Pesarehan Keluarga Pesantren Tebuireng |
Siapa yang tak kenal dengan KH Addurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur ? Lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Beliau merupakan tokoh muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama menjadi “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
“Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang” atau “mas”. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H.M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. A. Wahid Hasyim terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Beliau menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang putri yaitu Alisa, Yenni, Anita dan Inayah.
Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan, juga memeperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru, dan masih banyak lagi perhargaan-penghargaan yang beliau dapatkan seperti menerima Ramon Magsaysay Award, Simon Wiesenthal Center, Lifetime Achievement Award dan penghargaan dari Universitas Temple yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Saat menjadi Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Beliau melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa, meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati disiksa, dan lain-lain. Hingga beliau wafat pada tanggal 30 Desember 2009.
Bagi saya yang lahir pada tahun 90-an, saya sangat jarang mengikuti secara langsung kiprah beliau, bahkan pada akhirnya saya mengenal beliau hanya melalui forum diskusi dan dari jejak media. Yang paling saya tahu, beliau sangat suka humor tapi bukan humor kaleng-kaleng, selalu menusuk tepat sasaran. Untuk melacak jejak pemikiran beliau, kita bisa menemui para sahabat dan muridnya secara langsung serta membaca berbagai literatur yang ditulis oleh Gus Dur sendiri, seperti buku Islamku Islam Anda Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, hingga Tuhan Tidak Perlu Dibela. Gus Dur juga di kenal dengan 9 Nilai Utama, yaitu, Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Kesatriaan, dan Kearifan Tradisi.
Melihat dari jejak pemikiran dan perjuangan beliau, saya tidak heran jika setelah lebih dari satu dekade kepergiannya, pemikiran dan perjuangannya masih tetap hidup, di bawa dan di jaga oleh sahabat, anak-anak dan murid-muridnya, saya melihat semangat beliau bahkan sampai kepelosok. Kita bisa menemukan dengan mudah jaringan Gusdurian di setiap daerah, atau hanya sekedar pengagumnya, tidak heran juga jika sampai saat ini jumlah peziarah ke pesarehan beliau terus bertambah.
Hari ini, untuk pertama kalinya saya berkesempatan untuk mengunjungi pesarehan beliau, di Pesantren tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Lokasinya bukan dipinggir jalan raya, tapi cukup mudah untuk diakses dengan jalan beton. Sebelum saya berangkat, karena bertepatan dengan sehari sebelum hari ulang tahun saya, saya berniat untuk ke lokasi menggunakan sepeda dari Kampung Inggris, Pare, Kediri, niat nekat seru-seruan sebelum menginjak usia 25 tahun, sebenarnya bisa sewa motor dan harganya pun terjangkau, hanya saja saya memang kadang agak nekat kalau lagi gendeng. Saya cek google maps dan disitu tertulis berjarak 18 KM.
Saya menyiapkan sepeda, air minum, senter dan buah kesukaan, Rambutan. Niatnya saya akan berangkat setelah sholat subuh, begitu saya utarakan niat ke salah satu teman yang cukup tau dengan lokasinya, teman saya itu langsung shock dan melihat saya tanpa berkedip, beberapa detik kemudian dia menyodorkan kunci motor lengkap dengan helm, katanya kalau saya nekat kesana naik sepeda, saya bisa mati sebelum sampai. Huhu, tidak jadi seru-seruan.
Pintu Masuk atau Gerbang Utama Pesarehan Gus Dur |
Akhirnya, saya berangkat pagi-pagi sekali sekitar jam 6:21, tiba di lokasi jam 7:25 menggunakan sepeda motor. Begitu cek google maps, angkanya berubah yang awalnya 18 KM menjadi 20 KM, saya cuma nyengir. Saya memarkirkan motor saya di sekitar pedagang-pedagang pinggir jalan, di lokasi tersebut ada sangat banyak pedagang makanan maupun souvenir, tenang saja parkirnya gratis.
Setahu saya, orang boleh berziarah mulai dari jam 7 pagi, dan jumlah peziarah bisa sampai ribuan bahkan mencapai puluhan ribu diakhir pekan, karena saya punya trauma dengan orang banyak dan suara bising, saya datang sepagi mungkin, saya sangat menghindari posisi berdesak-desakan, saat saya tiba pun sudah cukup banyak orang yang datang, ada yang berkelompok, ada yang berdua dengan pasangan, ada yang duduk di pinggir jalan sambil sarapan, ada yang berselfie di depan gerbang, saya juga pasti tak mau ketinggalan, hehe.
Situasi di dalam terowongan gerbang menuju ke lokasi Pesarehan Gus Dur |
Awalnya saya kebingungan, karena ternyata posisi pasarean berada di dalam, saya ragu dan bingung harus kemana, padahal diatas gerbang sudah ada keterangannya, meskipun banyak orang, saya tidak mungkin ngikut begitu saja, saya takut salah masuk atau mungkin nyasar didalam, mau bertanya tapi malu-malu kucing juga, akhirnya mengandalkan google maps, mengikuti titik-titik melewati gerbang sampai kedalam wkwkw… Dan ternyata sederhana saja, tidak mungkin nyasar sampai kedalam, saya nya saja yang terlalu banyak mikir.
Saat melewati gerbang, di wajibkan untuk mengisi buku tamu, terdapat dua jalur, masuk dan keluar, dan ternyata di samping kiri-kanannya terdapat banyak penjual pakaian dan souvenir juga. Lalu di tengah jalur terdapat kotak infaq untuk mengelola makam, beberapa kaligrafi terpajang didinding, juga miniatur wilayah pesantren. Sampai di dalam sudah banyak orang yang duduk sambil berdoa dan berdzikir, juga ada yang berfoto di sekitar makam, karena memang tidak ada larangan untuk berfoto, tapi saya tidak ikutan karena saya merasa tidak sopan berkeliaran sambil foto-foto di antara makam dan peziarah yang sedang berdoa, akhirnya ambil foto dari jauh saja.
Kotak Infaq |
Di kompleks pemakaman tersebut terdapat pesarehan K.H. M. Hasyim Asy’ari , KH. A. Wahid Hasyim, dan pastinya KH. Abdurrahman Wahid. Saya ikut duduk dengan tenang, berdoa dan berdzikir. Lokasi pasarean sangat terawat dan bersih, meskipun selalu banyak peziarah yang berkunjung, tidak ada satu sampahpun yang berserakan bahkan daun-daun kering dari pohon-pohon dan tanaman di sekitar makam juga tidak kelihatan, entah pengunjungnya yang baik atau pengelola makam yang telaten, atau mungkin keduanya, kita tahu pengagum beliau sudah pasti orang-orang beradab yang tidak akan buang sampah sembarangan, satu hal yang membuat saya senang adalah kebanyakan peziarah murah senyum kepada orang asing, cukup bertatap muka dan mereka akan tersenyum ramah sambil menundukkan kepala sepersekian detik tanda menyapa, hal tersebut membuat rasa nyaman untuk tinggal lebih lama. Fasilitanya juga memadai, seperti toilet, dan juga ATM, meskipun hanya ATM BRI.
Peziarah yang berdoa dan berdzikir di sekitar Pesarehan Gus Dur |
Beberapa saat kemudian peziarah semakin banyak, selesai berdoa, saya memutuskan untuk keluar ke pinggir jalan menyusuri pedagang-pedagang sambil mencari cemilan kesukaan “Kerupuk Gapit”, tapi ternyata tidak ada yang jual. Harga jajanan di lokasi tersebut sangat murah, misalnya sate hanya di jual seharga Rp.6000 perporsi, atau pentolan hanya seharga Rp.500- sebiji, meskipun kere, saya tidak boleh kelaparan dong. Setelah makan bakso seharga Rp.7000 saya pun pulang sekitar jam 9:00 dan sampai dengan selamat meskipun sempat nyasar. Hehe.
Situasi di depan gerbang utama yang di penuhi oleh peziarah dan pedagang |
Perkiraan saya yang salah tentang lokasi pasarean tersebut adalah saya pikir di sana hanya benar-benar makam, tidak ada penjual jajan, you know lah makam pada umumnya, saya benar-benar tidak terfikir akan ada pedagang disekitar makam, jual souvenir apalagi pakaian, akhirnya bawa uang pas-pasan, kalau saja saya tau lebih awal, mungkin saya bawa uang lebih sekadar beli souvenir untuk kenang-kenangan, agak menyesal sih. Semoga di lain waktu masih di beri kesempatan untuk berkunjung kembali. Aamiin.
Saran saya, jika ingin berziarah datanglah lebih awal agar tidak terlalu berdesak-desakan dengan peziarah lain, jangan lupa bawa uang lebih apalagi jika membawa anak kecil, karena di sana banyak jajan, baru mau masuk gerbang saja sudah disuguhi ice cream padahal belum jam 8 pagi, dan jangan lupa jaga kebersihan yah...
Oya, jangan nekat kesana naik sepeda yah, kata teman saya kamu bisa mati sebelum sampai.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir, jika terdapat salah informasi atau salah kata jangan sungkan untuk memberi tahu saya melalui kolom komentar.
-Nasrah Sandika