Rabu, 25 September 2019

KORUPSI, PENYAKIT MENULAR DALAM LINGKARAN SETAN

Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2013


Desember 2013, tepat 4 bulan saya menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum universitas hasanuddin. Untuk pertama kalinya saya turun ke jalan dengan almamter merah dan megaphone di tangan dalam rangka memperingati “HARI ANTI KORUPSI”. Isu yang saya bawa tentu saja menyangkut hal-hal tentang korupsi. Saat itu yang menjadi presiden adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Budiono sebagai wakil presiden.

Kini hampir enam tahun berlalu, dan mahasiswa kembali turun ke jalan dengan isu yang hampir sama, tidak jauh dari perihal korupsi, revisi UU KPK yang beberapa pointnya di setujui oleh presiden saat ini, Bapak Joko Widodo dan di sahkan menjadi UU KPK. Juga tentang revisi UU KUHP yang persetujuannya masih di tunda oleh Presiden, yang salah satu revisinya sangat sinting menurut saya, Pengurangan masa tahanan koruptor dari minimal 4 tahun menjadi minimal 2 tahun.

Sebenarnya, enam tahun adalah waktu yang sangat singkat dalam masa korupsi. Sebab dalam sejarahnya korupsi itu sendiri sudah ada sejak zaman kuno yaitu pada peradaban Mesir, Ibrani, Babilonia, Yunani Kuno, Cina, Romawi Kuno dan juga di negara-negara Barat.

G.R Drdriver J.C Miles dalam menerjemahkan The Babilonian Constitution menyebut perilaku korupsi telah mencapai puncak kesempurnaannya sejak sekitar tahun 1200 SM. Saat itu, Hammurabi dari Babilonia yang baru menaiki tahta kekuasaannya memerinthakan kepada seorang gubernur untuk menyelidiki penggelapan yang melibatkan pegawai pemerintahan di bawahnya. Hammurabi mengancam para pejabat di bawahnya dengan hukuman mati. Ini adalah sedikit gambaran betapa korupsi telah menjadi masalah sejak ribuan tahun silam.

Sedangkan korupsi di Indonesia sendiri tercatat dalam buku History of Java karya Thomas Stamford, dimana di sebutkan mengenai budaya pada saat itu yang sangat tertutup dan penuh keculasan sehingga turut menyuburkan budaya korupsi di Nusantara pasca colonial penjajah barat. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti dari rakyat yang akan di serahkan kepada Demang (Lurah) yang selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdi dalem di Ketumenggungan setingkat Kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan di serahkan kepada Raja atau Sultan.

Dari sini kita dapat melihat proses korupsi itu terjadi, pun di era sekarang saya pikir masih dengan model yang sama, hanya saja korupsi sekarang menjadi dua arah. Jika pada pasca colonial penjajah barat atau pada era kerajaan di berlakukan upeti atau pajak yang kemudian bisa di korupsi, pada era sekarang bukan hanya pajak dari rakyat yang bisa di korupsi, tetapi juga korupsi terjadi pada anggaran-anggaran lainnya yang untuk rakyat. Atau lebih singkatnya era sekarang lebih banyak jalan dan cara untuk korupsi.

Lalu pada pasca orde lama, dibentuk badan pemberantasan korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Pada tahun 1963 melalui keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali di galakkan.

Pasca orde baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang di ketuai Jaksa Agung tetapi dianggap tidak serius dalam melakukan pemberantasan korupsi hingga dibentuk Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi, namun seiring berjalannya waktu Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
Pasca Reformasi, penyakit korupsi menyebar kemana-mana dan membentuk lingkaran setan. Presiden BJ. Habibie mengeluarkan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN serta pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.

Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review MA, TGPTPK di bubarkan.

Di masa pemerintahan Megawati, konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat keluar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.

Hingga pada tahun 2002, KPK didirikan oleh Presiden Megawati. Pendirian KPK ini didasari karena Presiden Megawati melihat institusi kejaksaan dan kepolisian terlalu kotor, sehingga untuk menangkap koruptor dinilai tidak mampu, namun jaksa dan polisi sulit dibubarkan sehingga dibentuklah KPK hingga kini.

Perjalanan KPK dalam menangani berbagai kasus korupsi tidak selalu mulus bahkan bisa dikatakan selalu terdapat hambatan dan terkadang terjadi hal-hal yang membahayakan nyawa para penyidik, seperti pada kasus Novel Baswedan yang disiram air keras oleh orang yang tak dikenal.

Lalu kondisi Indonesia menjadi tidak kondusif karena revisi UU KPK yang menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, setelah revisi UU KPK disahkan menjadi UU KPK yang baru, kini muncul lagi revisi UU KUHP yang salah satu muatan revisinya adalah pelaku korupsi dihukum paling sedikit 2 tahun juga minimum denda diturunkan padahal dalam pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk para koruptor paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara, pun dendanya paling sedikit Rp.200 juta namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp. 10 juta. Di saat negara-negara lain berlomba-lomba untuk memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor, di Indonesia koruptor justru seperti di manjakan, belum lagi potongan masa tahanan.

Lagi pula tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang khusus bukan di masukkan kedalam KUHP, karena hal tersebut akan membuat tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana biasa. Selain itu, memasukkan pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi ke dalam KUHP justru akan menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum, karena diatur oleh dua Undang-Undang dengan bobot yang berbeda.

Saya bukannya tidak setuju dengan revisi UU KPK dan KUHP, tapi revisi berarti perbaikan atau peninjauan kembali untuk perbaikan bukannya malah memperburuk, jadi seharusnya hasil revisi adalah sesuatu yang baik. Jika saja revisinya adalah mengubah hukuman para koruptor dari minimal 4 tahun penjara menjadi hukuman mati, maka saya sangat setuju sekali.
Seperti kita ketahui, beberapa negara kini memberlakukan hukuman mati terhadap para koruptornya, di Indonesia pun pernah diwacanakan mengenai hukuman mati terhadap para koruptor, tetapi hal tersebut di tentang oleh komnas HAM, menurut komnas HAM hukuman mati merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, tapi herannya hukuman mati bagi para teroris boleh-boleh saja.

Padahal pada zaman kuno pun yang berlaku bagi para koruptor adalah hukuman mati. Misalnya Kautilya yang merupakan perdana menteri Maurya yang paling terkenal pada abad IV SM, sangat menaruh perhatian terhadap korupsi. Dia selalu menekankan pentingnya moralitas dan kejujuran. Pegawai negara dan keluarganya yang bertindak korup di ganjar dengan hukuman mati. Sebagian lain di usir dari kerajaan dan disita harta kekayaannya. Korupsi dipandang sebagai tindakan amoral dan pelakunya harus mendapatkan ganjaran sangat berat. Hukuman moral bagi masyarakat kuno ini sangat dipatuhi. Disamping memiliki daya paksa (represif), hukum moral juga dipandang sebagai representasi keterlibatan Tuhan dalam persoalan social tertentu, karena itu pelakunya tidak bisa diampuni.

Dam dengan menggunakan pertimbangan semacam inilah, Gaius Verres pada abad 115-43 SM, pejabat Negara Romawi Kuno yang terbukti melakukan korupsi diasingkan sekaligus di bunuh.

Dalam UU Tipikor memang diatur mengenai hukuman mati bagi para pelaku korupsi yaitu dalam UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No.20 tahun 2001. Namun dalam peraturan perundang-undangan tersebut disebutkan bahwa hukuman mati dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya apabila yang di korupsi adalah bantuan bencana alam atau korupsi pada saat negara sedang masa krisis. Lalu apabila tindak pidana korupsi terjadi selain pada masa tersebut, maka hukuman mati tidak dapat di jatuhkan.

Menurut saya, melihat kondisi negara saat ini yang koruptornya sudah merajalela sebaiknya hukuman mati diberlakukan tanpa terkecuali, dengan begitu dapat menekan angka tindak pidana korupsi dan menimbulkan efek jera. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa korupsi termasuk extraordinary crime maka harus di tangani dengan cara yang luar biasa juga. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena bagian dari pencurian, perampokan dan penjajahan terhadap hak seluruh rakyat Indonesia yang artinya pelaku tindak pidana korupsi melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga seharusnya tidak dibenturkan oleh Hak Asasi Manusia itu sendiri.

JIka pelaku teroris dan pengedar narkoba bisa di jatuhkan hukuman mati, mengapa tidak dengan pelaku tindak pidana korupsi ? Baik itu teroris, pengedar narkoba, dan korupsi sama-sama merupakan kejahatan extraordinary crime.

Yang lebih miris dari fenomena korupsi di Indonesia adalah kurangnya rasa malu atas tindakan amoral yang mereka lakukan, tidak sedikit pelaku tindak pidana korupsi yang masih bisa tersenyum sambil melambaikan tangan ke kamera saat sudah berstatus tersangka, juga berdalih bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah khilaf semata.

Selain itu, sebagaiman kita tahu saat ini, hukuman penjara dan juga denda bagi para koruptor hanyalah formalitas belaka, tak jarang kita lihat berita mengenai nyamannya kehidupan para koruptor dalam rumah tahanan, fasilitas seperti hotel mewah, bahkan sering tertangkap kamera sedang keluyuran. Itu bisa terjadi tentu saja dengan bantuan “orang dalam”. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya efek jera terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, di tambah lagi, mantan narapidana korupsi tetap bisa memegang jabatan politik. Hampir tidak ada ruginya menjadi koruptor di Indonesia, dapat uang banyak, jaminan hidup enak dari orang dalam, potong masa tahanan, dan peluang jabatan tetap ada.  Lalu apa alasan untuk tidak korupsi ?

Awalnya mungkin hanya sedikit, lalu sedikit lagi, tapi ketika uang yang didapatkan bertambah, maka bertambah pula pengeluaran yang harus ditutupi, awalnya hanya satu mobil, lalu ingin dua mobil, hingga jumlah yang di korupsi tentu saja semakin banyak. Butuh iman yang kuat untuk menolak uang, harta adalah godaan tersulit bagi manusia.

Selain itu, ketika koruptor ingin berhenti, tentu saja tidak mudah, menjadi koruptor adalah rahasia umum dalam suatu badan atau lembaga. Penyelewengan uang ratusan ribu saja sudah pasti diketahui oleh pihak lain, apalagi sampai miliyaran, lalu kenapa tetap diam ? Karena yang mengetahui sama-sama koruptor. Menjadi Koruptor berarti masuk ke lingkaran setan, korupsi tidak mungkin sendiri. Jikapun pada akhirnya yang tersangka hanya satu orang, berarti yang lain tertutupi. Sehingga untuk berhenti hampir mustahil. Sejujurnya saya tahu sedikit karena saya pernah berada dalam lingkaran setan ini, dan sebelum saya terjerat lebih jauh, saya memutuskan untuk berhenti. Caranya ? Resign.

Sejauh yang saya tahu, sangat sulit untuk tidak ikut terjerumus masuk kedalam lingkaran setan para koruptor, kecuali jika badan atau lembaga yang benar-benar bersih secara keseluruhan. Saya setuju jika korupsi diibaratkan sebagai virus, sedikit saja terinveksi, maka semua akan ikut sakit. Korupsi seperti penyakit menular yang sulit untuk dihindari. Secara umum, meskipun itu salah, jika bersama-sama rasa takut seperti hilang, apalagi jika ada atasan dalam lingkaran, seperti terlindungi. Semuanya menjadi sakit.

Agama dan moral pun saat ini sepertinya sudah tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan korupsi, budaya malu di Indonesia sudah sangat tipis hampir habis. Satu-satunya cara adalah mencegah sebelum terjadi, dengan ancaman hukuman mati, saya pikir itu cukup. Tapi kapan ? 

-Nasrah Sandika

Selasa, 24 September 2019

CYBER TERORISM


Cyber Terrorism
Council of Europe Convention on Cybercrime
( COECCC )

Peradaban dunia pada masa kini dicirikan dengan fenomena kemajuan teknologi. informasi dan komunikasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan. Revolusi yang dihasilkan oleh teknologi informasi dan komunikasi biasanya dilihat dari sudut pandang perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah diantisipasi dengan hukum yang mengaturnya. Dampak negatif tersebut harus diantisipasi dan ditanggulangi dengan hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Secara internasional, hukum yang terkait kejahatan teknologi informasi digunakan istilah hukum siber atau cyber law. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.

Dewasa ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Hukum cyber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.

Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet. Menurut Sutarman (2007) Cyber Crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok dengan menggunakan sarana computer dan alat komunikasi lainnya. Cara-cara yang biasa dilakukan dengan merusak data, mencuri data, dan menggunakannya secara illegal.

Cyber Crime dapat di bedakan menjadi dua pengertian, yaitu pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas.

Dalam pengertian arti sempit, cyber crime adalah perbuatan yang tidak sah yang menjadikan computer sebagai sasaran atau target kejahatan, baik pada keamanan system maupun datanya.

Sedangkan cyber crime dalam arti luas merupakan keseluruhan bentuk kejahatan yang ditujukan terhadap computer, jaringan computer, dan para penggunanya dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan computer.

Cyber crime merupakan bentuk kejahatan yang relative baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional. Cyber crime muncul sejalan dengan berkembangnya teknologi khususnya telematika.

Penggunaan teknologi dan jaringan telematika global membuat kejahatan cyber crime ini dapat di lakukan oleh siapa saja, dimana saja dan berdampak kemana saja.
Lebih lanjut, penggunaan internet oleh teroris atau sekelompok orang untuk melakukan kejahatan terorisme dikenal dengan cyber terrorisme. Dalam beberapa literature hukum Internasional disebutkan cyber terrorisme menjadi bagian atau bentuk dari cyber crime. Dengan menggunakan Internet para teroris dapat dengan mudah melakukan serangan (cyber attack) karena lewat internet mereka tidak dapat diidentifikasi. Banyak keuntungan yang di peroleh teroris saat melakukan penyerangan ( cyber attack ) lewat internet. Berbeda dengan terror yang menggunakan bom, para teroris harus berada di tempat kejadian, dengan menggunakan internet para teroris dapat melakukan aksi tanpa harus berada di tempat kejadian.

Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga dapat menekan jumlah tenaga kerja, biaya serta memperkecil kemungkinan melakukan kesalahan, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketergantungan kepada komputer.
Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Kesalahan yang disengaja mengarah kepada penyalahgunaan komputer.

Perkembangan yang pesat dalam pemanfaatan jasa internet juga mengundang terjadinya kejahatan.Cybercrime merupakan perkembangan dari computer crime. Rene L. Pattiradjawane menyebutkan bahwa konsep hukum cyberspace, cyberlaw dan cyberline yang dapat menciptakan komunitas pengguna jaringan internet yang luas (60 juta), yang melibatkan 160 negara telah menimbulkan kegusaran para praktisi hukum untuk menciptakan pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan terhadap milik pribadi. (Rene L. Pattiradjawane, 2000).

John Spiropoulos mengungkapkan bahwa cybercrime memiliki sifat efisien dan cepat serta sangat menyulitkan bagi pihak penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap pelakunya. (Jhon Sipropoulus, 1999) Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses pembangunan nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat melindungi hak para pemakai jasa internet sekaligus menindak tegas para pelaku cybercrime.

Kriminalitas yang menggunakan internet sebagai media atau kerap disebut sebagai cyber crime telah melonjak drastis. Hal ini sesuai dengan adagium yang mengatakan bahwa “crime is product of society itself”, di mana kejahatan dengan modus teknologi informasi ini akan semakin berkembang di dalam masyarakat yang semakin terbiasa dengan dunia maya. Secara sederhana International Telecommunciation Union (ITU) mengemukakan bahwa definisi dari cybercrime adalah kejahatan yang melibatkan komputer baik sebagai alat, target ataupun perantara untuk melakukan kejahatan konvensional.

Secara garis besar cyber crime terdiri dari beberapa jenis:

a. Offences against Confidentiality, integrity and Availability of Computer Systems and Data, adalah kejahatan yang bertujuan untuk mengakses, menyadap data atau system secara illegal.

b. Content Related Offences, adalah kejahatan komputer yang menggunakan konten dalam komputer untuk kejahatan seperti pornografi, menyebarkan fitnah, Judi .Dll.

c. Copyright and Trademark Related Offences, adalah kejahatan yang melanggar hak cipta atau merek dagang, seperti pembajakan.

d. Computer Related Offences, adalah kejahatan yang menggunakan sistem komputer untuk mengambil data-data tertentu, seperti identitas, nomor tanda pengenal sampai rekening bank.

e. Combination Offences , adalah kejahatan yang memadukan antara cybercrime dan kejahatan konvensional seperti cyberterrorism, cyberwarfare, dan cyber laundering.

Bentuk baru dari kejahatan terorisme menjadi cyber terrorisme telah berpengaruh pada aturan-aturan hokum yang berlaku di Negara-negara maupun hukum internasional, karena aturan-aturan tentang terorisme, baik aturan hokum nasional, regional maupun Internasional tidak mengatur secara jelas tentang penggunaan teknologi dalam melaksanakan aksi terror.

Suatu cyber crime berupa serangan pada system elektronik harus dibedakan dengan cyber terrorism. Serangan di sebut sebagai cyber terrorism , selain adanya penggunaan technology, harus dilihat pula identitas orang yang melakukannya, motif dan tujuan yang mereka lakukan, serta akibatnya. Serangan cyber terrorism haruslah berakibat pada kekerasan pada seseorang atau barang atau setidaknya cukup menyebabkan ancaman bahaya untuk menimbulkan ketakutan. Sebab meskipun dilakukan dalam suatu system elektronik, serangan cyber terrorism tetap terdiri dari unsur-unsur yang umumnya terdapat pada terorisme.

Terdapat dua bentuk kegiatan cyber terrorism, yaitu bentuk cyber terrorism sebagai serangan dan sebagai pendukung. Dalam bentuk kegiatan cyber terrorism sebagai serangan, technology informasi merupakan alat dan objek serangan. Suatu serangan cyber terrorism untuk memenuhi unsur terrorisme yang menimbulkan rasa takut yang meluas, adalah berupa serangan langsung pada system computer yang berakibat ancaman pada nyawa, misalnya mengacaukan system control pesawat atau mengacaukan rekaman medis suatu rumah sakit. Serangan tersebut juga di tujukan pada infrastruktur penting yang digunakan untuk kehidupan orang banyak, sehingga gangguan terhadap infrastruktur tersebut dapat memberikan dampak yang menimbulkan ancaman fisik maupun rasa takut meluas.

Bentuk cyber terrorism yang kedua adalah sebagai pendukung , dimana jaringan system informasi digunakan teroris untuk keperluan organisasinya.

Cepat atau lambat ancaman cyber terrorism tidak hanya akan mempengaruhi keamanan nasional tapi juga akan mempengaruhi keamanan internasional.

Istilah cyber terrorism telah diperkenalkan sejak tahun 1997 oleh Barry Collin, seorang peneliti senior pada institute for security and intelligence di California, Amerika Serikat. Dalam pandangan Collin, komputerisasi dalam berbagai bidang kehidupan manusia menciptakan kerentanan baru. Kerentanan itu dapat diekploitasi untuk aksi terrorisme baik melalui pengrusakan (destruction), pengubahan (alteration), dan akusisi dan retransmisi (acquisition and tetransmission) yang tujuannya untuk menimbulkan kekacauan dan terror.

Cyber terrorism merupakan salah satu bentuk kejahatan cyber. Dari segi konsep cyber terrorism tidak jauh berbeda dengan terorisme secara tradisional, hanya saja disini memiliki unsur cyber. Beberapa peneliti berpendapat bahwa kegiatan terorisme di cyber space dianggap sebagai cyber terrorisme.

Dalam Jurnalnya Rabiah dan Zahri mengemukakan konsep keranga cyber terrorism.

a. Target
Dalam melakukan tindakan cyber terrorism menggabungkan target tertentu dengan khalayak yang lebih luas. Dengan ini sistem computer dan masyarakat sipil merupakan target yang menarik bagi cyber terrorist. Selain berfokus pada infrastruktur yang berbasis Teknik Informasi dan Komunikasi, cyber terrorism juga menargetkan masyarakat sipil. Serangan terhadap infrastruktur yang penting dari suatu Negara dapat menyebarkaan ketakutan dan membahayakan masyarakat yang tidak bersalah dikategorikan sebagai cyber terrorism.

b. Motif
Motif dari cyber terrorism bersifat social, politik dan keyakinan terhadap suatu paham atau ideology. Dengan motif ini cyber terrorist dapat menyerang jaringan informasi suatu Negara demi kepentingan mereka.

c. Metode Penyerangan
Metode penyerangan cyber terrorism menggunakan operasi jaringan computer.
- Komputer dan jaringan internetsebagai senjata atau alat untuk melakukan cyber attack
- Menjadi penyedia layanan informasi baik media elektronik maupun cetak. Dengan menjadi penyedia informasi para cyber terrorist mampu untuk mengontrol tingkah laku atau respon dari orang-orang yang menerima informasi tersebut.
- Menyebarkan propaganda lewat media informasi. Seiring berkembangnya zaman kondisi penyebaran informasi menjadi semakin cepat , sehingga ini dimanfaatkan oleh cyber terrorist untuk melakukan propaganda tentang kegiatan teroris mereka.

d. Domain
Cyber terrorism adalah konvergensi dari cyber space dan terorisme. Cyberspace baik diakses melalui system computer atau perangkat lain, adalah media bagi cyber terrorists melaakukan serangan.

e. Tindakan pelaku
Cyber terrorist melakukan tindakan melawan hokum dengan terencana untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah atau orang-orang dengan tujuan politik, social, atau tujuan ideology yang diapaham oleh mereka.

f. Dampak atau akibat
Cyber terrorism dilakukan untuk menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur suatu Negara maupun pada jaringan computer CBRN, hal ini akan berdampak pada stabilitas suatu Negara dan membahayakan masyarakat, selain itu akan berdampak terhadap keamana internasional.

Untuk itu, diperlukan aturan untuk menekan terjadinya kejahatan seperti ini. Namun, undang-undang nasional umumnya terbatas pada wilayah tertentu sehingga mempengaruhi konsep hukum yang ada. Jadi, penyelesaian untuk masalah yang ditimbulkan harus di tangani oleh hukum internasional yang memerlukan penerapan instrument hukum internasional yang memadai.

Didasari oleh pemahaman tersebut, akhirnya Dewan Eropa sejak tahun 1997 merancang proposal for a convention on cybercrime untuk menjawab tantangan perasalahan diatas.

Setelah beberapa kali pembahaan, naskah convention on cybercrime disetujui dan ditandatangani oleh 38 negara di Budapest, Hungaria pada tanggal 23 November 2001.
Konvensi ini memiliki 4 Bab yaitu (1) Use of term; (2) Measures to be taken at domestic level- substantive law and procedural law; (3) International co-operation; (4) final clauses.

Pada bab pertama mencakup mengenai konsep dan ruang lingkup yang sesuai dengan prinsip dari convention on cybercrime, hal ini diajukan untuk mengimplementasikan konvensi ini. Bagian pertama ini tercantum dalam pasal 1.
Article 1 – Definitions
For the purpose of this convention :

a. "computer system" means any device or a group of interconnected or related devices, one or more of which, pursuant to a program, performs automatic processing of data;

b. “computer data” means any representation of facts, information or concepts in a form suitable for processing in a computer system, including a program suitable to cause a computer system to perform a function;

c. “service provider” means: i any public or private entity that provides to users of its service the ability to communicate by means of a computer system, and ii any other entity that processes or stores computer data on behalf of such communication service or users of such service;

d. “traffic data” means any computer data relating to a communication by means of a computer system, generated by a computer system that formed a part in the chain of communication, indicating the communication’s origin, destination, route, time, date, size, duration, or type of underlying service.

Bab ke dua dari convention on cybercrime terbagi dalam 3 bagian, yaitu substantive criminal laws, procedural law dan jurisdiction.

Bagian pertama mencakup pasal 2 sampai pasal 13.

Tujuan dari bagian pertama ini untuk meningkatkan sarana untuk mencegah dan menekan kejahatan yang berhubungan dengan komputer dengan menetapkan standar minimum umum untuk pelanggaran yang berkaitan.

Pasal 2 sampai pasal 12 merupakan daftar pelanggaran (hukum pidana substansif) dan pasal 13 merupakan bentuk sanksi dan hukuman untuk pelanggaran yang tercantum dalam pasal 2 sampai pasal 12.
Salah satu kasus cyber terrorism yang baru saja terjadi adalah serangan virus petya yang menyerang dunia pertengahan tahun 2017.

Komputer korban yang terinfeksi Petya akan menampilkan sebuah pesan. Intinya menyatakan bahwa komputer tersebut sudah diblokir. Pemilik komputer diharuskan untuk menebusnya dengan membayar senilai 300 dollar AS dalam bentuk mata uang elektronik Bitcoin.

"Jika Anda melihat teks ini, maka file Anda tidak dapat diakses lagi, karena telah dienkripsi. Mungkin Anda sibuk mencari cara untuk memulihkan file Anda, tapi jangan buang waktu Anda. Tidak ada yang bisa memulihkan file Anda tanpa dekripsi kami, "kata pesan tersebut, menurut sebuah screenshot yang diposting oleh Channel 24 Ukraina.

Program jahat ini hadir dengan berbagai nama. Banyak perusahaan keamanan menyebutnya sebagai Petya. Jika  Petya berhasil menginfeksi komputer, ia akan mengenkripsi keseluruhan drive alias harddisk.

Kondisi ini diperparah karena serangan dikombinasikan melalui celah keamanan EternalBlue dan EternalRomance. Kemudian ia mengeksploitasi SMB yang sebelumnya digunakan WannaCry untuk masuk ke jaringan dan menyebar melalui PSExec untuk menyebar di dalam jaringan.
Petya akan menyebar hanya melalui LAN, dan tidak melalui internet. Hanya dibutuhkan satu komputer yang belum di-patch untuk masuk ke  jaringan, ransomware bisa langsung mendapatkan hak administrator dan menyebar ke komputer lain dalam satu jam.

Akibatnya banyak bank, jaringan listrik dan perusahaan pos terinfeksi. Bahkan kantor-kantor pemerintah yang memiliki keamanan berlapis berhasil ditembus.

Petya, sang virus tidak sekadar mengunci file di harddisk, tapi melumpuhkan seluruh komputer. Petya mengunci komputer dengan enkripsi dua lapis. Enkripsi pertama mengunci file sasaran secara indvidual. Enkripsi kedua mengunci struktur partition table NTFS di harddisk sehingga komputer tidak bisa masuk ke sistem operasi.

Si virus Petya juga menjalankan instruksi khusus yang memaksa sistem crash dan reboot sehingga komputer tidak bisa dipakai, sampai korban membayar tebusan senilai 300 dollar AS yang diminta.

