Konsep Masyarakat
Masyarakat menurut koenaraningrat (1980), ialah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi manurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang di sebut masyarakat ialah berupa kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa, atau masyarakat negara bangsa. Interaksi yang kontinyu ialah hubungan pergaulan dan kerjasama antar anggota kelompok atau golongan.
Konsep komunitas mengacu pada kesatuan hidup manusia dengan jumlah anggota besar dan keterikatan pada wilayah geografi tertentu seperti komunitas-komunitas petani, nelayan, dan komunitas masyarakat kota yang hidup dari berbagai sektor ekonomi jasa, industri, perdagangan baik formal maupun informal.
Konsep suku bangsa mengacu pada kesatuan hidup manusia yang memiliki dan dicirikan dengan serta kesadaran kesamaan budaya. Interaksi kontinyu yang menandai masyarakat ialah sistem pergaulan dan hubunganm kerjasama yang terus menerus menurut pola-pola sosial budaya atau adat istiadat yang dianbut dalam berbagai bentuk kesatuan hidup manusia tersebut.
Konsep Masyarakat Maritim
Dengan mengacu kepada konsep masyarakat dikemukakan sebelumnya maka masyarakat bahari dipahami sebagai kesatuan-kesatuan hidup manusia berupa kelompok-kelompok kerja yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung kepada pemanfaatan sumber daya laut dan jasa jasa laut yang dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan baharinya.
Masyarakat Maritim Ideal di Indonesia
Masyarakat maritim di Nusantara secara ideal dapat dikatakan semua masyarakat Indonesia termasuk masyarakat maritim. Kebanyakan kelompok suku bangsa di kawasan pantai dan pedalaman mempunyai cerita rakyat dan metodologi tentang peradaban laut. Misalnya, Duri Enrekang terdapat jejeran bukit tanah dan gunung batu yang membentuk formasi armada kapal diceritakan sebagai kapal sawerigading yang terdampar sejak zaman metodologi tersebut.
Gambaran masyarakat pedalaman akan kegiatan ekonomi kebaharian tumbuh dari penegetahuan dengan presiasi mereka terhadap jasa-jasa positif dan nyata masyarakat bahari terhadap mereka. Jasa kebaharian yang tak kala pentingnya bagi masyarakat pedalaman ialah jasa pelayaran antarpulau.
Pemanfaatan jasa perikanan dan pelayaran pada gilirannya melibatkan hubungan fungsional yang timbal balik antara masyarakat pedalaman dan masyarakat bahari.
Wawasan kelautan mesyarakat pedalaman juga tumbuh dari kenyataan bahwa dari waktu ke waktu semakin banyak pula orang pedalaman yang terlibat dalam sektor kebaharian melalui lembaga pendidikan di sekolah sekolah kelautan dan perikanan.
Pengetahuan dan gambaran dunia kebaharian melalui mitologi dan informasi penilaian dan apresiasi terhadap jasa jasa dan harapan bagi generasi muda untuk mengakses pendidikan kebaharian berikut opeluang kerja pada sektor kebaharian masyarakat pedalaman pada tingkati dealisme
Masyarakat Maritim Aktual di Indonesia
Berbeda halnya dengan masyarakat bahari pada tataran ideal konsep masyarakat bahari yang aktual berujung kepada kesatuan-kesatuan yang sepenuhnya atau sebagian besar menggantungkan kehidupan sosial ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sunber daya laut dan jasa jasa laut.
Kesatuan kesatuan sosial masyarakat bahari tersebut kebanyakan berasal dari daerah pedesaan dan perkotaan pantai dan sebagian lainnya berasal dari pedesaan dan perkotaan pedalaman.
Sebagai kesatuan kesatuan hidup manusia dalam kelompok kerja satuan tugas komunitas, departemen, dan lain lain tentu memiliki sosial budaya masing-masing yang berfungsi sebagai pedoman perilaku hubungan kerjasama dan praktik pengelolaan pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa laut.
Cikal Bakal Masyarakat Maritim di Indonesia
Di asumsikan bahwa dalam semua masyarakat maritim di dunia, termasuk Indonesia, ada kelompok cikal bakal yang menjadi pemula atau perintis tumbuh kembangnya kebudayaan dan peradaban kebahariaannya itu.
Kalau melacak cikal bakal masyarakat maritim di Nusantara ini, maka di antara sekian banyak kelompok-kelompok suku bangsa pengelola dan pemanfaat sumber daya dan jasa-jasa laut yang ada menurut Adrian Horridge, suku bangsa Bajo (sea gypsies) di Asia Tenggara, Bugis (Teluk Bone), Makassar ( Galessong, Tallo, Pangkep), Mandar (Sulawesi Barat), Buton ( Sulawesi Tenggara), dan Madura (Wilayah Jawa Timur) di anggap sebagai pewaris kebudayaan maritim dari ras Melayu-Polinesia perintis dan pengembangang kebudayaan maritim di Asia Tenggara sejak ribuan tahun silam .
Sejak beberapa dekade terakhir bukan hanya kelompok-kelompok suku bangsa tersebut di anggap sebagai masyarakat pewaris dan pendukung kebudayaan maritim di Indonesia, tetapi tidak terkecuali bagi semua komunitas pesisir dan pulau-pulau dari sabang sampai merauke yang telah mengggagas dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi berkaitan sumber daya dan jasa-jasa laut disekelilingnya.
Karakteristik Sosial Masyarakat Maritim
Karakteristik sosial mencolok masyarakat maritim adalah :
Hubungan ketergantungan secara fisik dan psiko-sosio-budaya pada lingkungan alamnya.
Pemanfaatan lingkungan dan sumber daya laut secara bersama
Hubungan dengan kebutuhan secara mutlak pada pasar lokal, regional, dan global.
Hubungan dan kebutuhan secara mutlak pada kelembagaan lokal
Hubungan dan ketergantungan pada berbagai pihak berkepentingan dari luar.
Mobilitas geografi yang tinggi dan jaringan kesukubangsaab yang luas.
Adaptasi Fisiologi berupa penyesesuaian pemandangan, penciuman, pendengaran ukuran rongga pernafasan, mungkin juga tekanan darah. Pola-pola adaptasi laut yang kompleks dan extreme seperti ini akan memebuat masyarakat maritim sebagai individu atau kelompok keluar dari dunia kehidupan lautnya. Memanfaatkan laut dan isinya secara bersama merupakan ciri sosial budaya yang umum dan mencolok dari masyarakat maritim, khususnya nelayan di dunia.
Dalam wilayah perairan Indonesia, praktik pemanfaatan secara bebas dan terbuka pada gilirannya telah memicu persaingan terbuka yang menjurus pada konflik antar pemangku kepentingan dari berbagai asal dan suku bangsa terutama antar nelayan sendiri. Sebetulnya, praktik pemanfaatan secara bebas dan terbuka tidak selamanya menimbulkan konflik dan kerusakan lingkungan dan sumber daya laut. Kondisi ini terjadi bilamana norma yang di terapkan secara meluas di taati bersama oleh masyarakat pemanfaat.
Memasuki lingkungan laut dan memanfaatkan sumber daya yang dikandungnya serta merekayasa jasa-jasa laut yang disajikannya memaksa manusia pemanfaat secara mutlak membangun kerjasama dan melembakan kehidupan kolektif.
Dalam hal hubungan dengan dan ketergantungan pada pemanfaatan sumber daya laut, ada kolerasinya dengan hubungan dan ketergantungan pada pasar di darat. Daerah pemasaran hasil tangkapan nelayan bertingkat-tingkat menurut jenis dan kelas komoditasnya. Selain dengan dunia pasar eksternal, masyarakat maritim terutama nelayan dan pelayar, juga selamanya menjalin hubungan dengan dan ketergantungan pada berbagai pihak berkepentingan dari luar sebagai sumber perolehan modal dan biaya-biaya, kebutuhan pokok, keamanan politik, perlindungan lingkungan, dan sumber daya laut yang dimanfaatkan dan lain-lain.
Secara tradisional sudah menjadi pola umum bahwa darimana nelayan memperoleh pinjaman modal usahanya ke situ pula hasil tangkapan di pasarkan. Mobilitas geografi yang tinggi dengan hubungan kesukubangsaan yang luas dan intensif merupakan salah satu karakteristik mencolok dari masyarakat maritim, terutama masyarakat nelayan dan pelayar di mana-mana. Melalui pengembaraan yang jauh dan lama, kelompok-kelompok nelayan dan pelayar dapat bertransaksi dan bergaul dengan orang-orang dari berbagai asal dan suku bangsa dii tempat tujuan dan di laut, pelabuhan, dan kota-kota pantai
Bagi kelompok-kelompok nelayan dan pelayar di asumsikan bahwa akumulasi pengalaman yang melimpah telah menumbuhkan wawasan kelautan dan kepulauan yang luas, wawasan kebinekaan dan kebangsaan serta pandangan dunia internasional.
Dinamika Struktural Masyarakat Maritim
Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal –usul komunitas-komunitas nelayan Bugis, Bajo dan Makassar di berbagai tempat di Nusantara ini, di kenal kelompok kerjasama nelayan yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P.Sawi) yang mwnurut keterangan dari setiap desa telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun silam. Struktur Inti/elementer dari kelompok organisasi ini ialah P.Laut atau juragan dan sawi P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu uasaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang di kuasai oleh seorang P.Laut sebagai pengaruh kapitalisme. Disinilah pada awlnya muncul pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan.
Gejala perubahan struktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi inovasi teknologi perikanan. Dengan adopsi perubahan teknologi tangkap dan perahu/kapal menjadi faktor terjadinya perubahan aturan bagi hasil yang eksploitatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar