Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum adalah wilayah “hitam-putih” yang salah harus dihukum dan yang benar harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan. Sedangkan politik adalah ranah kepentingan yang merupakan alat untuk mencapai tujuan. Yang menarik adalah kedua topic yang berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Pada tatanan realitas kedua topic tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya politik dapat mempengaruhi hukum.
Sebagai negera yang berdasar atas hukum dan bukan atas dasar kekuasaan Indonesia menuangkan cita-cita ataupun tujuan negara melalui hukum sebagai sarananya dengan kata lain hukum adalah sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan negara yang sudah dicita-citakan. Hukum yang ada di Indonesia menurut bentuknya di bedakan menjadi hukum tertulis dan tidak tertulis. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pembentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden sebagai perwakilan pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan dan DPR sebagai wakil rakyat yang membidangi legislasi pasti mempunyai kepentingna-kepentingan politis yang pada titik tertentu kepentingan-kepentingan politik tersebut dapat terkonritisasi dalam peraturan perundang-undangan.
Apabila aroma politis sangat kuat tercium dalam peraturan perundang-undangan maka yang sangat di khawatirkan adalah timbulnya pengkaburan terhadap tujuan dibentuknya hukum itu sendiri yaitu untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum rakyat. Apabila pengkaburan tujuan hukum ini terjadi terus menerus dan berulang-ulang, maka tujuan negara tidak dapar terwujud sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.
Sebagaimana kita ketahui, bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan pada suatu masa pemerintahan tertentu dapat berbeda dengan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan pada masa yang lain, hal ini sangat tergantug pada penguasa dan kewenangannya untuk membentuk suatu keputusan yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu diupayakan semaksimal mungkin walaupun terjadi perubahan kekausaan negara, jangan sampai mengkaburkan tujuan hukum yang pada akhirnya akan mempersulit pencapaian tujuan negara.
Sebagaimana kita ketahui bahwa produk-produk hukum di Indonesia merupakan produk politik. Dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan setiap rancangan Undang—Undang di bahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Begitu pula Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat sehingga pengesahan suatu rancangan peraturan perundang-undangan menjadi undang-undang adalah bentuk kesepakatan bersama antara Presiden dan DPR.
Suatu mekanisme penciptaan peraturan perundang-undangan salah satunya dibentuk melalui politik hukum yang dikehendaki para penguasa pada masa tersebut sehingga mekanisme penciptaan hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah berdasarkan kehendak dan kewenangan pemegang tampuk kekuasaan. Politik hukum dapat dijabarkan sebagai kemauan atau kehendak negara terhadap hukum, artinya untuk apa hukum itu diciptakan, apa tujuan penciptaannya dan kemana arah yang hendak dituju. Politik hukum adalah kebijakan pemerintah mengenai hukum mana yang akan dipertahankan, hiukum mana yang akan diganti, hukum mana yang akan direvisi dan hukum mana yang akan hilang. Dengandemiian melalui politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana pembnagunan hukum nasional di Indonesia.
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konritisasi dari nilai-nilai yang suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hubungan antara hukum politik keduanya tidak dapat dipisahkan baik dalam pembentukan mau[un implementasinya. Pakar hukum tata negara Universitas Diponegoro, Soehardjo S.S berpendapat bahwa hukum dan politik merupakan pasangan, dibuktikan dengan pengaruh signifikan konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia.
Menurut Daniel S. Lev yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik dan tempat hukum dalam negara tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideology pilitik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Dari kenyataan ini disadari adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik hingga terbentuk suatu produk hukum. Mariam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi kebijaksanaan umum pemerintah baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan. Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam intitusi politik itu sangat menentukan.
Pengaruh kekuatan-kekutan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks dan balances, seperti yang dianut UUD 1945 setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembag negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungssi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih belum lepas dari intervensi politik. Intervensi tersebut tidak hanya pada proses pembentukan produk hukum, namun juga pada proses-proses pelaksanaannya dilembaga peradilan. Menurut Ikrar Nusabakti dari lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Trasnparency International Indonesia, diungkapkan dalam diskusi intevensi politik terhadap penegakan hukum dan HAM dikantor komisi yudisial. Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter, namun adanya intevensi politik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, independensi peradilan itu hanya mitos yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan Hakim Agung, calon hakum yang diseleksi komisi yudisial pada akhirnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Disinilah transaksi politik terjadi. Orang-orang yang dikirim ke MA merupakanhasil kompromi politik. Memang ada hakim karir, tapi bahkan merekapun tidak bebas dari transaksi politik. Masih menurut Yodung, independensi peradilan iniakhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan.
Berbagai factor mempengaruhi produk hukum di Indonesia dianggap lebih bersifat represif dibandingkan responsive. Romli Artasismita berpendapat bahwa proses legislasi dengan produk perundang-undangan bukanlah proses yang steril dari kepentingan politik karena ia merupakan pproses politik. Bahkan implementasi perundang-undangan tersebut dikenal dengan sebutan penegakan hukum juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik.
Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Hal ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR justru kemudia diujikan ke MK. Sementara itu menurut Wahyudi Jafar dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan undang-undang memang tidak dapat lepas dari adanya transaksi politik. Namun, yang terpenting juga adalah bagaimana agar proses pelaksanaan penegak hukum oleh lembaga peradilan menjadi mandiri.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebgai undang-undang merupakan produk politik, artinya bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbai kekuaaan sosial dan kemudia diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungo tersebut meliputi kepentingan individu, masyarakat serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD. Mengatakan dalam bukunya yang berjudul POLITIK HUKUM, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada didalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energy yang lebih besar sehungga hukum selalu berada diposisi yang lemah. Kondisi demiakian mengeksplisitkan bahwa perjalanan politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api diluar relnya, artinya banyak sekali praktik politik yang substantive bertentangan aturan-aturan hukum. Menurutnya terdapat tiga macam jawaban untuk melihat hubungan antara hukum dan politik, yaitu :
1. Hukum merupakan determinan politik, kegiatan politik harus tunduk pada hukum.
2. Pandangan yang melihat bahwa politik determinan atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah produk politik yang sarat dengan kepentingan dan konfigurasi politik.
3. Pandangan yang melihat bahwa hukum dan politik merupakan dua elemen subsitem kemasyarakatan yang seimbang, karena walaupun hukum merupakan produk politik maka ketika ada hukum yang mengatur aktivitas politik maka politikpun harus tunduk pada hukum.
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan perundang-undangan tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah.
Statement-statement diatas memberikan penegasan bahwa didalam realisasi empirisnya politik sangat menentukan bekerjanya hukum, melalui sejak proses pembentukan sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Mahfud politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses pembuatannya. Hubungan kausalitas antara hukum dann politik, khususnya dalam bidang hukum public tampak dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsive atau populistik sedangkan sistem politik yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau conservative.