Serangan virus komputer baru ini dipercaya menyerang Ukraina pertama kali sebelum menyebar ke seluruh dunia.

Serangan virus komputer baru ini menyebabkan tidak beroperasinya komputer di operator pelabuhan milik Maersk, serta menyerang komputer di pabrik cokelat di Australia.

Perusahaan minyak terbesar Rusia, bank-bank di Ukraina serta firma multinasional sebelumnya terkena serangan virus ini. Serangan ini memperlihatkan betapa agresifnya para peretas atau hacker, dan bahwa setiap bisnis di dunia harus mengamankan jaringan komputernya.

Ransomware Petya ini meminjam sejumlah fitur kunci Ransomware WannaCry yang menyerang bulan lalu.

ESET, vendor antivirus yang berbasis di Bratislava, mengatakan 80 persen infeksi virus menyerang bisnis di Ukraina. Sementara Italia jadi negara kedua yang paling parah terkena serangan, sebanyak 10 persen.

Perusahaan pengapalan raksasa A.P. Moller-Maersk yang memiliki jaringan global, memiliki salah satu pusat logistik di Ukraina. Akibat serangan tersebut, komputer di pusat logistik tersebut tidak bisa mengakses order baru.

Di Australia, serangan ransomware Petya menyerang pabrik cokelat Cadbury di Tasmania. Semua komputer pekerja mati.
Serangan Randomware Petya ini menyerang komputer yang menjalankan program Windows dari Microsoft Corp. Caranya, dengan mengenkripsi hard drive dan menulis ulang file yang dikenai..
BNP Paribas Real Estate (BNPP.PA), sebuah perusahaan penyedia layanan pengelolaan properti dan investasi juga mengaku menjadi korban serangan virus Petya. Namun, mereka enggan mengungkapkan seberapa besar dampak serangan siber tersebut.

Virus Petya, yang dilaporkan telah mengadopsi fitur ransomware WannaCry, akan memblokir sistem komputer dan mengenkripsi seluruh data di dalamnya.

Terkait serangan siber global terbaru, para pakar keamanan masih mempertanyakan apakah motivasi peretasan murni pemerasan atau terdapat motif lainnya. Sebab, serangan ini terjadi tak lama setelah serangan WannaCry melanda puluhan negara.

Berdasarkan kasus diatas, pasal 2 sampai pasal 6  pada Council of Europe Convention on Cybercrime bisa menjadi dasar hukum yang dapat di terapkan pada kejahatan tersebut.

Pasal 2 – Akses Ilegal
Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk di tetapkan sebagai tindakan pidana : Mengakses secara sadar seluruh atau sebagian dari seistem computer tanpa hak. Pihak Negara berhak mensyaratkan bahwa pelanggaran tersebut melibatkan pelanggaran langkah-langkah pengamanan dengan maksud untuk mengambil data computer atau untuk niat lain yang tidak jujur, atau berkaitan dengan sebuah system computer yang tersambung kepada computer lainnya.

Pasal 3 – Penyadapan illegal
Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan lain sebagaimana mungkin perlu untuk ditetapkan sebagai tindak pidana : menyadap tanpa hak, melalui teknik-teknik tertentu, transmisi data computer yang bukan milik umum dari atau dalam sebuah system computer, termasuk emisi elektromagnetik dari sebuah system computer yang membawa data computer tersebut. Pihak Negara mensyaratkan bahwa tindakan-tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan yang tidak jujur, berkaitan dengan system computer yang tersambung kepada system computer lain.

Pasal 4 – Gangguan data
1. Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk di tetapkan sebagai tindak pidana : Pengrusakan, penghapusan, pemburukan, perubahan, atau menahan data computer tanpa hak dan dengan sengaja;
2. Pihak Negara berhak menyaratkan bahwa perilaku yang disebutkan pada paragraph pertama menimbulkan dampak buruk yang serius.

Pasal – 5 Gangguan system
Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk di tetapkan sebagai tindak pidana : secara serius merintangi fungsi dari sebuah system computer dengan tanpa hak melalui memasukkan, memindahkan, merusak, menghapus, memperburuk, mengubah, atau menahan data computer.

Pasal 6 – Penyalahgunaan perangkat
1. Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk ditetapkan sebagai tindak pidana : jika dilakukan secara sadar dan tanpa hak :

     a. Produksi, penjualan, pengadaan, impor, distribusi, atau mengadakan hal-hal seperti :
        i. Sebuah perangkat termasuk program computer yang didesain atau diadopsi utamanya untuk tujuan melakukan suatu jenis tindak pidana sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 2 sampai 5;
             ii. Sebuah kata kunci computer, kode akses, atau data serupa yang bisa membuat keseluruhan atau sebgian system computer dapat diakses, dengan tujuan digunakan untuk melakukan suatu tindakan pidana seperti yang disebutkan dalam pasal 2 sampai 5 dan

     b. Pemilikan sebuah benda yang dimaksud didalam paragraph a.i atau ii diatas, dengan maksud akan digunakan untuk melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan dalam pasal 2 sampai 5. Pihak Negara berhak mensyaratkan atas nama hokum bahwa benda-benda yang disebutkan diatas dimiliki sebelum petanggungjawaban hukum muncul.

2. Pasal ini tidak boleh diterjemahkan sebagai menetapkan konsekuensi hokum bagi kejahatan diaman produksi, penjualan, pengadaan, impor, distribusi, atau mengadakan hal-hal yang disebut dalam pasal 2 sampai pasal 5 konvensi ini, seperti untuk pengujian atau perlindungan sebuah system computer yang diperbolehkan.

3. Setiap pihak Negara diperbolehkan untuk tidak menerapkan paragraph 1 pasal ini jika kekhususan tersebut tidak berkaitan dengan penjualan, distribusi atau pengadaan hal-hal yang disebutkan dalam paragraph 1 a.ii pasal ini.

Kelima pasal ini merupakan pelanggaran terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data computer dan system.
Kemuadian pasal 13 merupakan pasal sanksi dan tindakan yang harus diambil oleh Negara peserta.

Pasal 13 – Sanksi-sanksi dan tindakan-tindakan
1. Pihak Negara harus menerapkan undang-undang dan pendekatan-pendekatan lain yang diperlukan untuk menjamin pelanggaran yang dimaksud oleh pasal 2 sampai pasal 11 dapat dihukum dengan sanksi yang efektif, proporsional, dan membuat jera, termasuk pencabutan kebebasan.

2. Pihak Negara perlu menjamin bahwa individu-individu yang diminta pertanggungjawabannya sebagaimana disebut dalam pasal 12 diberi sanksi yang efektif, proporsional, dan membuat jera atau memberi tindakan lainnya, termasuk sanksi keuangan.

Pasal ini membuka kemungkinan sanksi atau tindakan yang mencerminkan keseriusan pelanggaran, misalnya lain, tindakan-tindakan yang dimaksud dapat mencakup perintah atau perampasan.
Konvensi ini memberikan kebebasan kepada Negara pihak dalam mengambil keputusan untuk dapat menciptakan system tindak pidana dan sanksi yang kompatibel dengan hukum nasional yang sudah ada.

Cyber Law Negara Indonesia:

Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada cyber Law ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.

Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. 

Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal    27:       Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal    28:       Berita bohong dan Menyesatkan, Berita kebencian dan permusuhan
Pasal    29:      Ancaman Kekekrasan dan Menakut-nakuti.
Pasal    30:       Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal    31:       Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.

Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyber law ini yang terkait dengan terotori. Misalkan, seorang cracker dari sebuah Negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang dapat dilakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan/ hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.

Adapun beberapa cara penanggulangan cyber terrorism :
Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut
Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.

Council of Europe Convention on Cyber crime merupakan suatu organisasi international dengan fungsi untuk melindungi manusia dari kejahatan dunia maya dengan aturan dan sekaligus meningkatkan kerjasama internasional. 38 Negara, termasuk Amerika Serikat tergabung dalam organisasi international ini. Tujuan dari organisasi ini adalah memerangi cybercrime.

Tujuan utama dari Council of Europe Convention on Cyber Crime adalah untuk membuat kebijakan “penjahat biasa” untuk lebih memerangi kejahatan yang berkaitan dengan komputer seluruh dunia melalui harmonisasi legislasi nasional, meningkatkan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan meningkatkan kerjasama internasional.
Sejak fenomena terorisme menjadi diskusi dalam skala internasional, para ahli berpendapat perkembangan era globalisasi telah mempengaruhi juga terhadap perkembangan gerakan terorisme. 

Globalisasi berpengaruh pada perkembangan teknologi komunikasi yang akhirnya menciptakan dunia komunikasi yang berbasis computer, yang didalam kehidupan sehari-hari di kenal dengan internet.

Jaringan Internet di manfaatkan oleh para pelaku terorisme yang menunjang kegiatan teroris mereka, penggunaan internet oleh teroris di kenal dengan “terrorist use the internet”.

Penggunaan ini hampir sama dengan pengguna internet yang lain. Mereka menggunakan internet untuk berkomunikasi dengan sesamanya dan untuk mencari pendukung dengan menyebarkan propaganda lewat situs-situs internet. Mereka juga menggunakan internet untuk menyebarkan atau mendistribusikan informasi (foto, audioa, video, dan software), mencari informasi untuk kegiatan terorismenya.

Cyber terrorism bukan lagi suatu fenomena tetapi telah secara nyata menjadi suatu bentuk kejahatan. Hal ini memberikan dampak negative pada system komunikasi dan system infrastruktur yang telah menggunakan jaringan internet maupun satelit. Luasnya daya jangkau jaringan internet memberikan keuntungan bagi para pelaku kejahatan terorisme atau kejahatan cyber. Kejahatan yang dilakukan oleh mereka dapat mengancam kemanan nasional maupun internasional.

Dalam convention on cybercrime pemidanaan atau pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan cyber diserahkan sepenuhnya kepada Negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi konvensi tersebut. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran menurut konvensi ini adalah sanksi yang efektif, proporsional, dan dapat mendidik termasuk pidana penjara.

LGBT DALAM HAM DAN KULTUR INDONESIA


LGBT DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN KULTUR INDONESIA

Karya ini Di Susun untuk Mengikuti
Lomba Essai Nasional Kelompok Penulis Muda 2018
“Peran Pemuda Sebagai Pemimpin Masa Depan dalam Mengatasi Permasalahan Indonesia”


Di Susun Oleh :
Nasrah Sandika


Makassar
2018



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini Indonesia sempat disibukkan dengan masalah legalisasi LGBT ( Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender ). Ada beberapa masyarakat, partai dan juga artis yang menyetujui hal tersebut dengan dalih mendukung demokrasi dan HAM. Banyak penganut LGBT yang kini mulai berani menampakkan diri, lalu membela hak-hak mereka untuk di akui dengan menggandeng  Hak Asasi Manusia, di mana mereka berpendapat bahwa siapapun memiliki hak untuk memilih hidup yang ingin mereka jalani.

Sedangkan di beberapa Negara Eropa sendiri, Hak lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) lebih bervariasi menurut negara. Lima dari tujuh negara yang telah melegalisir pernikahan sesama jenis terletak di Eropa. Meskipun pernah terjadi penganiayaan terhadap kaum lesbian dan gay dari masa Kekaisaran Romawi hingga abad ke-20, kaum gay lebih diterima di Eropa dibanding di benua lainnya. Tetapi berbeda dengan di Indonesia,  masalah muncul, karena di Indonesia memiliki kultur yang sangat berbeda dan juga reaksi masyarakat serta perbedaan dari berbagai sisi dengan Negara Barat seperti Eropa yang beberapa negaranya telah menyetujui hak-hak LGBT.

Di Indonesia, kita memiliki kultur yang lebih  sopan, bermoral dan beradab serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama, sesuai dengan landasan Negara kita “Pancasila” di mana pada sila pertama di sebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan pada sila kedua di sebutkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ditakutkan pula adanya rekayasa social dan keberadaan LGBT itu sendiri sebenarnya cukup mengancam kelangsungan hidup peradaban manusia di tambah lagi dari berbagai sumber, penyimpangan seksual dapat menular yang apabila keberadaannya dibiarkan secara terus-menerus akan sangat berbahaya bagi generasi bangsa dan juga berdasarkan keterangan dari WHO, pelaku LGBT merupakan yang paling rentan terhadap penyebaran HIV/AIDS.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu LGBT dan bagaimana sejarah LGBT ?
2. Apa penyebab dan bahaya LGBT ?
3. Bagaimana Hak Asasi Manusia dan kultur Negara Indonesia terkait LGBT ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa itu LGBT dan bagaimana sejarah LGBT
2. Mengetahui penyebab dan bahaya LGBT
3. Mengetahui  Hak Asasi Manusia dan kultur Negara Indonesia terkait LGBT

ISI

A. Pemaparan Masalah

Terkait legalisasi LGBT di Indonesia masih menimbulkan pro maupun kontra.
Terutama di zaman modern ini di mana masyarakat sudah mulai terpengaruh dengan kultur dari  luar yang sangat jauh berbeda dengan kultur Indonesia, kita semua tahu bahwa LGBT lebih di terima dan akhirnya di legalisasi di Negara-negara Eropa sebelum kemudian pelaku LGBT yang ada di Indonesia juga akhirnya ikut menampakkan diri.

Di tambah lagi kebiasaan masyarakat yang senang mengikuti trend sangat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah LGBT di Indonesia, akses informasi yang semakin cepat dan mudah membuat masyarakat kewalahan dalam menyaring trend-trend dari luar yang kemuadian masuk ke Indonesia termasuk trend menyimpang seperti LGBT yang kemudian serta merta diikuti oleh masyarakat. Di tambah lagi maraknya aktivis-aktivis dan organisasi-organisasi LGBT yang menampung serta membantu sesama LGBT sehingga para pelaku LGBT kini merasa tidak khawatir lagi untuk menunjukkan diri, juga banyaknya dukungan terhadap pelaku LGBT dari kalangan artis-artis bahkan beberapa partai di Indonesia.

Namun tak bisa di pungkiri juga, sangat banyak kasus pelecehan, maupun kekerasan yang terjadi terhadap pelaku LGBT, di karenakan pelaku LGBT merupakan kelompok minoritas dan kurang di terima dalam masyarakat, sehingga banyak kasus pelanggaran HAM yang di alami oleh pelaku LGBT, juga disisi lain, pelaku LGBT sangat jauh menyimpang dari kultur, maupun nilai-nilai masyarakat Indonesia sehingga kehadiran mereka sangat sulit diterima dan dianggap sebagai sesuatu yang negative.

B. Tinjauan Pustaka

a. Apa itu LGBT dan bagaimana sejarah LGBT ?

LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih di anggap mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan.

Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga digunakan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya.

Akronim LGBT merupakan sebuah upaya untuk mengategorikan berbagai kelompok dalam satu wilayah abu-abu; dan penggunaan akronim ini menandakan bahwa isu dan prioritas kelompok yang diwakili diberikan perhatian yang setara.  
Sejarah LGBT di mulai dari Era Revolusi Perancis pada 1791 ketika sekularisme mulai mendapat tempat sementara peran agama terutama gereja tidak lagi relevan dalam sosial, politik dan ekonomi hingga jatuhnya pemerintahan Turki Uthmaniyyah, masyarakat Barat yang pada awalnya berada dalam zaman kegelapan mulai membebaskan diri dari ikatan beragama. Tindakan ini telah melahirkan satu masyarakat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang menjadikan kehendak manusia tanpa batasan (humanisme) sebagai tuhan sampai munculnya golongan yang mulai berani memperjuangkan orientasi seks songsang berdalilkan kebebasan berkehendak dan hak asasi manusia. Mulai dari sinilah penyakit moral ini mulai tersebar ke seluruh dunia yang mana negara-negara Islam turut sama menjadi sasarannya.
LGBT di Indonesia setidaknya sudah ada sejak era 1960-an. Ada yang menyebut dekade 1920-an. Namun, pendapat paling banyak menyebut fenomena LGBT ini sudah mulai ada sekitar dekade 60-an. Lalu, ia berkembang pada dekade 80-an, 90-an, dan meledak pada era milenium 2.000 hingga sekarang.

Jadi, secara kronologis, di Indonesia perkembangan LGBT ini sesungguhnya telah dimulai sejak era 1960-an. Kalau dulu terkenal Sentul dan Kantil, kini sebutannya adalah Buci dan Femme.

b. Penyebab dan bahaya LGBT

Faktor-faktor  penyebab LGBT ada berbagai macam,

Yang pertama adalah pengaruh genetik, berupa kelebihan kromosom, yang menyebabkan seorang pria berperilaku layaknya wanita atau sebaliknya. Factor ini sebagian besar dialami oleh pelaku Lesbian ataupun gay yang sejak kecil merasa ada yang berbeda dan menyimpang dari orientasi seksualnya.

Faktor kedua adalah keluarga, keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak, seorang anak akan belajar banyak dari keluarganya, namun apabila keluarga lebih banyak mencontohkan hal-hal yang bersifat negatif lalu kemudian menjadi trauma bagi anak sehingga dapat berpengaruh bagi orientasi seksualnya, misalnya, seorang anak perempuan yang menyukai sesama perempuan dan membenci laki-laki di karenakan trauma sejak kecil melihat ayahnya bersikap kasar terhadap ibunya. Atau, bisa saja sang anak sejak kecil mengalami kelainan orientasi seksual di karenakan pengaruh genetik tetapi tidak di berikan pengawasan dan juga perhatian oleh orang tuanya sehingga kelainan tersebut terbawa hingga dewasa.

Faktor ketiga adalah pengaruh lingkungan. Biasanya faktor ini berpengaruh saat usia remaja, pergaulan yang bebas dan mengikuti trend seperti trend LGBT di Eropa, atau karena kecewa dan sakit hati oleh pasangan sehingga memutuskan untuk merubah orientasi seksualnya.

Adapun menurut psikolog, dalam tumbuh kembang anak terdapat 2 masa kritis yang harus di awasi dan diarahkan oleh orang tua, yaitu umur 3-4 tahun dan usia remaja, di mana terkadang orang tua  kurang memberikan pendidikan tentang seks usia dini kepada anak, sehingga anak menjadi bingung dengan gendernya sendiri, atau bahkan terkadang orang tua menjadi salah asuh kepada anak di mana anak laki-laki di perlakukan layaknya anak perempuan atau sebaliknya sehingga menjadi kebisaan hingga dewasa.

Sementara bahaya LGBT adalah pelaku sangat rentan terhadap penyebaran HIV/AIDS dan bahkan bisa menularkan penyimpangan orientasi seksualnya melalui promosi-promosi dengan cara menargetkan akan-anak  di bawah umur untuk di pengaruhi juga melalui lingkungan pergaulannya sehingga pelaku LGBT pun semakin meningkat dan tentu saja ini sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa dan kelangsungan peradaban manusia itu sendiri.

c. Bagaimana kaitan LGBT dan Hak Asasi Manusia serta kultur Indonesia ?

Pengertian HAM disebut dalam pasal 1 butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Sedangkan batas-batas Hak Asasi Manusia adalah sepanjang tidak melanggar Hak Asasi Manusia yang lain.

Adapun kaitannya dengan LGBT adalah pelaku menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai tameng bahwa setiap orang berhak memilih orientasi seksualnya dan menjalani hidup yang mereka inginkan. Tetapi, ketika Tuhan menciptakan manusia sebagai laki-laki atau perempuan kemudian manusia menggunakan Hak Asasi manusia yang merupakan anugerah Tuhan sebagai tameng untuk melawan kodrat yang telah Tuhan tetapkan, bukankah itu kontradiksi ?

Lalu ketika melawan LGBT sama dengan melanggar HAM, apakah itu berarti semua agama yang di akui di Indonesia melanggar HAM ? Karena pada kenyataannya sepanjang yang penulis ketahui adalah tidak satupun agama yang mendukung perilaku LGBT sampai saat ini.
Adapun dari pihak Komnas HAM sendiri mengatakan bahwa HAM tidak memandang dari segi manapun, apapun jenis kelaminnya baik menyimpang ataupun tidak, HAM melindungi seluruh umat manusia yang haknya terancam atau dilanggar.

Lalu kemudian dari kultur Indonesia, budaya dan adab, seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa dan merupakan nergara yang bermoral dan beradab sesuai dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi Negara, Indonesia juga merupakan Negara yang punya etika, dimana banyak hal yang sebenarnya di anggap tabu, termasuk mengenai penyimpangan seperti LGBT.

C. Gagasan

Dalam menghadapi polemik pro maupun kontra suatu masalah seperti legalisasi LGBT, sebaiknya hal yang harus di pertimbangkan adalah pilihan mana yang lebih menguntungkan atau lebih memungkinkan untuk di lakukan, melihat das sein maupun das sollen.
Serta tidak lupa untuk menjadikan aspek-apek terkait sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Dalam kasus legalisasi LGBT beberapa aspek yang dapat menjadi pertimbangan adalah Hak Asasi Manusia, Kultur, Ideologi Negara, Perangkat Hukum seperti Undang-Undang Perkawinan maupun reaksi masyarakat terhadap pelaku LGBT itu sendiri.

Lalu berdasarkan keterangan dari salah seorang narasumber yang penulis temui,  penyimpangan seksual bisa di sembuhkan, mantan pelaku tersebut mengatakan bahwa ia sempat mengalami penyimpangan seksual saat usia 3 tahun, tetapi dari pihak keluarga diawasi dan dididik dengan keras, akhirnya mantan pelaku menjadi sadar dan kembali pada orientasi seksual yang normal hingga kini.
Adapun narasumber lain mengatakan bahwa ia sejak kecil juga mengalami penyimpangan seksual tetapi tidak di awasi oleh keluarga hingga dewasa, dan kini tetap mengalami penyimpangan seksual.

Point pentingnya adalah penyimpangan seksual bisa di sembuhkan, dengan bantuan keluarga dan tim medis seperti psikolog maupun psikiater dan tentunya tanpa kekerasan.

Yang perlu kita lakukan juga adalah sosialisasi mengenai kesadaran dalam menghargai Hak setiap orang, bukan karena memiliki orientasi seksual yang normal atau menyimpang, tetapi karena setiap orang memang memiliki hak asasi manusia sejak lahir yang harus kita hormati dan tidak boleh dilanggar.
Serta pentingnya pendidikan seks usia dini, untuk anak-anak agar tidak terjadi kebimbangan terhadap orientasi seksualnya, dan tidak terjadi kekerasan maupun pelecehan seksual.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulannya adalah bahwa LGBT telah ada sejak dulu kala, namun seiring perkembangan jaman dan technology jumlah pelaku LGBT semakin meningkat.

Penyebab seseorang menjadi pelaku LGBT pada umunya karena faktor keluarga, dan lingkungan.

Para pelaku LGBT kini mulai menuntut legalisasi dan menuai pro kontra, ada yang mendukung mulai dari kalangan artis hingga partai politik dan adapula yang menolak.

Lalu mengapa mereka menganggap bahwa LGBT perlu di legalisasi khususnya di Indonesia ?

Berdasarkan KBBI, legalisasi adalah pengesahan (menurut Undang-Undang atau hukum).

Oleh sebab itu mereka meminta legalisasi, karena mereka butuh pengakuan hukum, mereka butuh pengakuan dari masyarakat bahwa LGBT setara dengan masyarakat biasa pada umumnya. Karena sebagian masyarakat di Indonesia masih beranggapan bahwa LGBT adalah penyakit, kelainan, pendosa, melawan kodrat, sampah masyarakat dan lain sebagainya yang dianggap tabu dan negatif. sehingga tidak sedikit pelaku LGBT yang merasa terdiskriminasi dan merasa di langgar hak asasi manusianya.

Hal tersebut terjadi karena kultur di Indonesia, budaya dan adab serta nilai-nilai yang di pegang teguh sejak zaman dahulu sangat bertentangan dengan LGBT.

Agama-agama yang diakui di Indonesia tidak satupun yang mendukung perilaku LGBT, juga budaya, moral, etika serta adab-adab kesopanan sebagai salah satu warisan leluhur pun tidak sesuai dengan perilaku LGBT, dan mindset masyarakat pun sebagian besar tidak mentolerir perilaku LGBT.

Lalu untuk bergerak bebas, untuk bisa luput dari diskriminasi dan stigma negatif, pelaku LGBT akhirnya menuntut legalisasi seperti di Negara-negara Eropa.
Karena selama ini, tanpa embel-embel legalisasi, pelaku LGBT pun sudah ada di mana-mana, hanya saja mereka tidak bisa bergerak bebas dan menampakkan diri karena stigma negatif  yang melekat serta tidak adanya pengakuan baik pengakuan hukum maupun pengakuan masyarakat, sebab sejauh ini belum ada hukum yang mengatur secara pasti mengenai LGBT, apakah di bolehkan atau di larang dan juga bertentangan dengan kultur masyarakat Indonesia.

B. Saran

Yang menjadi masalah adalah, karena pelaku LGBT merupakan kelompok minoritas dan dianggap menyimpang oleh masyarakat Indonesia  maka banyak kasus kekerasan, pelecehan maupun pelanggaran HAM lainnya yang akhirnya harus mereka alami, tetapi bukan berarti bahwa LGBT harus di legalisasi untuk menghindari hal tersebut, yang harusnya di perbaiki adalah kesadaran masyarakat bahwa meskipun ada yang berbeda, ada yang minoritas bukan berarti kita boleh melanggar Hak mereka.

Hak Asasi Manusia melekat pada diri setiap orang sejak lahir apapun sukunya, agamanya, rasnya apalagi dengan orientasi seksualnya, setiap orang harus dihargai dan dilindungi haknya entah kamu adalah pelaku LGBT atau bukan. sehingga seharusnya HAM tidak di jadikan tameng untuk melegalisasikan LGBT, dan juga kita harus menghargai hak setiap orang tanpa melihat orientasi seksualnya sehingga tidak terjadi diskriminasi.

Adapun melihat dari kultur Indonesia, menurut penulis LGBT sebaiknya tidak di legalisasi karena tidak sesuai dengan kultur yang ada di Indonesia.

Dan juga tidak bisa kita pungkiri bahwa LGBT dapat menular dan pelaku LGBT sangat rentan terhadap penyakit HIV/AIDS yang tentunya ini sangat berbahaya bagi umat manusia dan generasi penerus bangsa.

Tidak lupa peran penting keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak- anak dalam mengawasi dan mengedukasi sebagai langkah awal pencegahan penyimpangan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/LGBT
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_LGBT_di_Eropa
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/01/28/o1n41d336-menelisik-perjalanan-lgbt-di-indonesia
https://kbbi.web.id/legalisasi
https://perpusmuslimind.blogspot.co.id/2015/07/sejarah-lgbt-lesbian-gay-biseksual-dan.html