutan yang sangat vital bagi kehidupan makhluk di bumi,
diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Menghasilkan Oksigen bagi Kehidupan
Hutan adalah kumpulan
pepohonan yang berperan sebagai produsen oksigen. Tumbuhan hijau akan
menghasilkan oksigen dari hasil proses fotosintesis yang berlangsung di daun
tumbuhan tersebut. Dengan jumlah pepohonan yang cukup luas, tentunya hutan akan
memberikan suplay kebutuhan oksigen yang cukup besar bagi kehidupan di muka
bumi ini. Bisa
Anda bayangkan bagaimana bumi ini tanpa hutan. Sebagai contoh saat kita berada
di kawasan padang tandus yang tidak ditumbuhi pepohonan hijau, apa yang Anda
rasakan? Dan setelah itu cobalah berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang. Tentu
akan terasa jelasperbedaan suasana yang kita rasakan. Begitulah fungsi hutan
sebagai penyedia oksigen kehidupan.
2. Menyerap Karbon Dioksida
Karbon dioksida
dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis.Sebuah keseimbangan alam
yang luar biasa telah Allah ciptakan untuk kehidupan manusia. Karbon dioksida
adalah gas berbahaya apabila dihirup secara berlebih oleh manusia. Sebagai
contoh Anda menghirup asap kendaraan bermotor, ini jelas akan sangat
membahayakan manusia.Namun ternyata di sisi lain tumbuhan memerlukan gas
tersebut untuk menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan makhluk
bumi.Keberadaan hutan yang luas di muka bumi, akan memberikan peluang
penyerapan karbon dioksida yang lebih besar. Akibatnya udara di muka bumi akan
bersih dan jumlah oksigen yang dihasilkan hutan pun akan semakin besar.Inilah
fungsi hutan yang cukup luar biasa Allah ciptakan untuk manusia.Anda tentu
masih sangat familiar dengan istilah efek rumah kaca alias pemanasan global.
Inilah peran tersebut. Gas penyebab efek rumah kaca adalah karbon dioksida
(CO2).
3. Mencegah Erosi
Keberadaan kawasan hutan yang luas juga akan membantu mencegah erosi atau pengikisan tanah. Pengikisan tanah dapat disebabkan oleh air. Hutan yang luas akan menyerap dan menampung sejumlah air yang besar. Akibatnya banjir dan tanah longsor dapat dikembalikan. Kawasan yang tandus dan gersang biasanya akan rawan dengan bencana longsor. Inilah fungsi hutan yang lain dan kerap kita lupakan. Para penebang hutan secara liar melakukan penggundulan hutan tanpa rasa tanggung jawab terhadap keselamatan bumi. Mereka sebenarnya tak hanya berkhianat kepada banyak orang, tapi juga kepada bumi sebagai tempat tinggal mereka.
4. Kawasan Lindung dan Pariwisata
Hutan juga berfungsi
sebagai tempat untuk melindungi aneka hewan dan tumbuhan langka. Habitat mereka
dilestarikan di kawasan hutan khusus. Di samping itu hutan juga dapat berfungsi
sebagai objek penelitian, tempat wisata dan berpetualang.
-Nasrah Sandika