BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam hukum acara perdata.
RUMUSAN MASALAH
Apa Dan Bagaimana Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata?
Apa Saja Alat Bukti Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Perdata?
Apa Tujuan Pembuktian Perdata Dalam Hukum Acara Perdata?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBUKTIAN
Salah satu tugas hakim ialah menyelidiki apakah yang menjadi dasar perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang harus terbukti di muka hakim dan tugas kedua belah pihak yang berperkara ialah memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh hakim.
Yang dimaksud membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Selain itu yang tidak perlu di buktikan lagi adalah yang dalam hukum acara perdata di sebut fakta notoir, yaitu hal yang sudah lazimnya diketahui oleh umum. Misalnya, bahwa Negara Republic Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945, atau bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup.
Tentang siapa yang harus membuktikan, maka disini hakim memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara para pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak penggugat atau tergugat. Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim, harus bertindak arif dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang kongkrit harus diperhatikan secara seksama olehnya.
Hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan (peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal oleh pihak yang lain. Sedangkan masalah hukumnya tidak usah dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim. Dalam acara perdata di Indonesia, hakim adalah terikat di dalam acara mencapai putusannya. Hanya berdasar pada alat-alat bukti yang sah, hakim diperbolehkan mengambil keputusan.
Pada umumnya, sepanjang UU tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain pembuktian yang tidak lain penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex factie saja. Dengan demikian bukti itu dinilai lengkap dan sempurna, apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu dianggap sudah pasti dan benar.
Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
a. Bukti surat/tulisan
b. Bukti saksi
c. Persangkaan
d. Sumpah
Dalam praktek masih ada satu macam alat bukti lain yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan hakim, adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam siding, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat.
MACAM-MACAM ALAT BUKTI
Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.
a. Pengertian Alat Bukti Dan Perkembangannya.
Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu. hukum pembuktian yang berlaku di indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda , telah terjadi perpindahan pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan Undang-Undang.
b. Macam-Macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
1. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.
2. Alat Bukti Kesaksian
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan..
3. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
4. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.
5. Alat bukti sumpah
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengikat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
HIR menyebutkan 3 (tiga) sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
a. Sumpah Supletoir/Pelengkap
Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b. Sumpah Aestimatoir/Penaksir (Pasal 155 HIR)
Sumpah penaksir yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.
c. Sumpah Decisioir/Pemutus (Pasal 156 HIR)
Sumpah decisioir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah Supletoir, maka sumpah decisioir, ini dapat dibebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah decisioir, ini dapat di lakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
TUJUAN PEMBUKTIAN
Pada hakekatnya tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pihak menang, pihak yang lain kalah (jika merupakan peradilan yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu, maka disini terbukti lagi betapa besarnya peranan hukum pembuktian didalam menentukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja sejalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita harus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsistem dari sistem hukum secara keseluruhan.
Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses perdata adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua pihak. Berbeda dengan proses pidana, dimana tidak terdapat persengketaan antara jaksa dan terdakwa.
Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada hakikatnya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, bertujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang berperkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan memberi kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara maupun terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak melupakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap masyarakat pada umumnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 yang berbunyi “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu”.
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang berkepentingan di dalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
SARAN