Kamis, 09 September 2021

PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL DALAM PEMANFAATAN RUANG ANGKASA


Jika Negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara, namun tidak demikian halnya dengan ruang angkasa. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa dijabarkan dalam Traktat Luar Angkasa. Traktat ini ditandatangani pada tanggal 27Januari 1967 dan mulai berlaku pada tanggal 10 Oktober 1967. Pada Mei 2013 lalu, 102 Negara lainnya telah menandatanganinya namun belum meratifikasinya. Beberapa asas penting yang ada dalam traktat luar angkasa adalah pelarangan penempatan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya di luar angkasa, termasuk di orbit Bumi. Bulan dan benda langit lainnya hanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan damai dan percobaan senjata, manuver militer dan juga pendirian basis militer di luar angkasapun dilarang. Traktat ini secara eksplisit melarang klaim atas bulan atau benda langit lainnya dan menyatakan bahwa objek-objek tersebut merupakan warisan bersama manusia. Negara yang meluncurkan objek angkasa memiliki jurisdiksi dan control terhadap objek tersebut. Meskipun Negara tidak secara langsung meluncurkan benda ke objek-objek tersebut, namun Negara juga wajib turut bertanggungjawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh objek angkasa yang mereka luncurkan.

Terdapat beberapa prinsip yang digunakan untuk mengatur kedaulatan diruang angkasa . Prinsip utama yang mengatur kedaulatan diruang angkasa antara lain :

1. Non Appropriation Principle yaitu prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda dilangit merupakan Common Heritage Of Mankind atau milik bersama umat manusia yang artinya tidak dapat di klaim atau diletakkan dibawah kedaulatan suatu Negara.

2. Freedom Exploitation Principle yaitu prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang digunakan untuk kepentingan yang bersifat damai. Dalam mengeksploitasi ruang angkasa berlaku prinsip kesamaan (equity).

Salah satu pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan komersial yaitu untuk kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, swasta pada taraf nasional maupun internasional yang ditujukan guna mendapatkan suatu keuntungan ekonomi. Bentuk-bentuk aktivitas yang dikembangkan untuk di komersialkan adalah komunikasi, penginderaan jauh, sistem transportasi ruang angkasa, pengolahan bahan (manufacturing), pembangkit tenaga dan pertambangan (mining). Aktivitas komersial di ruang angkasa tidak hanya memberikan keuntungan. Namun, dapat pula menimbulkan akibat berbahaya. Akibat negatif dari aktivitas ruang angkasa ini tidak hanya sekedar beresiko kehilangan atau kerusakan namun dapat juga mempengaruhi keberadaan umat manusia secara keseluruhan, merusak lingkungan Bumi, mencemari atmosfir dan menimbulkan gangguan berat terhadap kehidupan. Karena akibat inilah mengapa Negara dan bukan masing-masing pelaku langsung yang dibebani pertanggungjawaban internasional terhadap aktivitas nasional di ruang angkasa, baik yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah ataupun swasta.

Terdapat pembatasan-pembatasan utama dalam konsep pertanggungjawaban Negara dalam ruang angkasa terhadap kebebasan melakukan aktivitas terutama yang bertujuan komersil dalam Space Treaty 1967, yaitu :

1. Aktivitas harus dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan semua Negara berdasar pada prinsip Non Diskriminasi;

2. Adanya larangan pemilikan ruang angkasa dan benda-benda ruang angkasa lainnya;

3. Penggunaan ruang angkasa termasuk bulan dan benda langit lainnya hanya untuk tujuan damai;

4. Kewajiban melindungi luar angkasa dan aktivitas ruang angkasa lainnya;

5. Menaati prosedur dan persyaratan eksploitasi sumber daya alam di ruang angkasa;

6. Memberikan perizinan dan mengawasi secara terus-menerus aktivitas nasionalnya;

7. Melaksanakan yurisdiksi dan pengawasan terhadap pesawat ruang angkasa termasuk para awaknya yang didaftarkan di Negaranya;

8. Mendaftarkan pesawat ruang angkasa;

9. Memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk melakukan pengawasan berdasarkan prinsip timbal balik;

10. Memberikan tanggungjawab berupa ganti rugi terhadap pihak lain yang dirugikan manakala aktivitas ruang angkasa itu telah merugikan pihak lain.

Apabila dalam suatu aktivitas menimbulkan kerugian kepada pihak lain, Negara wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Prinsip dan prosedur pemberian ganti rugi ini dijabarkan dalam Liability Convention 1972 yang telah menetapkan dua prinsip hukum yang mengatur tentang tanggung jawab untuk ganti rugi, yaitu :

1. Apabila kerugian terjadi diatas permukaan Bumi, maka pihak Negara peluncur bertanggungjawab secara penuh dan mutlak.

2. Apabila terjadi kerugian bukan diatas permukaan Bumi dan menimpa benda angkasa milik Negara peluncur lain atau orang dan harta milik Negara peluncur lain maka Negara peluncur yang menimbulkan kerugian itu harus bertanggungjawab dan negara yang dirugikan harus dapat membuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian besar dipihak Negara peluncur tersebut.

Pada tahun 1976, lahirlah Registration Convention, yaitu konvensi yang mengatur pendaftaran obyek antariksa, tujuan pembentukan konvensi ini agar Negara yang turut langsung mengeksplorasi ruang angkasa dapat di control dengan baik oleh PBB dengan mendaftarkan obyek ruang angkasa mereka. Adapun selanjutnya adalah Moon Agreement 1979 dimana perjanjian ini bersifat multilateral dengan tujuan mengubah semua benda langit menjadi masyarakat internasional yang dimana segala hal atau ketentuan untuk pemanfaatan benda langit tersebut hendaklah dikonfirmasi ke hukum internasional termasuk Piagam PBB. Perjanjian ini menitikberatkan terhadap pemanfaatan ruang angkasa serta melarang segala bentuk kegiatan militer kecuali kegiatan militer yang digunakan untuk perdamaian luar angkasa. 

DAFTAR PUSTAKA

https://bahasan.id/kedaulatan-di-wilayah-ruang-angkasa-outter-space/

Noor, Dimitri Anggrea, Sudiarta, I Ketut, Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Space Treaty 1967 Terhadap Aktivitas Komersial di Luar Angkasa, Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Ikhwansyah, Fadel Muhammad, Efisiensi Hukum Ruang Angkasa Internasional : Problematika Dibalik Outer Space Treaty 1967, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan.


HAK ASASI PEREMPUAN



Gagasan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki sudah ada sejak abad ke-4 SM. Masyarakat Yunani Kuno menempatkan perempuan sebagai sosok yang lebih rendah dari laki-laki. Pemahaman ini mejadi alasan mengapa setiap ada pemilihan umum, perempuan tidak pernah dilibatkan. Perempuan dianggap tidak memiliki akal sehat seperti laki-laki dan tidak mampu membuat keputusan rasional. Bukan hanya itu, perempuan yang sudah menikah ditempatkan sebagai sosok yang harus tunduk kepada suaminya meski diperlakukan tidak adil. Hukum di Athena pun membiarkan seorang suami bertindak sesuka hati, bahkan untuk berselingkuh. Sebaliknya, jika perempuan yang berselingkuh, maka suami berhak membunuh istrinya. Pada masa revolusi Prancis, The Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, salah satu aturan pelopor hak sipil yang disahkan pada tahun 1789, menyebut hak asasi manusia sebagai rights of all men ( hak semua lelaki ), bukan human rights ( hak asasi manusia ). Penyataan ini secara tidak langsung belum menagkui perempuan sebagai manusia dengan hak asasi.

Sebelum abad ke-18, perempuan masih belum dianggap sebagai manusia rasional dengan akal sehat yang berhak punya hak setara dengan laki-laki. Akibatnya, perempuan tidak punya hak untuk memilih dan dipilih dalam politik. Perempuan New Zaeland merupakan yang pertama di dunia yang mendapat hak pilih pada tahun 1893. Perjuangan hak sipil dan politik perempuan terus menjalar ke seluruh dunia. Perempuan Amerika dan Inggis berjuang hingga mendapat hak suara pada 1920, walau masih terbatas pada perempuan kulit putih. Di hadang diskriminasi rasial dan kekerasan, pengakuan hak sipil perempuan dan laki-laki kulit hitam serta oran Asia menyusul 45 tahun kemudian. Setelah Peran Dunia II berakhir, Deklarasi Universal HAM, aturan yang melindungi HAM secara universal dirumuskan. Hansa Mehta, perempuan asal India yang menjadi salah satu perumus DUHAM, mecetuskan perubahan kata dari ‘rights of all men’ menjadi ‘human rights’. Sebelum perjuangan Kartini pada akhir abad ke-19, [erempuan bangsawan Nusantara sudah giat memperbaiki kondisi perempuan, meski terbatas dilingkungan mereka. Di Jawa, Emansipasi perempuan dikalangan bangsawan mulanya tampak dilingkungan Keraton Pakualaman di Yogyakarta. Para pelopor saat itu prihatin terhadap terbatasnya akses pedidikan perempuan. 

Penegakan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. HAM ialah hak dasar yang sudah dimiliki oleh semua manusia sejak lahir, tiap-tiap manusia atau individu sudah memilikinya dan hal tersebut merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya dalam kalangan bermasyarakat kita sudah seharusnya menghormati hak-hak orang lain. Pengertian perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Namun, dalam bukunya Zaitunah Subhan, perempuan berasal dari kata empu yang artinya di hargai. Lebih lanjut, Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sansekerta dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu.

Hak Asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam deklarasi PBB 1993, maka perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak asasi perempuan adalah yanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga negara maupun partai politik dan lembaga swadaya masyarakat, bahkan warga negara secara perorangan memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan , terutama dalam bentuk perkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Hasil pemantauan komnas perempuan sejak 1998 menunjukkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak yang sangat khas bagi perempuan. Sebanyak 1/3 dari 295.836 total kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam berbaga konteks. Dari catatan tahunan sejak tahun 2000, yang dihimpun atas kerjasama dengan berbagi lemaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, setiap harinya sebanyak 28 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. 

Sistem hukum yang ada hingga saat ini belum lagi dapat memberikan akses keadilan bagi korban antara lain karena landasan hukum yang koperehensif yang belum tersedia, pengetahuan aparat penegak hukum dan public tentang kekerasan seksual yang masih minim justru membebani perempuan. Sistem dukungan yang tersedia bagi korban didalam masyarakat juga sangat terbatas bahkan tak jarang justru menyalahkan korban. Upaya mengubah budaya stigmatisasi ini telah coba dilakukan oleh komnas perempuan bersama dengan 37 organisasi lainnya di 20 Propinsi yang tergabung dalam jaringan kampanye 16 hati anti kekerasan terhadap perempuan. Muara dari gerakan ini adalah tersedianya jaminan hukum bagi kasus kekerasan seksual. Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi identitas. Komnas Perempuan menyesalkan terkait tidak adanya tindakan tegas aparat terhadap kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan moralitas mayoritas. 

Diantara peraturan perundang-undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah :

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;

2. Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT;

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kearganegaraan;

4. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

5. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Politik

6. Impres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarustamaan;

7. Kerpres Nomor 181 tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2005.

Di banyak negara di dunia, hak perempuan di tolak atas dasar orientasi seksual, identitas gender, atau karakteristik seks. Selain itu, seringkali perempuan menjadi subjek diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Misalnya, kesenjangan upah. Gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama adalah Hak Asasi Manusia, tetapi perempuan berkali-kali di tolak aksesnya ke upah yang adil dan setara. Saat ini, rata-rata perempuan di dunia hanya memperoleh sekitar 77% dari penghasilan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Hal ini menyebabkan kesenjangan ekonomi bagi perempuan, bisa menghambat perempuan untuk mandiri secara utuh, bahkan meningkatkan resiko kemiskinan di kemudian hari. Selain itu, 1 dari 3 perempuan di dunia menjadi korban kekerasan. Setiap hari, sekitar 137 perempuan di seluruh dunia di bunuh anggota keluarganya. 1 dari 5 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berumur 18 tahun. 15 juta anak di bawah umur menjadi korban pemerkosaan. 

Sementara itu, dalam hukum Internasional, Hak Asasi  Perempuan di atur dalam CEDAW atau ICEDAW ( International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women ) yang mana merupakan sebuah kesepakatan Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang hak-hak manusia, norma-norma dan standar-standar kelakuan dan kewajiban dimana negara-negara peserta konvensi sepakat untuk memenuhinya. Konvensi ini juga berbicara tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang memungkinkan setiap individu  atau kelompok yang tidak puas atas pelaksanaan CEDAW di negaranya dapat mengajukan langsung permasalahannya pada pemerintah bahkan sampai PBB. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatanganinya. CEDAW di tetapkan oleh sidang umum PBB pada tanggal 18 Desember 1981. Pada bulan Juni 2007 tercatat 185 negara telah menandatangani konvensi ini.

Usai meratifikasi konvensi CEDAW, guna mempercepat pelaksanaannya maka di tahun 1995, para wakil negara berkumpul di Beijing dan mendeklarasikan landasan aksi Beijing atau Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA). BPFA menghasilkan 12 bidang kritis yang mana setiap negara harus melaporkan perkembangannya setiap 5 tahun. 12 bidang kritis itu adalah :

1. Perempuan dan Kemiskinan;

2. Perempuan dalam Pendidikan dan Pelatihan;

3. Perempuan dan Kesehatan;

4. Kekerasan terhadap Perempuan;

5. Perempuan dalam Situasi Konflik Bersenjata;

6. Perempuan dalam Ekonomi;

7. Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan;

8. Perempuan dalam Mekanisme Institusional Untuk Pemajuan Perempuan;

9. HAM Perempuan;

10. Perempuan dan Media;

11. Perempuan dan Lingkungan Hidup;

12. Anak Perempuan.

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi CEDAW, bersama dengan negara-negara lain yang juga menyepakati BPFA, Indonesia wajib membuat review implementasi BPFA sejak tahun 1995. Indonesia juga melaporkan perkembangan pelaksanaan BPFA di forum Asia Pasifik setiap 5 tahun yang kemudia di review secara utuh oleh Commission on the Status of Women ( CSW ) yaitu pada tahun 2000, 2005, 2010, 2015 dan 2020. Setiap review akan menghasilkan dokumen keluaran yang mendorong komitmen global untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan serta menegakkan aksi-aksi prioritas untuk 5 tahun selanjutnya. 



DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd..com/doc/314836049/Makalah-Hak-Asasi-Perempuan

https://referensi.elsam.or.id/2014/09/hak-asasi-perempuan-dan-konvensi-cedaw/

https://komnasperempuan.go.id/instrumen-ham-perempuan-detail/seri-dokumen-kunci-15-komisi-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-laporan-independen-lembaga--nasional-hak-asasi-manusia-tentang-25-tahun-pelaksanaan-kesepakatan-global-beijing-platform-for-action-bpfa-25-di-indonesia

https://www.amnesti.id/hak-perempuan-dan-kesetaraan-gender/

Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undanga di Indonesia