Jika Negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara, namun tidak demikian halnya dengan ruang angkasa. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa dijabarkan dalam Traktat Luar Angkasa. Traktat ini ditandatangani pada tanggal 27Januari 1967 dan mulai berlaku pada tanggal 10 Oktober 1967. Pada Mei 2013 lalu, 102 Negara lainnya telah menandatanganinya namun belum meratifikasinya. Beberapa asas penting yang ada dalam traktat luar angkasa adalah pelarangan penempatan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya di luar angkasa, termasuk di orbit Bumi. Bulan dan benda langit lainnya hanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan damai dan percobaan senjata, manuver militer dan juga pendirian basis militer di luar angkasapun dilarang. Traktat ini secara eksplisit melarang klaim atas bulan atau benda langit lainnya dan menyatakan bahwa objek-objek tersebut merupakan warisan bersama manusia. Negara yang meluncurkan objek angkasa memiliki jurisdiksi dan control terhadap objek tersebut. Meskipun Negara tidak secara langsung meluncurkan benda ke objek-objek tersebut, namun Negara juga wajib turut bertanggungjawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh objek angkasa yang mereka luncurkan.
Terdapat beberapa prinsip yang digunakan untuk mengatur kedaulatan diruang angkasa . Prinsip utama yang mengatur kedaulatan diruang angkasa antara lain :
1. Non Appropriation Principle yaitu prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda dilangit merupakan Common Heritage Of Mankind atau milik bersama umat manusia yang artinya tidak dapat di klaim atau diletakkan dibawah kedaulatan suatu Negara.
2. Freedom Exploitation Principle yaitu prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang digunakan untuk kepentingan yang bersifat damai. Dalam mengeksploitasi ruang angkasa berlaku prinsip kesamaan (equity).
Salah satu pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan komersial yaitu untuk kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, swasta pada taraf nasional maupun internasional yang ditujukan guna mendapatkan suatu keuntungan ekonomi. Bentuk-bentuk aktivitas yang dikembangkan untuk di komersialkan adalah komunikasi, penginderaan jauh, sistem transportasi ruang angkasa, pengolahan bahan (manufacturing), pembangkit tenaga dan pertambangan (mining). Aktivitas komersial di ruang angkasa tidak hanya memberikan keuntungan. Namun, dapat pula menimbulkan akibat berbahaya. Akibat negatif dari aktivitas ruang angkasa ini tidak hanya sekedar beresiko kehilangan atau kerusakan namun dapat juga mempengaruhi keberadaan umat manusia secara keseluruhan, merusak lingkungan Bumi, mencemari atmosfir dan menimbulkan gangguan berat terhadap kehidupan. Karena akibat inilah mengapa Negara dan bukan masing-masing pelaku langsung yang dibebani pertanggungjawaban internasional terhadap aktivitas nasional di ruang angkasa, baik yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah ataupun swasta.
Terdapat pembatasan-pembatasan utama dalam konsep pertanggungjawaban Negara dalam ruang angkasa terhadap kebebasan melakukan aktivitas terutama yang bertujuan komersil dalam Space Treaty 1967, yaitu :
1. Aktivitas harus dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan semua Negara berdasar pada prinsip Non Diskriminasi;
2. Adanya larangan pemilikan ruang angkasa dan benda-benda ruang angkasa lainnya;
3. Penggunaan ruang angkasa termasuk bulan dan benda langit lainnya hanya untuk tujuan damai;
4. Kewajiban melindungi luar angkasa dan aktivitas ruang angkasa lainnya;
5. Menaati prosedur dan persyaratan eksploitasi sumber daya alam di ruang angkasa;
6. Memberikan perizinan dan mengawasi secara terus-menerus aktivitas nasionalnya;
7. Melaksanakan yurisdiksi dan pengawasan terhadap pesawat ruang angkasa termasuk para awaknya yang didaftarkan di Negaranya;
8. Mendaftarkan pesawat ruang angkasa;
9. Memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk melakukan pengawasan berdasarkan prinsip timbal balik;
10. Memberikan tanggungjawab berupa ganti rugi terhadap pihak lain yang dirugikan manakala aktivitas ruang angkasa itu telah merugikan pihak lain.
Apabila dalam suatu aktivitas menimbulkan kerugian kepada pihak lain, Negara wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Prinsip dan prosedur pemberian ganti rugi ini dijabarkan dalam Liability Convention 1972 yang telah menetapkan dua prinsip hukum yang mengatur tentang tanggung jawab untuk ganti rugi, yaitu :
1. Apabila kerugian terjadi diatas permukaan Bumi, maka pihak Negara peluncur bertanggungjawab secara penuh dan mutlak.
2. Apabila terjadi kerugian bukan diatas permukaan Bumi dan menimpa benda angkasa milik Negara peluncur lain atau orang dan harta milik Negara peluncur lain maka Negara peluncur yang menimbulkan kerugian itu harus bertanggungjawab dan negara yang dirugikan harus dapat membuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian besar dipihak Negara peluncur tersebut.
Pada tahun 1976, lahirlah Registration Convention, yaitu konvensi yang mengatur pendaftaran obyek antariksa, tujuan pembentukan konvensi ini agar Negara yang turut langsung mengeksplorasi ruang angkasa dapat di control dengan baik oleh PBB dengan mendaftarkan obyek ruang angkasa mereka. Adapun selanjutnya adalah Moon Agreement 1979 dimana perjanjian ini bersifat multilateral dengan tujuan mengubah semua benda langit menjadi masyarakat internasional yang dimana segala hal atau ketentuan untuk pemanfaatan benda langit tersebut hendaklah dikonfirmasi ke hukum internasional termasuk Piagam PBB. Perjanjian ini menitikberatkan terhadap pemanfaatan ruang angkasa serta melarang segala bentuk kegiatan militer kecuali kegiatan militer yang digunakan untuk perdamaian luar angkasa.
DAFTAR PUSTAKA
https://bahasan.id/kedaulatan-di-wilayah-ruang-angkasa-outter-space/
Noor, Dimitri Anggrea, Sudiarta, I Ketut, Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Space Treaty 1967 Terhadap Aktivitas Komersial di Luar Angkasa, Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Ikhwansyah, Fadel Muhammad, Efisiensi Hukum Ruang Angkasa Internasional : Problematika Dibalik Outer Space Treaty 1967, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan.