Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat
itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura
berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan
lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu, digunakan untuk keperluan
atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau
prestasi yang dikembalikan kepada rakyat, karena memang sifatnya hanya untuk
kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena
kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya
untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat
itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk
kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum
lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula
dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu
aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur
keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat
diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang
nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup
banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai
berikut:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
b. Aturan Bea Meterai;
c. Ordonansi Bea Balik Nama;
d. Ordonansi Pajak Kekayaan;
e. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
f. Ordonansi Pajak Upah;
g. Ordonansi Pajak Potong;
h. Ordonansi Pajak Pendapatan;
i. Undang-undang Pajak Radio;
Undang-undang
Pajak Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang
diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
b.UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak
Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang
Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
c. UU No. 19 Tahun 1959 tentang
Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa
Asing;
e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata
Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang
dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya.
Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak
memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun
1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan
reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang
yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya
lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam
hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem
perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment.
Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima
undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa
pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:
a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah
membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk
mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
a. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
b. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
e. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk
memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000
pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
e. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
f. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
g. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka
dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai
pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun
2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai
tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009, serta UU
PPN No 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010. Namun, dilatarbelakangi
adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan
adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya
mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.
Sedangkan Pengertian
Hukum Pajak Lengkap Beserta Definisi Menurut Para Ahli adalah: Menurut Rochmat Soemitro
adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. hukum pajak menerangkan
mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka
terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang dikenakan
pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.
Hukum pajak disebut juga hukum
fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat melalui kas negara.
Hukum pajak merupakan suatu kumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemunggut
pajak dan rakatnya sebagai pembayar pajak. (Erly Suandi:2002)
Hukum pajak adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas
negara , sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur
hubungan-hubungan hukummantar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum)
yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak) (Santoso
Brotodiharjo:2003).
Hukum pajak adalah suatu kumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. (Bohari:2003,)
Hukum pajak merupakan anak bagian
dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak
diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan
sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat
lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya
mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.
-Nasrah Sandika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar