Rabu, 25 September 2019

KORUPSI, PENYAKIT MENULAR DALAM LINGKARAN SETAN

Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2013


Desember 2013, tepat 4 bulan saya menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum universitas hasanuddin. Untuk pertama kalinya saya turun ke jalan dengan almamter merah dan megaphone di tangan dalam rangka memperingati “HARI ANTI KORUPSI”. Isu yang saya bawa tentu saja menyangkut hal-hal tentang korupsi. Saat itu yang menjadi presiden adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Budiono sebagai wakil presiden.

Kini hampir enam tahun berlalu, dan mahasiswa kembali turun ke jalan dengan isu yang hampir sama, tidak jauh dari perihal korupsi, revisi UU KPK yang beberapa pointnya di setujui oleh presiden saat ini, Bapak Joko Widodo dan di sahkan menjadi UU KPK. Juga tentang revisi UU KUHP yang persetujuannya masih di tunda oleh Presiden, yang salah satu revisinya sangat sinting menurut saya, Pengurangan masa tahanan koruptor dari minimal 4 tahun menjadi minimal 2 tahun.

Sebenarnya, enam tahun adalah waktu yang sangat singkat dalam masa korupsi. Sebab dalam sejarahnya korupsi itu sendiri sudah ada sejak zaman kuno yaitu pada peradaban Mesir, Ibrani, Babilonia, Yunani Kuno, Cina, Romawi Kuno dan juga di negara-negara Barat.

G.R Drdriver J.C Miles dalam menerjemahkan The Babilonian Constitution menyebut perilaku korupsi telah mencapai puncak kesempurnaannya sejak sekitar tahun 1200 SM. Saat itu, Hammurabi dari Babilonia yang baru menaiki tahta kekuasaannya memerinthakan kepada seorang gubernur untuk menyelidiki penggelapan yang melibatkan pegawai pemerintahan di bawahnya. Hammurabi mengancam para pejabat di bawahnya dengan hukuman mati. Ini adalah sedikit gambaran betapa korupsi telah menjadi masalah sejak ribuan tahun silam.

Sedangkan korupsi di Indonesia sendiri tercatat dalam buku History of Java karya Thomas Stamford, dimana di sebutkan mengenai budaya pada saat itu yang sangat tertutup dan penuh keculasan sehingga turut menyuburkan budaya korupsi di Nusantara pasca colonial penjajah barat. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti dari rakyat yang akan di serahkan kepada Demang (Lurah) yang selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tumenggung. Abdi dalem di Ketumenggungan setingkat Kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan di serahkan kepada Raja atau Sultan.

Dari sini kita dapat melihat proses korupsi itu terjadi, pun di era sekarang saya pikir masih dengan model yang sama, hanya saja korupsi sekarang menjadi dua arah. Jika pada pasca colonial penjajah barat atau pada era kerajaan di berlakukan upeti atau pajak yang kemudian bisa di korupsi, pada era sekarang bukan hanya pajak dari rakyat yang bisa di korupsi, tetapi juga korupsi terjadi pada anggaran-anggaran lainnya yang untuk rakyat. Atau lebih singkatnya era sekarang lebih banyak jalan dan cara untuk korupsi.

Lalu pada pasca orde lama, dibentuk badan pemberantasan korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Pada tahun 1963 melalui keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali di galakkan.

Pasca orde baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang di ketuai Jaksa Agung tetapi dianggap tidak serius dalam melakukan pemberantasan korupsi hingga dibentuk Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi, namun seiring berjalannya waktu Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
Pasca Reformasi, penyakit korupsi menyebar kemana-mana dan membentuk lingkaran setan. Presiden BJ. Habibie mengeluarkan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN serta pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.

Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2000. Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review MA, TGPTPK di bubarkan.

Di masa pemerintahan Megawati, konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat keluar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.

Hingga pada tahun 2002, KPK didirikan oleh Presiden Megawati. Pendirian KPK ini didasari karena Presiden Megawati melihat institusi kejaksaan dan kepolisian terlalu kotor, sehingga untuk menangkap koruptor dinilai tidak mampu, namun jaksa dan polisi sulit dibubarkan sehingga dibentuklah KPK hingga kini.

Perjalanan KPK dalam menangani berbagai kasus korupsi tidak selalu mulus bahkan bisa dikatakan selalu terdapat hambatan dan terkadang terjadi hal-hal yang membahayakan nyawa para penyidik, seperti pada kasus Novel Baswedan yang disiram air keras oleh orang yang tak dikenal.

Lalu kondisi Indonesia menjadi tidak kondusif karena revisi UU KPK yang menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, setelah revisi UU KPK disahkan menjadi UU KPK yang baru, kini muncul lagi revisi UU KUHP yang salah satu muatan revisinya adalah pelaku korupsi dihukum paling sedikit 2 tahun juga minimum denda diturunkan padahal dalam pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk para koruptor paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara, pun dendanya paling sedikit Rp.200 juta namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp. 10 juta. Di saat negara-negara lain berlomba-lomba untuk memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor, di Indonesia koruptor justru seperti di manjakan, belum lagi potongan masa tahanan.

Lagi pula tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang khusus bukan di masukkan kedalam KUHP, karena hal tersebut akan membuat tindak pidana korupsi menjadi tindak pidana biasa. Selain itu, memasukkan pasal-pasal tentang tindak pidana korupsi ke dalam KUHP justru akan menimbulkan kebingungan dalam penegakan hukum, karena diatur oleh dua Undang-Undang dengan bobot yang berbeda.

Saya bukannya tidak setuju dengan revisi UU KPK dan KUHP, tapi revisi berarti perbaikan atau peninjauan kembali untuk perbaikan bukannya malah memperburuk, jadi seharusnya hasil revisi adalah sesuatu yang baik. Jika saja revisinya adalah mengubah hukuman para koruptor dari minimal 4 tahun penjara menjadi hukuman mati, maka saya sangat setuju sekali.
Seperti kita ketahui, beberapa negara kini memberlakukan hukuman mati terhadap para koruptornya, di Indonesia pun pernah diwacanakan mengenai hukuman mati terhadap para koruptor, tetapi hal tersebut di tentang oleh komnas HAM, menurut komnas HAM hukuman mati merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, tapi herannya hukuman mati bagi para teroris boleh-boleh saja.

Padahal pada zaman kuno pun yang berlaku bagi para koruptor adalah hukuman mati. Misalnya Kautilya yang merupakan perdana menteri Maurya yang paling terkenal pada abad IV SM, sangat menaruh perhatian terhadap korupsi. Dia selalu menekankan pentingnya moralitas dan kejujuran. Pegawai negara dan keluarganya yang bertindak korup di ganjar dengan hukuman mati. Sebagian lain di usir dari kerajaan dan disita harta kekayaannya. Korupsi dipandang sebagai tindakan amoral dan pelakunya harus mendapatkan ganjaran sangat berat. Hukuman moral bagi masyarakat kuno ini sangat dipatuhi. Disamping memiliki daya paksa (represif), hukum moral juga dipandang sebagai representasi keterlibatan Tuhan dalam persoalan social tertentu, karena itu pelakunya tidak bisa diampuni.

Dam dengan menggunakan pertimbangan semacam inilah, Gaius Verres pada abad 115-43 SM, pejabat Negara Romawi Kuno yang terbukti melakukan korupsi diasingkan sekaligus di bunuh.

Dalam UU Tipikor memang diatur mengenai hukuman mati bagi para pelaku korupsi yaitu dalam UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No.20 tahun 2001. Namun dalam peraturan perundang-undangan tersebut disebutkan bahwa hukuman mati dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya apabila yang di korupsi adalah bantuan bencana alam atau korupsi pada saat negara sedang masa krisis. Lalu apabila tindak pidana korupsi terjadi selain pada masa tersebut, maka hukuman mati tidak dapat di jatuhkan.

Menurut saya, melihat kondisi negara saat ini yang koruptornya sudah merajalela sebaiknya hukuman mati diberlakukan tanpa terkecuali, dengan begitu dapat menekan angka tindak pidana korupsi dan menimbulkan efek jera. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa korupsi termasuk extraordinary crime maka harus di tangani dengan cara yang luar biasa juga. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena bagian dari pencurian, perampokan dan penjajahan terhadap hak seluruh rakyat Indonesia yang artinya pelaku tindak pidana korupsi melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga seharusnya tidak dibenturkan oleh Hak Asasi Manusia itu sendiri.

JIka pelaku teroris dan pengedar narkoba bisa di jatuhkan hukuman mati, mengapa tidak dengan pelaku tindak pidana korupsi ? Baik itu teroris, pengedar narkoba, dan korupsi sama-sama merupakan kejahatan extraordinary crime.

Yang lebih miris dari fenomena korupsi di Indonesia adalah kurangnya rasa malu atas tindakan amoral yang mereka lakukan, tidak sedikit pelaku tindak pidana korupsi yang masih bisa tersenyum sambil melambaikan tangan ke kamera saat sudah berstatus tersangka, juga berdalih bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah khilaf semata.

Selain itu, sebagaiman kita tahu saat ini, hukuman penjara dan juga denda bagi para koruptor hanyalah formalitas belaka, tak jarang kita lihat berita mengenai nyamannya kehidupan para koruptor dalam rumah tahanan, fasilitas seperti hotel mewah, bahkan sering tertangkap kamera sedang keluyuran. Itu bisa terjadi tentu saja dengan bantuan “orang dalam”. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya efek jera terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, di tambah lagi, mantan narapidana korupsi tetap bisa memegang jabatan politik. Hampir tidak ada ruginya menjadi koruptor di Indonesia, dapat uang banyak, jaminan hidup enak dari orang dalam, potong masa tahanan, dan peluang jabatan tetap ada.  Lalu apa alasan untuk tidak korupsi ?

Awalnya mungkin hanya sedikit, lalu sedikit lagi, tapi ketika uang yang didapatkan bertambah, maka bertambah pula pengeluaran yang harus ditutupi, awalnya hanya satu mobil, lalu ingin dua mobil, hingga jumlah yang di korupsi tentu saja semakin banyak. Butuh iman yang kuat untuk menolak uang, harta adalah godaan tersulit bagi manusia.

Selain itu, ketika koruptor ingin berhenti, tentu saja tidak mudah, menjadi koruptor adalah rahasia umum dalam suatu badan atau lembaga. Penyelewengan uang ratusan ribu saja sudah pasti diketahui oleh pihak lain, apalagi sampai miliyaran, lalu kenapa tetap diam ? Karena yang mengetahui sama-sama koruptor. Menjadi Koruptor berarti masuk ke lingkaran setan, korupsi tidak mungkin sendiri. Jikapun pada akhirnya yang tersangka hanya satu orang, berarti yang lain tertutupi. Sehingga untuk berhenti hampir mustahil. Sejujurnya saya tahu sedikit karena saya pernah berada dalam lingkaran setan ini, dan sebelum saya terjerat lebih jauh, saya memutuskan untuk berhenti. Caranya ? Resign.

Sejauh yang saya tahu, sangat sulit untuk tidak ikut terjerumus masuk kedalam lingkaran setan para koruptor, kecuali jika badan atau lembaga yang benar-benar bersih secara keseluruhan. Saya setuju jika korupsi diibaratkan sebagai virus, sedikit saja terinveksi, maka semua akan ikut sakit. Korupsi seperti penyakit menular yang sulit untuk dihindari. Secara umum, meskipun itu salah, jika bersama-sama rasa takut seperti hilang, apalagi jika ada atasan dalam lingkaran, seperti terlindungi. Semuanya menjadi sakit.

Agama dan moral pun saat ini sepertinya sudah tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan korupsi, budaya malu di Indonesia sudah sangat tipis hampir habis. Satu-satunya cara adalah mencegah sebelum terjadi, dengan ancaman hukuman mati, saya pikir itu cukup. Tapi kapan ? 

-Nasrah Sandika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar