Jumat, 06 September 2024

PENERAPAN SERANGAN PENDAHULUAN SEBAGAI BENTUK PERTAHANAN DIRI (PRE-EMPTIVE SELF DEFENCE) RUSIA DALAM KONFLIK RUSIA DAN UKRAINA


   Rusia pada tahun 1997 menandatangani sebuah perjanjian bersama dengan Ukraina yang di beri nama Perjanjian Persahabatan, Kerjasama dan Kemitraan. Isi dari perjanjian ini menyebutkan bahwa Rusia mengakui bahwa Ukraina merupakan sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat sehingga perbatasannya tidak dapat di ganggu gugat. Selain itu, melalui Budapest Memorandum yang dibentuk pada tahun 1994, Rusia secara eksplisit mengakui persahabatan Ukraina dan menganggap Ukraina sebagai Negara yang berdaulat. Kedaulatan menjadi penting bagi sebuah Negara karena berkaitan dengan wilayah yang dimiliki oleh suatu Negara dan berdampak pula pada wewenang suatu Negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya. Kedaulatan mengandung dua aspek, yaitu aspek internal untuk mengatur segala hal yang ada dalam batas wilayah Negara dan aspek eksternal untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional lainnya serta mengatur segala sesuatu yang berada atau terjadi diluar wilayah namun berkaitan dengan kepentingan Negara tersebut. Kedaulatan yang merupakan kekuasaan tertinggi ini masih mempunyai batasan tertentu yang melekat menurut hukum internasional, yaitu suatu Negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusif keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah Negara lain. Batasan kedaulatan yang kedua adalah Negara yang memiliki kedaulatan territorial wajib menghormati kadaulatan Negara lain sebagaimana diungkapkan oleh Mahkamah Internasional dalam the Corfu Channel Case 1949. 

   Di dalam hukum internasional, peristiwa aneksasi yang dilakukan di Semenanjung Krimean oleh Rusia merupakan sebuah pelanggaran terhadap kedaulatan Ukraina. Kewajiban untuk menghormati kedaulatan Negara lain menjadi dasar prinsip hukum internasional dan menjadi tanggungjawab Negara seperti yang tercantum di dalam Declaration on Rights and Duties of States 1949. Pasal 13 Declaration on Rights and Duties 1949 menekankan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Klausa ini merujuk pada pelanggaran Rusia yang gagal melaksanakan Perjanjian Persahabatan, Kerjasama dan Kemitraan. Problematika selanjutnya muncul pada kedua belah Negara memandang perjanjian ini dalam kacamata yang berbeda. Ukraina memandang perjanjian ini sebagai pengembalian kedua wilayah Luhanks dan Donets untuk memuluhkan kekuatan Ukraina sementara Rusia memandang perjanjian ini untuk memberikan status istimewa kepada wilayah Luhanks dan Donets yang sebelum akhirnya diberikan kepada Ukraina. Perjanjian ini juga berisi larangan bagi kedua belah pihak untuk saling menyerang dan melakukan gencatan senjata. Namun Rusia melanggar kesepakatan tersebut dengan melakukan sebuah tindakan bernama Demiliterisasi dengan menghadirkan armada militer sebanyak 130.000 diperbatasan Rusia dan Ukraina. Rusia yang menginginkan Ukraina untuk tetap mempertahankan status netralnya dan tidak bergabung dengan NATO. Tak hanya itu, Rusia juga mulai melakukan penyerangan terhadap Ukraina dengan meledakkan Kyiv, Kharkiv, dan Mariupol pada 24 Februari 2022. Presiden Valdimir Putin menegaskan aksi yang dilakukan oleh Rusia merupakan bentuk pertahanan dari kemungkinan penyerangan oleh NATO dan Amerika Serikat.

   Sebagaimana disebutkan dalam pembatasan kedaulatan, seharusnya Rusia menghormati kedaulatan Ukraina dengan membiarkan Ukraina dalam mengurus urusan internal dan mengadakan hubungan eksternal dengan Negara atau pihak ketiga lain. Hubungan yang terjalin diantara Rusia dan Ukraina sebagai Negara berdaulat tentu saja harus menghormati kemerdekaannya masing-masing dan persamaan derajat antar Negara. Rusia dan Ukraina sebagai Negara berdaulat memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Tindakan intervensi oleh Rusia bahkan munculnya Orange Revolution dan Revolusi Euromadian telah melanggar beberapa kewajiban yang seharusnya dipenuhi oleh Rusia terhadap Ukraina. Sebagaimana diketahui dengan melakukan penyerangan terhadap Ukraina dengan meledakkan Kyiv, Kharkiv dan Mariupol pada 24 februari melanggar kewajiban untukk tidak melakukan kegiatan intervensi terhadap masalah yang terjadi di Negara Ukraina dan tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata. 

   Hubungan yang dilakukan Negara-negara juga tidak bisa lepas dari prinsip umum hukum internasional. Prinsip hukum umum merupakan salah salah satu sumber hukum internasional berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sebagai sumber hukum formalyang berdiri sendiri di samping perjanjian internasional dan kebiasaan. Prinsip hukum umum internasional tersebut digunakan oleh PBB. Mengingat Rusia dan Ukraina merupakan Negara yang tergabung dalam keanggotaan PBB, sehingga kedua Negara tersebut wajib untuk menegakkan seluruh prinsip-prinsip umum hukum internasional dalam PBB.

   Berkaitan dengan kasus serangan militer ini, Rusia belum mampu untuk melaksanakan prinsip umum hukum internasional khususnya Pasal 2 ayat (4) yang menilai bahwa penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sebuah Negara merupakan sebuah pelanggaran. Rusia telah gagal menjabarkan tujuan dari pembentukan PBB yakni memelihara perdamaian dan keamanan internasional dengan melakukan serangan militer terhadap wilayah Ukraina. Tindakan Rusia tidak sejalan dengan kewajibannya sebagai Negara anggota PBB. Sementara konsep perdamaian dan keamanan internasional menurut PBB sendiri merupakan sebuah dunia untuk menghindari atau mencegah munculnya konflik atau pertikaian antar Negara yang menimbulkan pecahnya perang dunia. Demi menjaga perdamaian dunia, PBB telah membentuk sebuah badan yang bertugas untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional yaitu Dewan Keamanan PBB. 

   Sebagai bagian dari anggota PBB, Rusia memiliki larangan untuk melakukan intervensi dalam urusan politik Negara lain sebagaimana diatur dalam prinsip non-intervensi dalam Pasal 2 ayat (7). Prinsip ini diusung dengan tujuan untuk menghormati kedaulatan yang dimiliki oleh tiap Negara yang berstatus sebagai anggota PBB sekaligus menjadi kewajiban mendasar bagi Negara anggota untuk mencegah pecahnya perang antar Negara. Rusia dan Ukraina yang merupakan Negara dengan kedaulatan masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah dengan menghormati kedaulatan Negara lain. Dengan adanya kedaulatan, suatu Negara harus mampu melaksanakan kekuasaan yang penuh atau eksklusif diwilayahnya. Perolehan wilayah Ukraina dilakukan secara damai dan sah dengan adanya perjanjian Persahabatan, Kerjasama, dan Kemitraan yang kemudian melahirkan hubungan bilateral antara Rusia dan Ukraina dalam bidang sosial, militer, ekonomi, dan politik. Larangan untuk mengintervensi ini lebih dikenal dalam Resolusi Mejlis Umum PBB No. 2131 Tahun 1965 yang menyebutkan bahwa intervensi yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung dengan alasan apapun tidak diperbolehkan, serta Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 Tahun 1970 dalam pasal 1 juga menyebutkan bahwa setiap Negara memiliki kewajiban untuk tidak menggunakan ancaman atau tindakan kekerasan. Tindakan yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina juga termasuk sebagai tindakan agresi melalui tindakan intervensi.

   Salah satu kasus yang mempertegas mengenai non intervensi adalah diantara Nikaragua dan Amerika Serikat. Kasus ini bermula karena adanya masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Republik Nikaragua, kemudian Amerika Serikat terlibat secara aktif dalam permasalahan internal tersebut dengan melakukan tindakan penghentian bantuan ekonomi ke Nikaragua dengan alasan bahwa tindakan Nikaragua telah melawan El-Savador yang saat itu memiliki hubungan diplomatis dengan Amerika. Selain itu, Amerika Serikat juga melakukan tindakan militer dengan melakukan penanaman ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman Nikaragua, pengrusakan beberapa fasilitas sipil dan fasilitas militer Nikaragua, serta turut serta membantu pasukan Contras, yaitu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa di masa itu. Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Amerika Serikat telah melanggar prinsip umum hukum internasional, yaitu prinsip non-intervensi serta prinsip non-use of force and self defence. Prinsip non intervensi di langgar oleh Amerika Serikat dengan mendukung gerilyawan atau pemberontak dalam pemberontakan warga Nikaragua melawan pemerintah Nikaragua dan pertambangan di pelabuhan Nikaragua. Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat berupa intervensi yang dilakukan dengan turut ikut campur atas permasalahan internal di Nikaragua. Sementara, prinsip non use of force yang dilanggar dilakukan saat Amerika Serikat melakukan perusakan terhadap fasilitas sipil dan militer Nikaragua.  

   Selanjutnya, peristiwa serangan militer Rusia di Ukraina pada tahun 2022, apabila melihat kasus Nikaragua, peristiwa ini juga mencerminkan pelanggaran pada prinsip non intervensi dan non use of force. Alasan Rusia melakukan intervensi pada wilayah Donets dan Luhanks di Ukraina adalah untuk menghancurkan mekanisme militer dan de-nazifikasi di Ukraina, juga untuk memastikan tidak ada neo-nazi yang mempromosikan agenda melawan Rusia. Tindakan yang dilakukan Rusia menunjukkan bahwa menggunakan senjata militer dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang bukan m,enjadi urusan Rusia. Namun Rusia menyatakan dalam suratnya pada tanggal 24 Februari 2022 kepada Dewan Keamanan PBB bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan self defence sebagaimana di atur dalam pasal 51 Piagam PBB. Rusia mengklaim bahwa intervensi yang dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan eksistensi Negaranya dari ancaman Ukraina dalam bergabung dengan NATO. Hal ini juga berkaitan dengan posisi Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia yang apabilah Ukraina bergabung dengan NATO, maka tidak ada lagi pembatas antara Rusia dengan NATO.  

   Pengecualian terhadap prinsip non intervensi diperbolehkan dengan alasan hak pembelaan diri atau sel defence. Namun, Klaim Rusia melakukan self defence berdasarkan pasal 51 Piagam PBB tidak dapat dibenarkan karena klaim ini dapat disebut sebagai tindakan pre-emptive strike. Adapun apabila Rusia mengklaim bahwa yang dilakukannya merupakan tindakan pre-emptive self defence, tidak ada alasan dan bukti kuat atas izin untuk mengintervensi dan tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa Rusia berhak untuk mengintervensi Ukraina berdasarkan perjanjian antara Rusia dan Ukraina. Terakhir, tidak ada hukum kebiasaan internasional yang dilanggar oleh Ukraina yang menyebabkan Rusia berhak untuk mengintervensi meskipun dengan klaim pre-emptive self defence. 

NATO SEBAGAI ANCAMAN RUSIA

 

  Secara garis besar, NATO merupakan sebuah organisasi aliansi antar Negara yang berfungsi sebagai pakta pertahanan kolektif. NATO memiliki dua tujuan utama yaitu tujuan politik dan militer. Pada spek politik, NATO mencoba untuk mempromosikan nilai demokrasi dan kepercayaan antar pemerintahan yang diyakini dapat mencegah konflik dimasa mendatang. Sementara pada aspek militer, NATO berkomitmen untuk menggunakan kapabilitas militer sebagai fungsi manajemen krisis, jika upaya penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi telah gagal. Secara historis, NATO dirancang sebagai garis pertahanan anggotanya dari segala prospek okupasi atau pembebasan dari Uni Soviet. Daya tarik dari NATO tertuang pada artikel ke-5 yang membunyikan mengenai pertahanan kolektif sebagai pilar utama organisasi. Artikel tersebut menyatakan bahwa NATO berkomitmen terhadap prinsip universal bahwa penyerangan terhadap salah satu dari anggota NATO dapat diinterpretasikan menjadi penyerangan terhadap semua anggota. Hal ini berarti bahwa jika salah satu anggota NATO dihadapkan oleh sebuah konflik atau agresi terbuka dari Negara lain, maka anggota lain secara ketentuan memikul tanggungjawab untuk membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung guna menjaga keamanan dan kestabilan dari Negara tersebut. Oleh karena itu, prinsip pertahanan kolektif yang digadang oleh NATO tersebut merupakan motivasi utama dari Negara-negara wilayah euro-atlantik untuk mencari perlindungan dari adanya potensi ancaman kedaualatan eksternal, sekaligus ancaman bagi kepentingan Rusia.

   Ancaman utama terhadap Rusia terletak pada ekspansi keanggotaan yang dilakukan oleh NATO menuju timur. Tentunya hal tersebut berkaitan dengan bagaimana Rusia memandang aliansi tersebut secara menyeluruh. Sebagai sebuah kekuatan tradisional Eropa, tentunya Rusia memiliki pandangan negatif terhadap aliansi militer NATO dan doktrin ekspansinya. Bagi Rusia, NATO merupakan relik masa lalu yang sudah seharusnya di rombak sejak berakhirnya Perang Dingin bersamaan dengan Pakta Warsawa. Terlebih lagi, Rusia meyakini bahwa inkursi NATO menuju Eropa Timur telah mengkhianati janji yang sebelumnya sudah di tetapkan oleh Amerika Serikat mengenai ekspansi keanggotaan NATO. Pernyataan tersebut secara spesifik di sebut oleh Presiden Putin pada konferensi tahunan Rusia pada tahun 2021, berkata “..mereka (NATO) berjanji untuk tidak bergerak menuju timur, namun kenyataannya Rusia telah ditipu dan secara gambling telah dikhianati”. Janji yang dimaksud oleh presiden Rusia tersebut adalah janji pada tahun 1990 yaitu Amrika Serikat berjanji untuk tidak mengekspansi keanggotaan NATO menuju Eropa Timur sebagai gantu unifikasi Jerman Barat dan Timur serta masuknya Negara tersebut kepada NATO. Dalam aspek geopolitik, Rusia melihat bahwa NATO pada kenyataannya hanyalah instrument Amerika Serikat untuk memperluas kekuasaannyademi memperkuat posisinya sebagai hegemon dunia. Ekspansi NATO menuju Negara-negara the near abroad dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk menyabotase upaya Rusia untuk mempertahankan ruang lingkup yang menjadi bagian dari kekuasaannya. Pandangan tersebut menetapkan sebuah kondisi dimana Rusia tertinggal sebagai Negara pinggiran pada lanskap perpolitikan Eropa. Sehingga bagi Rusia, ekspansi keanggotaan NATO merupakan ancaman ekstensial terhadap keselamatannya pada strukturalnya sebagai sebuah kekuatan regional. 

   Perambahan gelombang ekspansi NATO menuju Eropa Timur tentunya bertabrakan dengan kepentingan Rusia untuk mempertahankan doktrin luar negerinya. Wilayah dan intensitas ekspansi yang semakin luas mengundang reaksi yang memperbesar adanya potensi eskalasi konflik antara Rusia dan Amerika Serikat. Titik balik relasi antara kedua Negara adidaya tersebut terlihat jelas, ketika melihat gelombang ekspansi ke tiga pada tahun 2008 yang menjanjikan keanggotaan NATO kepada Ukraina dan Georgia. Sebagai bagian dari doktrin the near abroad, masuknya Ukraina kepada aliansi militer tersebut berpotensi menciptakan krisis keamanan bagi Rusia. Intervensi bersifat politik dan ekonomi, baik secara langsung ataupun tidak sangat krusial nagi Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya di Ukraina. Intervensi tersebut juga menciptakan polarisasi tajam terhadap politik domestik Ukraina, seperti yang terlihat pada peristiwa Euromaidan, yaitu gerakan demonstrasi terhadap Presiden Yakunovych yang terjadi di Ukraina pada tahun 2013 yang muncul akibat keputusan Presiden Yakunovych untuk tidak menandatangani perjanjian antara Uni Eropa dan Ukraina demi menjaga hubungan diplomatiknya dengan Rusia dan eksistensi separatisme di wilayah Donets dan Luhanks. 

   Sebagai bentuk jawaban dari tawaran keanggotaan NATO kepada Ukraiana dan Georgia, Rusia memilih untuk menggunakan kapabilitas militernya dalam kapasitas preventif. Kapabilitas militer tersebut terbukti pada keputusan Rusia untuk meyerang Georgia pada tahun 2008 sebagai bentuk penolakan ekspansi NATO. Invasi tersebut menciptakan kekacauan politik yang berujung pada lepasnya wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan menjadi Negara merdeka yang diakui Rusia. Hal serupa terjadi pada Ukraina pada tahun 2013 dan 2022, Rusia secara unilateral menduduki wilayah Krimea dan menganeksasinya melalui referendum. Rusia juga memanfaatkan polarisasi politik yang tercipta dari aneksasi tersebut dengan mempersenjatai dan mengakui kemerdekaan dan gerakan separatisme di wilayah Donets dan Luhanks. 

   Seperti yang sudah ditekankan sebelumnya, Ukraina memainkan peran yang sangat penting untuk mendukung kelanjutan posisi Rusia sebagai hegemon Eropa Timur dan Negara adidaya dalam struktur internasional. Kombinasi dari signifikansi sejarah dan strategis menempatkan Ukraina menjadi salah satu asset dan prioritas utama Rusia untuk mempertahankan keberlangsungan dari doktrin the near abroad. Prospek masuknya Ukraina dalam keanggotaan NATO dapat menjadi ancaman langsung terhadap posisi struktural dan keselamatan Rusia serta berpotensi merusak kestabilan Eropa Timur. Dalam perspektifnya, Rusia tidak memiliki jalan lain selain mengamankan Ukraina dari ekspansi NATO menggunakan segala cara, termasuk melalui jalur militer.

   Perspektif liberalisme yang cukup idealistik memandang bahwa aksi Rusia merupakan pelanggaran jelas terhadap hukum internasional dan mengancam kedamaian dunia yang sudah berjalan sejak berakhirnya Perang Dingin. Hal ini tidak terlepas dari perspektif paradigma liberalisme yang memang menjunjung tinggi kooperasi ekonomi dan internasional yang berlandas kan hukum internasional. Sedangkan dari perspektif realisme memandang bahwa aksi tersebut didasari oleh Amerika Serikat yang mencoba menggunakan NATO sebagai alat ekspansi pengaruh yang bertabrakan dengan kepentingan Rusia untuk mempertahankan ruang lingkupnya yang dimanifestasi dalam bentuk doktrin the near abroad . 

GEOPOLITIK RUSIA


   Sejarah Rusia sebagai sebuah Negara modern dimulai pembentukan Kekaisaran Rusia yang merupakan prekursor dari Negara Rusia modern saat ini. Terdapat keterikatan yang kuat antara sejarah Rusia yang ekspansionistik, dengan identitas kenegaraan yang terbentuk dari kenyataan geografis dan pengaruh struktur internasional. Kebijakan ekspansionis Rusia di dorong oleh posisi strategisnya, yakni Rusia bertindak sebagai penghubung antar benua besar dunia yaitu Eropa dan Asia. Kondisi tersebut memunculkan sebuah gambaran bahwa Rusia merupakan sebuah peradaban unik dan mandiri yang tidak bisa secara serta merta diasosiakan kepada kultur timur ataupun barat. Sebagai pilar identitasnya, Kekaisaran Rusia menempatkan pengejaran kekuatan sebagai misi sakral untuk memanipulasi dan mendominasi ruang geopolitik Negara lain. Hal tersebut dilakukan demi memproyeksikan dirinya sebagai sebuah Negara yang berada pada puncak struktur internasional. 

   Ekspansi Kekaisaran Rusia terhadap berbagai wilayah di Eropa dan Asia mendirikan sebuah ruang geopolitik yang menjadi eksistensi dari kepentingan nasional Rusia dalam ranah internasional. Eksistensi dari ruang lingkup tersebut menjadi alasan utama terjadinya Perang Dingin yang berakhir pada disintegrasinya Uni Soviet pada tahun 1991. Menariknya, identitas tersebut merupakan sumber animositas yang terjadi antara Rusia dengan dunia internasional khususnya dunia Barat. Sebagai sebuah peradaban dengan sentiment nasionalisme yang tinggi, rivalitas antara Rusia dengan dunia Barat merupakan hal yang tak terelakkan. Bangsa Rusia mengimajinasikan diri mereka terlibat dalam sebuah pertarungan peradaban, dimana mereka secara konstan dihantui oleh ancaman terhadap identitas serta kedaulatan mereka. Persepektif tersebut menegaskan Rusia sebagai arketipe dari sebuah Negara realis yang mencoba memperluas kekuatan atau pengaruh pada lingkungan internasional. Hal tersebut menyebabkan Rusia berupaya untuk menggunakan kekuatannya untuk berlomba menuju posisi teratas dalam struktur internasional demi bertahan hidup. Identitas tersebut lantas menjadi pilar utama dan mendominasi nilai filosofis dari para pembuat kebijakan Rusia pasca komunisme. 

   Dengan demikian, kebijakan luar negeri Rusia sangatlah dipengaruhi oleh perspektif politik dari Rezim yang sedang berkuasa. Relasi diplomatic antara Rusia dengan aktor internasional lain merupakan produk dari interaksi unit politik yang berada di dalam badan pembuat kebijakannya. Pernyataan tersebut tentunya sejalan dengan asumsi realism struktural terkait dengan korelasi antara kebijakan luar negeri dengan kondisi politik domestic suatu Negara. Pasca kejatuhan Uni Soviet, Federasi Rusia tidak mengambil arah geopolitik menuju kooperasi dan integrasi dengan Eropa seperti halnya Ukraina. Pada pertengahan tahun 1993, Rusia secara perlahan meninggalkan gestur rekonsiliasi dengan dunia Barat dan semakin asertif serta nasionalistik mengenai kebijakan luar negerinya. Hal tersebut dikarenakan kondisi politik internal Rusia yang masih memperdebatkan mengenai basis fundamental dari kebijakan luar negeri Rusia yang umumnya terbagi menjadi tiga kelompok kepentingan yaitu Liberalis, Imperialis, dan derzhava. 

   Kubu Liberalis menyakini bahwa Rusia sebagai sebuah Negara dalam struktur internasional harus mengikuti asas liberalisme dan prinsip-prinsip yang dilandasi oleh kesepakatan bersama dengan actor internasional lainnya. Kubu Liberalis mempunyai pandangan bahwa lanskap geopolitik Eropa Timur pasca kejatuhan Uni Soviet merupakan lanskap yang harus dipimpin oleh paham liberalisme dan didasarkan pada konsensus bersama sesuai dengan hukum internasional yang relevan. Tentunya dalam relasinya dengan dunia internasional, kubu liberalis menginginkan Rusia untuk mengadopsi model politik-ekonomi layaknya dunia Barat. Kubu liberalis meyakini bahwa ambiguitas yang terjadi pasca kejatuhan Uni Soviet merupakan momen yang tepat untuk mereparasi relasi antara Rusia dengan dunia Barat. Menurut kubu Liberalis, Rusia harus mengadopsi kembali format-format westernisasi guna mereformasi identitas Rusia yang selama ini dikenal sebagai sebuah Negara yang imperialistik. Tujuannya adalah mengintegrasikan Rusia kepada sistem ekonomi politik dunia Barat dan menutup permusuhan yang diwariskan oleh identitas historis Rusia sebagai sebuah Negara adidaya. Hal tersebut dianggap esensial demi mewujudkan sebuah Rusia baru dengan sistem demokrasi yang berfungsi serta perekonomian yang makmur.  

   Kubu imperialis dan derzhava pada dasarnya memiliki kemiripan retorika antar satu sama lain. Perbedaan diantara keduanya, terletak pada intensitas dari kecurigaan yang mereka miliki terhadap demokrasi liberal dan dunia Barat. Kubu imperalis meyakini bahwa kebiajakan luar negeri berprinsip liberalisme dan kooperasi akan mereduksi tatus Rusia sebagai Negara adidaya. Kubu inperialis berkiblat pada konsep Eurasinisme, yaitu sebuah perspektif intelektual politik internasional yang memandang bahwa Rusia telah ditempatkan secara alamiah pada posisi yang unik, yaitu tepat pada jantung dunia diantara benua Eropa dan Asia. Perspektif tersebut menetapkan bahwa Rusia bukanlah merupakan sebuah nation-state melainkan sebuah peradaban yang ditakdirkan untuk menguasai kedua benua tersebut sebagai sebuah hegemon yang didasari oleh pengalaman historis dan kesadaran nasional bahwa Rusia merupakan peradaban mandiri serta ditakdirkan untuk menjadi imperium yang berkuasa diatas wilayah Eropa dan Asia. Mereka membayangkan sebuah fantasi untuk menghidupkan kembali Kekaisaran Rusia dan berargumen bahwa Rusia harus berekspansi secara fisik ke wilayah yang dianggap sebagai bagian dari kepentingan Nasionalnya. Bagi kubu imperialis, orientasi kebijakan luar negeri Rusia harus di dasari pada keyakinan bahwa Rusia merupakan Negara yang memiliki takdir sebagai hegemon dunia sehingga Rusia tidak memiliki jalan lain selain dengan berkonfrontasi dengan dunia Barat agar terjaminnya keselamatan institusi, identitas serta tradisi historis Rusia sebagai sebuah Negara adidaya.

   Sementara itu, kubu derzhava cenderung memiliki pandangan yang realistis terhadap kebijakan luar negeri Rusia. Kubu derzhava meyakini bahwa Rusia saat ini tidak bisa mewujudkan visi yang Eurasianisme yang digadang oleh kubu imperialis. Oleh karena itu, kubu tersebut berpendapat bahwa jalan logis yang harus di tempuh saat ini adalah untuk merekontruksi ulang identitas Rusia sebagai kekuatan besar di Eropa Timur. Penentangan langsung terhadap hegemoni dari Amerika Serikat akibat berakibat fatal bagi keberlangsungan Rusia modern. Sementara penggunaan liberalisme sebagai prinsip interaksi internasional akan menjatuhkan harga diri Rusia sebagai kekuatan historis dan membuat identitas unik Rusia rentan terhadap pengaruh dari Amerika Serikat. Pada esensinya, visi pragmatis kubu derzhava bertujuan untuk mempertahankan keselamatan Rusia, tidak hanya atas kultur dan tradisi historisnya melainkan juga atas identitasnya sebagai sebuah peradaban mandiri. Bagi kelompok derzhava pandangan tersebut sangatlah ideal dan relevan dengan kondisi kontemporer Rusia, dibandingkan dengan pengimplementasian ideology mewah dan idealis yang seringkali terlihat hipokritikal. Menjelang mundurnya Presiden Yeltsin pada akhir tahun 1999, perspektif kubu derzhava telah mendominasi proses penyusunan kebijakan luar negeri Rusia dan menjadi suara universal yang memandu Rusia terkait dengan interaksinya dengan komunitas internasional. Dilapisi oleh pola pemikiran kelompok derzhava, Rusia berupaya untuk membangun kembali kekuasaan geopolitiknya melalui metode yang cenderung pragmatis. Rusia menyadari bahwa kapabilitas ekonomi dan militernya tidak dapat secara langsung menentang kondisi unipolaritas yang telah diciptakan oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, Rusia memilih untuk berfokus pada objek spesifik yang dianggap memiliki signifikasi tinggi terhadap kepentingan luar Negerinya. Manifestasi dari pandangan tersebut adalah sebuah doktrin luar negeri yang disebut sebagai blizhneye zarubezhye atau the near abroad. 

   The near abroad merupakan doktrin luar negeri yang menetapkan adanya sebuah lingkup pengaruh terhadap objek yang dianggap sebagai kepentingan nasional Rusia. Objek penting tersebut merupakan 14 Negara yang sebelumnya tergabung kedalam federasi Uni Soviet yang meliputi Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Estonia, Latvia, Lithuania, Moldovia, Belarus, dan tentunya Ukrania. Seperti halnya Monroe doctrine yang dimiliki oleh Amerika Serikat, doktrin luar negeri the near abroad merupakan sebuah bentuk afirmasi bahwa keamanan kepentingan nasional dan internasional Rusia bergantung pada kestabilan dari Negara-negara yang dianggap sebagai bagian dari doktrin tersebut. Segala turbulensi politik yang dialami oleh Negara-negara tersebut dapat dengan seketika berubah menjadi permasalahan serius yang mengancam keselamatan Rusia. Doktrin the near abroad merupakan bukti konkrit dari upaya Rusia untuk mempertahankan akumulasi kekuatan geostrategisnya melalui jalur imperialism. Doktrin tersebut secara terbuka mengasersikan pandangan bahwa kemerdekaan dari Negara-negara the near abroad merupakan sesuatu yang abnormal dan bersifat sementara. Signifikasi doktrin ini meningkat ketika Rusia mencoba untuk mempertahankan ruang lingkupnya dari apa yang dianggapnya sebagai ancaman eksistensial yang bersumber dari NATO.

KEDUDUKAN SERANGAN PENDAHULUAN SEBAGAI BENTUK PERTAHANAN DIRI (PRE EMPTIVE SELF DEFENCE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Hukum kebiasaan internasional membolehkan tindakan pre-emptive self defence melawan serangan ancaman yang jelas dan nyata dalam waktu dekat dengan mengadopsi dari kriteria insiden Caroline. Sekretaris Negara Amerika Serikat dengan Inggris terkait insiden Caroline ini focus pada 3 prinsip yakni :

  • Immediacy

   Prinsip immediacy mengacu pada keadaan yang segera terjadi dan tidak adanya jalan lain yang dapat dilakukan selain melakukan pre-emptive self defence.

  • Necessity

   Prinsip necessity memberikan pengecualian kepada Negara yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional, atau dengan kata lain necessity merupakan suatu norma yang telah menjadi hukum kebiasaan sebagai pengecualian atas suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Prinsip necessity ini hanya dapat diminta oleh suatu Negara sebagai pengecualian bertindak bertentangan dengan kewajiban internasional hanya apabila tindakan tersebut merupakan keadaan darurat untuk mencegah suatu ancaman yang tiba-tiba dapat terjadi dan tindakan tersebut tidak berdampak terhadap kepentingan Negara lain, dengan melihat :

  1. Sifat dan besarnya ancaman, dalam hal ini diadakan penilaian terhadap besarnya ancaman yang ada dengan mempertimbangkan perlunya menggunakan kekuatan melawan ancaman tertentu, apakah bentuk ancaman memang harus di hadapi dengan self defence atau tidak. 
  2. Kemungkinan bahwa ancaman tersebut akan terwujud, kecuali apabila tindakan pre-emptive di gunakan. Cukup sulit untuk menentukan bahkan setelah ada fakta apakah ancaman tersebut benar-benar ada dan kapan ancaman tersebut terealisasikan. Dalam hal ini, Negara yang berpotensi menjadi korban harus mempertimbangkan keuntungan apabila melakukan tindakan prre-emptive untuk mengantisipasi serangan dan kredibilitas bahwa ancaman tersebut akan terealisasikan. Apabila ancaman tersebut memiliki potensi besar akan terjadi, maka Negara yang berpotensi menjadi korban berhak melakukan haknya untuk self defence.
  3. Kesiapan dalam menggunakan kekuatan. Negara sebelum melakukan tindakan self defence, perlu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan terkait kebutuhan dalam melakukan tindakan tersebut. Untuk meminimalisir segala kerugian dan kerusakan yang kemungkinan besar akan terjadi apabila Negara melakukan tindakan self defence, ada baiknya Negara menjadikaan tindakan ini sebagai pilihan terkahir. Misalnya dalam perang melawan terrorisme, sebelum menggunakan hak self defence-nya, Negara memiliki alternatif lain sebagai upaya untuk meminimalisir ancaman, seperti membekukan yayasan atau saluran dana kelompok teroris tersebut, atau dengan mengajak semua komunitas agar melakukan tekanan dengan cara damai. Apabila semua telah dilakukan dan ancaman masih ada, tindakan pre-emptive self defence diperbolehkan. Bagaimanapun, merupakan hak seseorang untuk melakukan pertahanan diri sebelum orang lain melakukan tindakan yang membahayakan dirinya.
  4. Prinsip Proporsionality. Hal yang paling sulit adalah menilai proporsionalitas suatu tindakan pencegahan karena tidak adanya serangan yang dapat diperbandingkan. Tindakan pencegahan di lakukan untuk mencegah terjadinya ancaman serangan di masa akan datang. Permasalahannya, sangat sulit untuk menentukan apakah ancaman serangan tersebut sebanding dengan serangan Negara yang akan melakukan tindakan pre-emptive self defence ?. Oleh karena itu, prinsip ini memiliki resiko yang sangat besar untuk disalahgunakan. Dalam kasus Nicaragua, pengadilan menyatakan bahwa penggunaan kekuatan untuk membela diri harus memenuhi prinsip proporsionalitas. Setiap Negara yang berusaha untuk membenarkan tindakannya dalam menggunakan kekuatan sebagai tindakan pertahanan diri akan berdalih bahwa serangan yang ada tidak sebanding dengan jumlah kekuatan mereka.  Proporsionalitas tingkat kekuatan dan periode waktu yang digunakan, yang berarti tindakan pre-emptive hanya terbatas pada upaya menghilangkan ancaman. Apabila prinsip ini terbentuk setelah insiden Caroline, maka dapat diinpretasikan bahwa proporsionalitas dalam self defence di benarkan karena kebutuhan dan di batasi oleh kebutuhan yang jelas. Seperti yang di jelaskan sebelumnya, prinsip proporsionalitas merupakan prinsip yang sulit untuk dinilai dan tidak terdapat aturan yang jelas tentang bagaimana cara untuk menilainya. Namun, satu hal yang perlu di ketahui bahwa penilaian pakah penggunaan self defence sebanding atau tidak bergantung pada kondisi dan fakta-fakta tiap peristiwa.  

   Beberapa Negara mendukung tindakan pre-emptive self defence. Inggris dan Amerika Serikat merupakan pendukung utama tindakan tersebut. Mereka mempertahankan bahwa hak untuk membela diri dapat dilakukan ketika serangan bersenjata belum terjadi. Pengakuan terhadap tindakan ini juga berdasarkan pengalaman sejarah. Salah satu kasus pre-emptive self defence yaitu kebijakan pre-emptive self defence Bush terhadap Afganistan yang menuai banyak kritik karena dianggap melanggar hukum internasional khususnya Pasal 51 Piagam PBB. Namun, apabila diinterpretasikan secara luas dan disesuaikan dengan isu kontemporer saat ini, makan tindakan pre-emptive self defence dapat dibenarkan dan tidak menyalahi ketentuan pasal 51 Piagam PBB. Selain itu dalam hukum kebiasaan internasional, apabila memenuhi prinsip necessity dan proporsionality makan Negara di perbolehkan melakukan pre-emptive self defence. 

   Serangan terror 11 September 2001 ke WTC menjadi alasan dan legitimasi yang tepat bagi Bush Jr. untuk melakukan invasi militer ke pihak-pihak yang dicurigainya berperan di balik terror tersebut. Afganistan adalah Negara pertama yang menjadi sasaran invasi militer Amerika Serikat di bawah Bush Jr. Pasukan Amerika Serikat memulai serangannya itu pada hari minggu, 7 Oktober 2001 dengan menjatuhkan lima rudal jelajah di Kabul. Bush Jr. mengumumkan bahwa Amerika Serikat dan Inggris telah memulai serangan instalasi militer Taliban yaitu gerakan Islam yang berkuasa di Afganistan pada tahun 1996-2001, dank amp-kamp militant jaringan Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden yakni orang yang diduga menjadi dalang terror 11 September 2001.  

   Amerika serikat menyatakan kepada Dewan keamanan PBB bahwa amerika terkait penyerangannya terhadap Afganistan tengah mengaplikasikamn hak yang melekat pada individu maupun kelompok dalam usaha untuk melakukan pembelaan diri. Penyataan ini mengundang berbagai macam respon dari kalangan akademisi terkait legalitasnya. Sebagian dari mereka kontra akan tindakan pre-emptive self defence Amerika karena menganggap serangan terhadap gedung WTC bukanlah serangan bersenjata sebagaimana diatur dalam Piagam PBB Pasal 51 yang memperbolehkan tindakan self defence apabila telah terjadi serangan bersenjata. Selain itu, pelaku penyerangan bukanlah Negara melainkan teroris, bukan pula organ atau agen dari Afganistan dan Afganistan tidak memberikan kontribusi terhadap kegiatan terorisme tersebut. Sebagian lain pro terhadap tindakan pre-emptive self defence Amerika karena menganggap serangan ke gedung WTC masuk dalam lingkup “if armed attact accurs” sehingga legal apabila Negara yang menjadi korban melakukan tindakan pre-emptive self defence sebagai upaya menghilangkan atau meminimalisir ancaman. 

   Tindakan ini juga berlaku bagi Negara yang didalamnya terdapat kelompok teroris atau Negara yang tidak mampu mengontrol kegiatan terorisme tersebut. Sebagaimana pernyataan Bush dalam doktrinnya yang tertuang dalam satu strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat “United States will make no distinction between individual terrorist and states who harbor them, and that security of the United States as best maintained through the spread of democracy in the Middle east. Hal yang menarik terkait perdebatan legalitas penyerangan ke Afganistan adalah bahwa sebagian besar Negara tidak secara terbuka menetang atau bahkan mengutuk tindakan pre-emptive self defence yang dilakukan Amerika terhadap Afganistan. Terdapat beberapa alasan yakni insiden 11 September bukan hanya tragedi bagi Amerika Serikat melainkan bagi masyarakat Internasional. Oleh karena itu, menggunakan kekuatan militer menyeranf Afganistan dalam hal ini Al-Qaeda merupakan tindakan yang benar. Selain itu, sebagian besar Negara tidak mengenal Al-Qaeda yang berada di Talibann, Afganistan dan bahkan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka, karena tindakan pelanggaran hak asasi manusia dan wanita serta penghancuran warisan budaya, banyak Negara yang tidak menyukai mereka. Apabila tindakan pre-emptive self defence ini bertujuan menyerang Negara yang berdaulat dan bukan Al-Qaeda, reaksi masyarakat tentu berbeda. Alasan lainnya adalah Amerika Serikat merupakan Negara yang diserang pertama kali sehingga keberpihakan akan cenderung kepada Amerika. Terakhir, terkait dengan status Amerika serikat sebagai satu-satunya Negara super power dan pernyataan “if you are not with us, you are against us” sehingga tidak satupun Negara yang mau menerima resiko apabila secara terbuka tidak mendukung Amerika. Namun, tidak adanya protes menentang penyerangan tersebut tidak memberikan satu kesimpulan bahwa tindakan pre-emptive self defence sah dalam hukum internasional yang berlaku. 

KEDUDUKAN SERANGAN PENDAHULUAN (PRE EMPTIVE STRIKE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Serangan pendahuluan adalah usaha militer, diplomatik dan strategis yang di tujukan kepada musuh yang diperkirakan akan tumbuh begitu kuat sehingga jika di tunda akan menyebabkan kekalahan. Serangan pendahuluan adalah operasi militer atau serangkaian operasi untuk mencegah kemampuan musuh menyerang anda. Jepang melancarkan serangan pendahuluan terhadap Rusia pada tahun 1904-1905 untuk menghentikan Rusia membangun kekuatan mereka di Timur Jauh, khususnya melalui jalur kereta api melalui Manchuria yang diduduki Rusia. Jepang melancarkan perang dengan serangan pendahuluan, serangan mendadak pada pangkalan angkatan laut Rusia di Port Arthur. Serangan itu melemahkan armada Rusia tetapi tidak menghancurkannya. Pada akhirnya Jepang berhasil di laut tetapi terpaksa menerima jalan buntu di darat. Pecahnya revolusi di Rusia memaksa Rusia ke meja perundingan dan memberikan kemenangan kepada Jepang, tetapi meskipun jepang telah melukai Rusia dengan parah, Jepang tidak memenangkan perang di medan perang. Singkatnya serangan pendahuluan hanya berhasil dalam kondisi tertentu. Jika penyerang melakukan operasi yang brillian, memiliki keunggulan militer yang luar biasa, mampu memobolisasi dukungan politik terutama di dalam Negeri juga di luar Negeri, dan bersedia membayar mahal dan menanggung beban yang panjang jika perang berlarut-larut, maka langkah serangan pendahuluan dapat dilakukan. Negara-negara yang tidak memiliki kekuatan tersebut akan melakukan yang terbaik untuk menghindari upaya yang beresiko tersebut. 

   Contoh lain Negara yang melakukan serangan pendahuluan adalah Israel. Dalam melakukan serangan pendahuluannya dengan tujuan untuk merespon ancaman yang ada seperti pada kejadian Perang Enam Hari pada tahun 1967 antara Israel melawan tiga Negara Arab yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, Israel medapatkan informasi intelijen rahasia Mossad yang bernama Eli Cohen yang memberikan informasi bahwa Mesir telah merencanakan penyerangan terhadap Israel dengan di bantu oleh Suriah dan Yordania. Israel pada waktu itu melakukan tindakan serangan pendahuluan dengan tujuan untuk merespon ancaman tersebut, karena telah mendapat bukti intel dari agen rahasianya sendiri. Ada juga tindakan Israel yang melakukan serangan pendahuluan walaupun tidak adanya suatu ancaman, seperti pada kasus The Osiraq Strike pada tahun 1981. Israel pada waktu itu melakukan serangan pendahuluan dengan menggunakan delapan pesawat F-16A fighter-bombers dan enam F-15A fighters untuk menghancurkan reactor nuklir yang dimiliki Irak pada 6 Juni 1981. Tindakan Israel yang melakukan serangan pendahuluan dengan tujuan untuk merespon ancaman yang nyata dikecam oleh Dewan Keamanan PBB dikarenakan tidak terbukti bahwa Irak telah membuat senjata nuklir yang ditujukan untuk menyerang Israel. 

   Serangan Pendahuluan atau lebih dikenal dengan pre-emptive strike saat ini masih belum memiliki kejelasan mengenai kedudukannya dalam hukum internasional kontemporer. Dahulu sebelum dibentuknya Piagam PBB (The United Nations Charter 1945) tindakan ini masih dianggap wajar di mata dunia dan bagi hukum kebiasaan internasional (International Customary Law), asalkan tindakan tersebut memiliki alasan dan bukti bahwa negara mereka sedang terancam dan akan diserang oleh negara lain atau imminent threat (ancaman nyata). Serangan pendahuluan merupakan tindakan untuk merespon baik terdapat suatu ancaman atau tidak terdapatnya suatu ancaman dengan menggunakan kekuatan militer yang dilakukan tanpa adanya pernyataan mengenai serangan yang akan dilakukan. Serangan pendahuluan berbeda dengan pertahanan diri seperti yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB, pertahanan diri merupakan suatu tindakan untuk melindungi diri dari serangan yang telah terjadi pada wilayah suatu Negara. Sedangkan serangan pendahuluan dapat dilakukan walaupun tidak bertujuan untuk melindungi diri sendiri. Jika dalam kontek peperangan, serangan pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk memulainya suatu perang. Tindakan serangan pendahuluan memiliki dampak yaitu salah satunya terjadi pergeseran makna prinsip self-defence dalam pasal 51 Piagam PBB. Meskipun Pasal 51 Piagam PBB sering terjadi multitafsir mengenai self-defence, tetapi pada dasarnya serangan pendahuluan dan pertahanan diri tidak dapat disamakan secara substantif.  

   Ketika Piagam PBB dibentuk, tindakan pre-emptive strike (serangan pendahuluan) ini masih saja dilakukan, dengan menggunakan alasan self defense (melindungi diri). Pre-emptive strike belum memiliki aturan yang mengatur mengenai tindakan ini. Dalam pasal 51 Piagam PBB hanya mengatur mengenai self-defense, dan tidak diatur mengenai pre-emptive strike. Pre-emptive strike pada dasarnya berbeda dengan self-defense. Tetapi banyak negara yang melakukan tindakan pre-emptive strike dengan mengkaitkan prinsip self-defense. Self-defense merupakan hak untuk membela diri dari serangan yang terjadi diwilayah suatu negara. Self-defense merupakan pengecualian mengenai larangan penggunaan kekerasan (non use of force) dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, karena mengingat sifat alami manusia yaitu membela diri saat mereka sedang mengalami serangan atau ancaman yang ditujukan kepada mereka. 

   Hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan aturan yang mengatur mengenai perang. Dalam hukum humaniter dikenal salah satu doktrin yaitu doktrin pernyataan perang (declaration war). Dalam doktrin pernyataan perang (declaration war), keabsahan mengenai suatu perang juga ditentukan dalam doktrin ini. Teori pernyataan perang untuk pertama kali dikemukakan oleh ahli hukum Romawi Kuno, Cicero. Menurut Cicero, “the use of force was justifiable only when the war was declared by an appropriate governmental authority acting within specific limits.” 

   Dalam “De Officiis”, Cicero menuliskan bahwa “no war is just, unless it is entered upon after an official demand for satisfaction has been submitted or warning has been given and a formal declaration made”. Agar suatu perang dianggap benar, maka harus ada suatu pernyataan formal dari perang tersebut. Teori pernyataan perang ini mendapat pengakuan yang luas dan dipraktekkan para pihak dalam setiap konflik bersenjata atau perang.9 Grotius yang dikenal sebagai bapak hukum internasional (The Father of The International Law) mengatakan bahwa tindakan pernyataan perang yang mendahului dilakukannya perang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Cicero, adalah sangat penting. Sedangkan Menurut Grotius, untuk melakukan suatu perang yang benar, maka suatu perang tidak hanya dilaksanakan oleh otoritas berdaulat pada kedua belah pihak, tetapi juga harus sepatutnya dan secara formal dideklarasikan (duly and formally declared). Tujuan dari dilakukannya pernyataan perang yaitu agar suatu Negara dapat mempersiapkan diri untuk mengahadapi perang dan agar suatu Negara juga dapat mengevakuasi penduduk sipil di tempat yang aman dan terhindar dari peperangan, inilah mengapa pernyataan perang penting untuk dilakukan sebelum dilakukan perang. 

   Jika Pre-emptive self defence dikaitkan dengan konteks perang menurut hukum humaniter internasional dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional. Karena pre-emptive self defence merupakan tindakan untuk menyerang terlebih dahulu terhadap suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer (use of military force), tanpa adanya ultimatum dan tanpa diketahui oleh negara yang akan diserang. Pre-emptive strike menurut perspektif hukum humaniter internasional tidak sesuai dengan doktrin yang ada dalam hukum humaniter internasional yaitu doktrin pernyataan perang (declaration war). Karena dalam hukum humaniter mengharuskan setiap negara untuk menyatakan perang atau melakukan ultimatum terlebih dahulu sebelum melakukan perang. Perang yang dilakukan tanpa adanya pernyataan perang (declaration war) merupakan suatu tindakan yang illegal, seperti yang dikatakan Cicero dalam merumuskan batasan-batasan dalam menjalankan perang yaitu suatu negara harus menyatakan perang kepada suatu negara terlebih dahulu, agar negara tersebut dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi perang.

   Pada kasus Perang Teluk antara Irak melawan pasukan koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada tahun 1920, Irak pada masa pemerintahan Saddam Husein melakukan penyerangan terhadap Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990. Tindakan yang dilakukan Irak dengan melewati perbatasan Kuwait dan menyerang tanpa adanya ultimatum terlebih dahulu merupakan tindakan serangan pendahuluan. Penyebab utama Irak melakukan serangan pendahuluan terhadap Kuwait dikarenakan Kuwait menuntut untuk pembayaran pinjaman yang diberikan kepada Irak. Serangan pendahuluan yang dilakukan Irak terhadap Kuwait membuat dampak pada hukum humaniter yaitu terjadi pelanggaran atas hukum humaniter internasional, Irak dalam melakukan serangan pendahuluan tidak melakukan ultimatum terlebih dahulu kepada Kuwait, sedangkan menurut hukum humaniter doktrin pernyataan perang telah menjadi jus ad bellum seperti yang dirumuskan oleh Grotius sebagai batasan-batasan atas legitimasi bangsa untuk menjalankan perang. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang yang mengatur tentang bagaimana suatu Negara dapat dibenarkan dalam menggunakan kekerasan bersenjata. 

   Selain itu, tindakan serangan pendahuluan juga dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuatan militer seperti yang dilakukan Irak terhadap Kuwait. Penyalahgunaan kekuatan militer merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh tindakan serangan pendahuluan dan menjadi dampak yang buruk dalam hubungan internasional dan dampak ini dapat mengancam keamanan dan kedamaian dunia. Saddam Husein sebagai Presiden Irak pada waktu perang teluk 1991 telah melakukan penyalahgunaan kekuatan militer dengan melakukan serangan pendahuluan untuk menyerang Kuwait yang mengakibatkan perang teluk antara Irak melawan pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat. Hal seperti inilah yang dikhawatirkan dapat menyebabkan konflik yang besar dalam dunia jika serangan pendahuluan dibiarkan untuk dilakukan karena tindakan ini dapat disalahgunakan oleh Negara-negara yang tidak bertanggungjawab. 

   Kasus lainnya mengenai tindakan serangan pendahuluan yaitu ketika terjadinya Perang Dunia II. Pada tanggal 1 September 1939, pasukan Jerman melakukan serangan pendahuluan dengan melancarkan Blitzkrieg atau serangan kilat terhadap Polandia. Serangan ini menandai dibukanya Perang Dunia II diwilayah Eropa. Sedangkan pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang melakukan serangan pendahuluan kepada Amerika Serikat dengan melakukan penyerangan di Pearl Harbour, di Oahu, salah satu kepulauan Hawaii ditengah samudera pasifik, di sebelah barat daya daratan Amerika Serikat. Serangan pendahuluan yang dilakukan oleh Jerman dan Jepang menyebabkan terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1939-1945. 

   Dampak lain yang diakibatkan oleh serangan pendahuluan yaitu terjadi pelanggaran atas prinsip non intervensi. Prinsip ini juga terkait dalam teori kedaulatan Negara yang pertama kali dirumuskan oleh Jean Bodin dalam bukunya “Res Republica” yang menganggap bahwa kedaulatan Negara merupakan kekuasaan mutlak dan abadi dari Negara yang tidak terbatas dan tidak dapat di bagi-bagi. Menurut Bodin, kedaulatan Negara untuk mengatur dan mengurus wilayah dan hubungan antara individu dalam wilayahnya. Dalam kedaulatan Negara, setiap Negara memiliki hak untuk bebas memilih dan mengembangkan sistem politik, sosial, ekonomi, dan budayanya sendiri. Selain dari hak Negara untuk menikmati kedaulatan Negara, terdapat juga kewajiban Negara dalam hal kedaulatan suatu Negara yaitu setiap Negara harus menghormati Negara lain yang mempunyai integritas atas keutuhan wilayahnya yaitu merupakan penjabaran mengenai prinsip non intervensi yang merupakan salah satu kewajiban yang dijelaskan oleh teori kedaulatan Negara ini. 

   Serangan pendahuluan melanggar prinsip non intervensi ini karena serangan pendahuluan itu sendiri tidak menghormati suatu Negara yang memiliki integritas atas keutuhan wilayah suatu Negara. Dalam Deklarasi Larangan Intervensi dalam Urusan Domestik Negara-negara tahun 1965 menegaskan bahwa Negara tidak berhak mengintervensi secara langsung atau tidak langsung dengan alasan apapun dalam urusan internal atau eksternal Negara lain. Maka, intervensi bersenjata dan segala bentuk intervensi lainnya atau upaya ancaman terhadap kepribadian Negara atau terhadap unsur-unsur politik, ekonomi, dan budayanya, di kutuk.  

   Dampak lainnya yang ditimbulkan oleh tindakan serangan pendahuluan yaitu tindakan tersebut melanggar Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang berbunyi “Semua anggota PBB harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari penggunaan ancaman atau kekerasan terhadap integritas territorial dan kemerdekaan politik setiap Negara atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB”. Dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB mengatur mengenai larangan penggunaan kekerasan (non use of force). Dalam pasal ini tidak membenarkan segala bentuk tindakan penggunaan kekerasan selain dari self-defense. Tindakan serangan pendahuluan dilarang untuk dilakukan menurut Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB karena melanggar larangan penggunaan kekerasan yang mana sudah menjadi asas hukum internasional. Dalam Deklarasi Asas-Asas Hukum Internasional 1974 Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB mengenai larangan penggunaan kekuatan telah di analisis dan diperinci dengan sistematis sebagai berikut : 

  1. Perang agresi merupakan kejahatan melawan kedamaian yang harus dipertanggungjawabkan di bawah hukum internasional.
  2. Negara tidak boleh mengancam menggunakan paksaan untuk melanggar garis perbatasan internasional yang sudah ada (termasuk demarkasi atau garis gencatan senjata) atau untuk menyelesaikan sengketa internasional.
  3. Negara-negara berkewajiban menghindari perbuatan reprisal yang melibatkan penggunaan paksaan.
  4. Negara-negara tidak boleh menggunakan paksaan untuk merampas hak kemerdekaan bangsa lain.
  5. Negara-negara wajib menghindari mengorganisasi, meghasut, membantu, atau berpartisipasi dalam aksi perselisihan sipil atau aksi teroris di Negara lain dan tidak boleh mendorong pembentukan gerombolan bersenjata untuk menyerbu teritori Negara lain.

   Pengecualian mengenai pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yaitu Reprisal dan self defence. Dalam piagam PBB tindakan use of force yang dilakukan terhadap Negara lain dilarang tetapi diizinkan dan dikecualikan terhadap self defence asalkan tindakan self defence diketahui oleh Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu.

PENGATURAN PERTAHANAN DIRI (SELF DEFENSE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Pasal 51 Piagam PBB, berbunyi:

   “nothing in the present charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of the united nations, until the Security council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self- defense shall be immediately reported to the Security council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security council under the present charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.” 

      Tidak ada suatu ketentuan dalam piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu anggota PBB, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Pasal 51 Piagam PBB merupakan suatu aturan tertulis mengenai self-defense. Dan pasal inilah yang menjadi dasar dalam melakukan self-defense.

   Dewan Keamanan yang berhak untuk mengambil keputusan mengenai tindakan yang boleh dilakukan oleh suatu negara untuk merespon segala bentuk ancaman serangan dari negara lain. Dalam hal ini pre- emptive strike menurut pasal 51 Piagam PBB tidak membuka celah akan praktik pre- emptive strike itu sendiri walaupun dengan alasan self-defense, segala bentuk tindakan yang dilakukan untuk self-defense perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Dewan Keamanan, dan nantinya Dewan Keamanan yang akan menentukan apakah ancaman tersebut dapat direspon dengan menggunakan kekerasan (use of force) atau tidak.

  Pasal 51 menjamin hak untuk menggunakan kekuatan dalam pertahanan diri jika terjadi serangan bersenjata hingga Dewan Keamanan PBB mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Dari satu sudut pandang hak ini terbatas pada situasi dimana serangan bersenjata nyata telah di mulai. Namun pandangan bahwa Negara memiliki hak untuk bertindak dalam pertahanan diri untuk mencegah ancaman serangan yang akan datang atau sering di sebut sebagai Pre-emptive self defence umum di terima meskipun tidak secara universal. Pada praktiknya, tidak realistis menganggap bahwa pertahanan diri harus selalu menunggu serangan yang sebenarnya. Perbedaan antara dua pandangan ini, pada pandangan pertama berpendapat bahwa serangan telah dimulai ketika persiapan aktif berada pada tahap lanjut yaitu jika ada niat dan kemampuan yang diperlukan. Selanjutnya, pandangan yang menolak pre-emptive self defence menerima bahwa serangan yang telah selesai sudah cukup untuk merespons mengantisipasi serangan lain. Persyaratan yang diuraikan dalam kasus Caroline harus dipenuhi terkait dengan serangan ancaman. Serangan ancaman harus mendesak dan syarat ini menjadi pengecualian klaim untuk menggunakan kekuatan untuk mencegah ancaman muncul. Kekuatan hanya boleh di gunakan dalam pertahanan diri ketika diperlukan dan kekuatan yang digunakan harus proporsional. 

  • Kekuatan Hanya Dapat Digunakan Dalam Pertahanan Diri Sehubungan Dengan Serangan Bersenjata Baik Yang Sedang Terjadi Atau Yang Akan Datang

   Serangan bersenjata dapat mencakup bukan hanya serangan terhadap wilayah suatu Negara tetapi juga terhadap bagian-bagian Negara seperti kedutaan dan angkatan bersenjata. Kekuatan pertahanan diri hanya dapat di gunakan ketika serangan melibatkan ancaman atau penggunaan kekuatan, ketika penyerang memiliki niat dan kemampuan untuk menyerang dan serangan diarahkan dari luar wilayah yang dikendalikan oleh Negara tersebut. Pada kasus ancaman serangan, harus ada ancaman nyata terhadap serangan terhadap Negara yang sedang membela diri. Hak self defence yang melekat dalam Pasal 51 Piagam PBB bahwa jika terjadi serangan bersenjata membentuk pengecualian terhadap larangan umum terhadap penggunaan kekuatan dalam Pasal 2 ayat 4. Dalam konteks Pasal 51, serangan bersenjata tidak hanya mencakup serangan terhadap wilayah Negara termasuk udara dan laut wilayahnya tetapi juga serangan terhadap bagian-bagian Negara, seperti pasukan bersenjata atau kedutaan luar negeri. Serangan bersenjata dapat juga mencakup dalam serangan terhadap warga Negara dan pesawat sipil. Oleh karena itu, serangan bersenjata adalah intervensi yang disengaja terhadap Negara lain tanpa persetujuan atau dengan persetujuan dari Negara tersebut yang tidak dibenarkan secara hukum. 

  • Serangan bersenjata melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata dan bukan hanya kerusakan ekonomi semata. 

   Kerusakan ekonomi, misalnya melalui suspense perdagangan atau penggunaan virus komputer yang dirancang untuk melumpuhkan operasi keuangan bursa saham suatu Negara atau untuk menonaktifkan teknologi yang digunakan untuk mengendalikan sumber daya air yang dapat memiliki dampak yang menghancurkan kepada Negara korban, akan tetapi prinsip-prinsip yang mengatur hak untuk menggunakan kekuatan dalam perta hanan diri terbatas pada serangan militer. Namun, serangan ekonomi murni mungkin memicu hak self defence jika hal tersebut menjadi pendahulu serangan bersenjata yang akan datang. Serangan bersenjata mengharuskan penyerang memiliki niat untuk menyerang. Dalam kasus Platform Minyak, ICJ merujuk pada persyaratan ketika menyelidiki apakah Amerika Serikat dapat membuktikan bahwa tindakan Iran secara khusus ditujukan pada Amerika Serikat atau bahwa Iran memiliki niat khusus untuk merugikan kapal Amerika Serikat. Namun, sejauh ini dianggap bahwa serangan militer terhadap suatu Negara atau kapalnya tidak memicu hak self defence selama serangan tersebut tidak ditujukan secara khusus pada Negara atau kapal tertentu tetapi dilakukan secara sembarangan, bagian ini dari putusan ICJ dalam Kasus Platform Minyak dikritik karena tidak didukung oleh hukum internasional.

  • Serangan bersenjata adalah serangan yang diarahkan dari luar wilayah yang dikendalikan oleh Negara. 

   Dalam Opini Hukumnya tentang Konsekuensi Hukum Pembangunan Tembok Teritorial Palestina yang di duduki, observasi ICJ dapat dianggap mencerminkan poin yang jelas bahwa kecuali sasaran diarahkan dari luar wilayah yang dikendalikan oleh Negara yang membela diri, pertanyaan tentang pertahanan diri dalam Pasal 51 tidak biasanya muncul. Pada kasus ancama serangan harus ada ancaman nyata serangan terhadap Negara yang membela diri, baik yang ditujukan kepada Negara tersebut atau melalui serangan sembarangan. Ini adalah aspek dari kriteria kebutuhan yang menanggapi pertanyaan apakah diperlukan bagi Negara sasaran untuk mengambil tindakan. 

  • Kekerasan Dapat Digunakan Untuk Membela Diri Hanya Jika Hal Ini Diperlukan Untuk Mengakhiri Serangan Atau Untuk Mencegah Serangan Yang Akan Terjadi.

    Tidak terdapat alternatif praktis lain selain usulan penggunaan kekuatan yang mungkin efektif dalam mengakhiri atau mencegah serangan. Kriteria keharusan merupakan hal mendasar dalam hukum pertahanan diri. Self defence hanya dapat digunakan bila diperlukan untuk mengakhiri atau mencegah serangan. Oleh karena itu, semua cara mencegah serangan tersebut pasti sudah habis atau tidak tersedia. 

  • Suatu Negara Dapat Menggunakan Kekuatan Untuk Membela Diri Terhadap Ancaman Serangan Hanya Jika Serangan Terjadi Dalam Waktu Dekat

   Terdapat risiko penyalahgunaan doktrin pre-emptive self defence, dan doktrin ini perlu diterapkan dengan itikad baik dan berdasarkan bukti yang kuat. Namun kriteria segera harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mempertimbangkan jenis ancaman yang ada saat ini dan harus diterapkan dengan mempertimbangkan keadaan khusus dari setiap kasus. Kriteria segera erat kaitannya akan kebutuhan. Kekerasan hanya dapat digunakan jika penundaan lebih lanjut akan mengakibatkan Negara yang terancam tidak mampu secara efektif mempertahankan diri atau menghindari serangan terhadap Negara penyerang. Dalam menilai seberapa besar serangan akan terjadi, referensi dapat dibuat berdasarkan tingkat keparahan serangan, kemampuan penyerang, dan sifat ancaman, misalnya jika serangan kemungkinan besar terjadi tanpa peringatan. Pemaksaan hanya dapat digunakan atas dasar faktual yang tepat dan setelah dilakukan penilaian dengan itikad baik terhadap fakta-fakta tersebut. 

   Konsep imminence mencerminkan rumusan Caroline tentang segera, mendesak, tidak menyisakan pilihan cara, dan tidak ada waktu untuk musyawarah. Dalam konteks ancaman yang terjadi saat ini, ancaman yang akan segera terjadi tidak dapat ditafsirkan hanya dengan mengacu pada kriteria sementara saja, namun harus mencerminkan kondisi ancaman yang lebih luas dan harus ada keadaan darurat yang tidak dapat diubah. Apakah serangan akan segera terjadi tergantung pada sifat ancaman dan kemungkinan untuk menanganinya secara efektif pada tahap tertentu. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan meliputi: tingkat keparahan ancaman serangan, apakah yang diancam adalah penggunaan senjata pemusnah massal (WMD) yang bersifat bencana; kemampuan – misalnya, apakah Negara atau organisasi teroris terkait memiliki senjata pemusnah massal, atau hanya memiliki material atau komponen yang akan digunakan dalam pembuatannya; dan sifat serangan termasuk kemungkinan risiko dalam melakukan penilaian bahaya yang salah. Faktor-faktor lain mungkin juga relevan, seperti situasi geografis Negara yang menjadi korban, dan catatan serangan di masa lalu yang dilakukan oleh Negara yang bersangkutan. Kriteria imminence mensyaratkan bahwa penundaan lebih lanjut dalam melawan serangan yang dimaksudkan akan mengakibatkan ketidakmampuan Negara yang bertahan secara efektif untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut. 

   Sejauh doktrin pencegahan mencakup hak untuk menanggapi ancaman yang belum terjadi namun mungkin akan terwujud suatu saat nanti, maka doktrin pre-emptive self defence tidak memiliki dasar dalam hukum internasional. Sebuah kelemahan fatal dalam doktrin ini adalah bahwa secara definisi mengecualikan segala kemungkinan penilaian keabsahan ex post facto karena fakta bahwa doktrin tersebut bertujuan untuk menangani terlebih dahulu ancaman-ancaman yang belum terjadi. Tindakan tegas untuk menghentikan aksi teroris yang sedang dipersiapkan di negara lain, tergantung pada situasinya, mungkin sah akan tetapi tidak dibenarkan untuk menyerang seseorang yang mungkin di masa depan akan mempertimbangkan aktivitas tersebut. Meskipun kepemilikan senjata pemusnah massal tanpa adanya niat bermusuhan untuk melancarkan serangan tidak dengan sendirinya menimbulkan hak untuk membela diri, kesulitan dalam menentukan niat dan konsekuensi bencana dari melakukan kesalahan akan menjadi faktor yang relevan dalam menentukan seberapa dekat senjata tersebut akan dibuat oleh negara lain. 

   Penentuan waktu dekat adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh negara terkait, namun harus dilakukan dengan itikad baik dan atas dasar yang mampu melakukan penilaian obyektif. Sejauh hal ini dapat dicapai secara masuk akal, bukti-bukti tersebut harus dapat dibuktikan secara publik. Beberapa jenis bukti tidak didapatkan dengan jelas, baik karena sifat atau sumbernya, atau karena bukti tersebut merupakan produk interpretasi dari banyak informasi kecil. Namun bukti merupakan hal mendasar bagi akuntabilitas, dan akuntabilitas terhadap supremasi hukum. Semakin luas jangkauannya, dan semakin tidak dapat diubahnya tindakan-tindakan eksternalnya, maka semakin besar pula suatu negara harus menerima, baik secara internal maupun eksternal, beban untuk menunjukkan bahwa tindakan-tindakannya dapat dibenarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan harus ada prosedur internal yang tepat untuk penilaian intelijen dan pengamanan prosedural yang tepat. 

  • Penggunaan hak membela diri harus memenuhi kriteria proporsionalitas.

   Kekuatan yang digunakan, secara keseluruhan, tidak boleh berlebihan sehubungan dengan kebutuhan untuk mencegah atau mengakhiri serangan. Konsekuensi fisik dan ekonomi dari kekerasan yang digunakan tidak boleh berlebihan jika dibandingkan dengan kerugian yang diperkirakan akibat serangan tersebut. ICJ telah mengkonfirmasi bahwa sudah merupakan aturan hukum kebiasaan internasional yang menyatakan bahwa penggunaan kekuatan untuk self defence harus proporsional dengan serangan bersenjata yang diperlukan untuk merespons serangan tersebut. Hal ini mensyaratkan bahwa tingkat kekuatan yang digunakan tidak lebih besar dari yang diperlukan untuk mengakhiri serangan atau menghilangkan ancaman. Persyaratan proporsionalitas juga dikatakan berarti bahwa konsekuensi fisik dan ekonomi dari kekuatan yang digunakan tidak boleh berlebihan dibandingkan dengan kerugian yang diperkirakan akibat serangan tersebut. Namun karena hak untuk membela diri tidak memperbolehkan penggunaan kekuatan untuk menghukum penyerang, maka proporsionalitas tidak boleh dianggap merujuk pada keseimbangan antara respons dan kerugian yang telah diderita akibat serangan, karena hal ini dapat mengubah konsep diri menjadi lebih baik. – pembelaan menjadi pembenaran untuk tindakan pembalasan, atau membatasi penggunaan kekerasan hingga kurang dari yang diperlukan untuk menangkis serangan. Kekuatan yang digunakan harus memperhitungkan operasi pertahanan diri secara keseluruhan. Hal ini tidak berhubungan dengan insiden penargetan tertentu (yang merupakan masalah hukum humaniter internasional). Oleh karena itu, dalam Kasus Oil Platforms, ICJ menyatakan bahwa dalam menilai proporsionalitas, ICJ tidak bisa menutup mata terhadap skala keseluruhan operasinya. 

  • Pasal 51 tidak terbatas pada pertahanan diri dalam menanggapi serangan Negara. Hak untuk membela diri juga berlaku terhadap serangan yang dilakukan oleh aktor non-negara.

  1. Dalam kasus seperti ini, serangan harus berskala besar.
  2. Jika hak membela diri dalam kasus seperti ini akan dilaksanakan di wilayah Negara lain, maka harus jelas bahwa Negara tersebut tidak mampu atau tidak mau berurusan dengan aktor-aktor non-negara itu sendiri, dan perlu menggunakan hak untuk membela diri. Kekuatan dari luar untuk menghadapi ancaman dalam keadaan dimana persetujuan Negara teritorial tidak dapat diperoleh.
  3. Kekerasan untuk membela diri yang ditujukan terhadap pemerintah Negara tempat penyerang ditemukan hanya dapat dibenarkan sejauh hal tersebut diperlukan untuk mencegah atau mengakhiri serangan.

   Tidak ada alasan untuk membatasi hak suatu Negara untuk melindungi dirinya dari serangan Negara lain. Hak membela diri adalah hak untuk menggunakan kekuatan untuk menghindari serangan. Sumber serangan, baik Negara maupun aktor non-negara. Praktik Negara dalam bidang ini, termasuk praktik Dewan Keamanan baru-baru ini, tidak mendukung pembatasan tindakan self defence terhadap serangan bersenjata yang dapat dilakukan oleh suatu Negara.

   Tindakan melawan Al Qaeda di Afghanistan pada bulan Oktober 2001 adalah tindakan pre-emptive self defence serangan teroris yang akan segera terjadi dari Al Qaeda, bukan dari Taliban. Penting untuk menyerang elemen-elemen tertentu dari Taliban, untuk mencegah serangan dari Al Qaeda. Resolusi Dewan Keamanan 1368(2001) dan 1373 (2001) mendukung pandangan bahwa pertahanan diri tersedia untuk mencegah serangan teroris skala besar seperti yang terjadi di New York dan Washington pada 11 September 2001. 

   Demikian pula seruan NATO dan Dewan Keamanan PBB. Hak negara untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang terus terjadi, bahkan oleh kelompok swasta atau aktor non-negara, pada umumnya tidak dipertanyakan. Yang dipertanyakan adalah hak untuk mengambil tindakan terhadap Negara yang diduga menjadi sumber serangan tersebut, karena harus diakui bahwa serangan terhadap aktor non-negara dalam suatu Negara pasti merupakan penggunaan kekerasan terhadap Negara teritorial. Mungkin saja suatu Negara tidak bertanggung jawab atas tindakan teroris, namun Negara tersebut bertanggung jawab atas kegagalan dalam mengambil langkah-langkah yang wajar untuk mencegah penggunaan wilayahnya sebagai basis serangan terhadap Negara lain. Oleh karena itu, jika suatu Negara tidak mampu atau tidak mau mengambil kendali atas organisasi teroris yang berlokasi di wilayahnya, maka Negara yang menjadi korban serangan teroris tersebut, sebagai upaya terakhir, akan diizinkan untuk bertindak untuk membela diri terhadap organisasi teroris tersebut.

   Kriteria yang sama mengenai penggunaan kekuatan untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh Negara juga akan digunakan dalam kasus serangan yang dilakukan oleh aktor non-negara, namun terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu yang relevan. Serangan yang akan dilakukan oleh aktor non-negara harus berskala besar agar tindakan membela diri perlu dilakukan, pertama-tama harus jelas bahwa tindakan penegakan hukum saja tidak cukup. Organisasi teroris tidak mudah dibasmi oleh angkatan bersenjata asing. Oleh karena itu, meskipun serangan tidak sedang berlangsung namun akan segera terjadi, Negara teritorial harus menindak kelompok penyerang yang berada di wilayahnya. 

  • Prinsip-prinsip mengenai hak membela diri hanya merupakan bagian dari peraturan internasional tentang penggunaan kekuatan.

  1. Tindakan-tindakan yang diambil dalam rangka melaksanakan hak membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan. Dewan mempunyai hak dan tanggung jawab untuk mengizinkan tindakan militer kolektif untuk menghadapi ancaman nyata atau laten.
  2. Setiap tindakan militer harus sesuai dengan aturan hukum humaniter internasional yang mengatur perilaku permusuhan. 

PERTAHANAN DIRI (SELF DEFENCE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Self-defence merupakan istilah hukum internasional yang berlaku sejak lama sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Self-defence adalah hak inherent yang dimiliki oleh setiap Negara. Keabsahan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hak self defence terdiri dari legalitas dalam teori dan praktek. Secara teori ada dua ketentuan yang mendasari keberlakuan self defence, pertama adalah hukum kebiasaan internasional, dan kedua adalah Pasal 51 Piagam PBB.

  • Hukum kebiasaan internasional

   Hukum kebiasaan internasional adalah bentuk hukum yang berasal dari praktek Negara-negara dan apa yang dikenal dengan ”Opinion Juris”. Self Defence pada hakikatnya dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional berawal dari penembakan kapal Caroline pada awal abad ke 19, tepatnya pada tahun 1837. Konsep hukum kebiasaan yang diadopsi pada peristiwa kapal Caroline secara tidak langsung membentuk prinsip-prinsip yang kini tertanam kuat sebagai landasan yang digunakan dalam beberapa kasus sengketa internasional dan menjadi hukum kebiasaan internasional dalam hal self defence khususnya anticipatory self defence. Anticipatory atau disebut juga Pre-emptive Self Defence adalah pembelaan diri yang sifatnya antisipasif, artinya pembelaan diri yang mendahului serangan musuh. 

   Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah memenuhi unsur necessity, proportionality dan imminency. Necessity dirtikan sebagai kebutuhan terdesak dan dalam keadaan terpaksa, dan proportionality dimaknai sebagai serangan yang harus diterapkan secara proporsional atau sepadan dengan ancaman yang diterimanya. Bentuk ancaman ini harus memenuhi kriteria imminent yang artinya ancaman tersebut sudah berada dekat sekali di depan mata sehingga Negara dibenarkan untuk mempertahankan eksistensi kedaulatannya. 

  • Pasal 51 Piagam PBB

   Dalam pasal 51 Piagam PBB dinyatakan bahwa suatu Negara boleh membela diri. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa Piagam PBB memberikan hak kepada Negara untuk menggunakan kekuatan militer dalam rangka mempertahankan diri jika terjadi serangan bersenjata yang mengancam kedaulatan dan kesatuan politik Negara. Dalam pasal 51 Piagam PBB terdapat beberapa ketentuan yang diatur dalam rangka upaya self defence yaitu; digunakannya frasa “if an armed attack occurs…” yang mana diartikan bahwa sebuah serangan bersenjata harus ada terlebih dahulu agar dapat digunakan sebuah kekerasan dalam rangka upaya self defence. Kemudian adanya kalimat “measures taken by members in the exercise of this rihnt of self-defence shall be immediately reported to the Security Council…” dimaknai bahwa tindakan yang diambil Negara-negara dalam pelaksanaan hak membela diri harus segera dilaporkan pada dewan keamanan PBB sebagai organ yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. 

    Pasal 51 mengatur hak self defence dengan dua pembatasan yakni setelah terjadinya serangan bersenjata dan setelah Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan terlebih dahulu untuk memulihkan keadaan. Meskipun self defence diakui secara jelas oleh PBB bukan berarti self defence tidak menimbulkan masalah dalam prakteknya. Contohnya Praktek Doktrin Pre-Emptive yang merupakan kebijakan pre-emptive self defence Amerika Serikat akibat peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Penyerangan terhadap WTC memunculkan gerakan “war against terrorism” yang di deklarasikan oleh Presiden George. W. Bush yang akhirnya menimbulkan paradigma keamanan baru yakni pre-emptive self defence yang di kembangkan secara luas. Pre-emptive self defence eksis dalam hukum kebiasaan internasional dimana insiden kapal Caroline sebagai acuan dalam menentukan legalitasnya.  

     Serangan terror menjadi alasan legitimasi untuk melakukan invasi militer kepada pihak-pihak yang dicurigai berada di balik terror tersebut. Tindakan tersebut tidak menyalahi ketentuan pasal 51 Piagam PBB dikarenakan Amerika Serikat mempunyai “inherent right” atau hak yang melekat untuk membela diri dan kemudian penyerangan terhadap gedung WTC merupakan serangan yang termasuk istilah “if an armed attack occurse”. Setelah itu, hak membela diri dapat dilakukan setelah Dewan Kemanan PBB mengambil tindakan apabila waktu yang diperlukan Dewan Kemanan PBB dalam megadopsi langkah-langkah yang diperlukan terkait ancaman tersebut cukup lama sehingga memungkinkan terjadi serangan susulan seblum Dewan Keamanan mengambil tindakan, maka pre-emptive self defence dapat dilakukan. 

   Kemudian praktik self defence dalam era modern berkaitan dengan legalitas “ancaman segera” berdasarkan laporan intelijen dan bahkan ancaman perang proxy. Perang proxy atau proxy war merupakan suatu peperangan yang tidak sepenuhnya berada dalam kaidah hukum perang Den Haag 1949. Kendatipun dari segi hukum humaniter, Antony Plaff memandang hukum perang proxy merupakan wujud peperangan era modern dengan teknologi digital. Sebagai acuan, Jeremy Wright mempertimbangkan standar yang berbeda tentang ancaman yang bersifat segera di masa modern ini, diantaranya : 

  1. Sifat dan kesegeraan ancaman kemungkinan serangan;
  2. Apakah serangan yang diantisipasi merupakan bagian dari pola bersama dari aktivitas bersenjata yang berkelanjutan;
  3. Skala kemungkinan serangan dan cedera, kerugian atau kerusakan yang mungkin terjadi jika tidak ada tindakan mitigasi; 
  4. Kemungkinan akan ada peluang lain untuk melakukan tindakan efektif dalam membela diri yang diperkirakan akan meyebabkan cedera, kerugian atau kerusakan tambahan yang tidak terlalu serius

   Setiap penggunaan kekuatan bersenjata dalam membela diri selalu menimbulkan pertanyaan seberapa pasti serangan akan datang dan seberapa cepat serangan itu akan terjadi. Disini Jeremy menekankan pentingnya para diplomat, analisis militer dan badan intelijen dalam menganalisis dan memverifikasi kesegeraan ancaman dengan menggunakan indikator hukum yang jelas. Informasi dari badan intelijen suatu Negara bisa dijadikan dasar untuk melakukan self defence apabila terbukti keakuratannya di sertai bukti-bukti dan berhak dilaporkan pada Dewan Keamanan PBB untuk membuktikan bahwa memang Negaranya sedang mengalami Imminent Threat. 

   Ada dua bentuk penggunaan kekuatan bersenjata dalam self defence yaitu : 

  1. Individual Self Defence yang tercantum dalam Pasal 51 memiliki makna yang lebih luas dari hak perseorangan, yaitu lebih kepada hak individu Negara atau lebih tepatnya penggunaan kekuatan bersenjata secara unilateral yang mana dalam melakukannya diputuskan sepihak.
  2. Collective Self Defence tercetus oleh delegasi dari Amerika Serikat dalam Konferensi San Francisco pada tahun 1945 yang mengatakan bahwa “if more than one state acts that is to be interpreted as collectively”. Dimana dalam contoh kasus agresi terhadap satu Negara bagian merupakan agresi terhadap semua Negara bagian dan mereka semua menggunakan hak pembelaan yang sah dengan memberikan dukungan kepada Negara yang diserang. Berbeda dengan pembelaan individu yang sepihak. Colective Self Defence harus dilakukan melalui resolusi Dewan Keamanan PBB.

KONFLIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Menurut hukum internasional, Negara mulai mengadakan hubungan kerjasama dengan Negara lain untuk mengadakan hubungan yang lebih baik. Dari pengalaman dan sejarah dunia, sifat dari hubungan antar subjek dari hukum internasional yang tidak hanya mencakup ruang lingkup Negara saja selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan. Fluktuasi hubungan itu dapat dijaga dan dipelihara sampai saat ini melalui diplomasi. Tujuan utama Negara-negara di dunia mengadakan hubungan internasional adalah untuk memenuhi kepentingan nasional dari Negara yang bersangkutan. Seringkali dalam memenuhi kepentingan nasional dari setiap Negara ini, terjadi suatu sengketa ataupun konflik dimana terjadi pertentangan kepentingan dua Negara atau lebih khususnya menyangkut kedaulatan Negara. Baik itu konflik atau sengketa yang bisa diselesaikan secara diplomasi hingga sengketa yang berujung pada konflik bersenjata sebagai jalan penyelesaian masalah. 

   Konflik bersenjata internasional sering terjadi apabila upaya diplomasi antara dua Negara atau lebih menemui jalan buntu. Perang merupakan tingkat tertinggi dari dari konflik antara dua pihak atau lebih. Tipe interaksi ini telah berlangsung sejak munculnya perdaban manusia hingga sekarang. Sejak zaman kuno telah ditemukan bukti-bukti mengenai interaksi ini. Bab Empat dari kitab Injil menyebutkan tentang pembunuhan manusia pertama, bahkan dalam epic Hindu Klasik, The Bhagavad Gita dengan luas menggambarkan tentang kepahlawanan, penguasa-penguasa tangguh dan hebohnya perang antara pasukan yang bermusuhan. Konflik bersenjata tentunya bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap pihak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi konflik bersenjata di dunia internasional masih ada hingga saat ini meskipun sudah banyak Negara yang menandatangani berbagai konvensi dan perjanjian internasional guna menjaga perdamaian dan keamanan dunia dari timbulnya konflik-konflik bersenjata. Keamanan Negara dan situasi yang mendesak tentunya menjadi faktor yang paling mendasar dalam timbulnya konflik bersenjata yang sudah ataupun masih terjadi hingga saat ini. Terjadinya konflik bersenjata diawali dari adanya pertentangan kepentingan dengan bangsa lain atau pertentangan antar kelompok dalam suatu bangsa sendiri.  

   Menurut Pietro Verri, istilah konflik bersenjata merupakan segala bentuk sengketa bersenjata antara beberapa pihak yang mencakup dua Negara atau lebih, suatu Negara dengan suatu entitas bukan Negara, suatu Negara dengan suatu fraksi pemberontak ataupun antara dua kelompok etnis yang berada dalam suatu Negara. Konflik bersenjata yang terjadi tidak hanya berdampak bagi keamanan Negara tetapi juga secara langsung memberikan dampak yang sangat terasa bagi masyarakat disekitar wilayah dimana terjadi konflik bersenjata. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa kata perang tidaklah asing ditelinga kita, suatu kata yang identik dengan kekerasan, kekejaman dan pertumpahan darah. Semua umat manusia tidak menginginkan perang atau konflik itu sendiri terjadi di sekitar kita, namun banyak faktor yang menyebabkan hal ini tetap terjadi meskipun umat manusia di dunia telah melakukan berbagai usaha untuk memperkecil pecahnya suatu peperangan atau konflik bersenjata yang salah satunya diwujudkan dengan cara membuat suatu kumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tata cara berperang, perlindungan terhadap rakyat sipil serta etika-etika dalam berperang itu sendiri yang kemudian diwujudkan dalam suatu hukum yang dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional.

   Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Didalam sejarah, kita sudah mengenal berbagai kejadian-kejadian penting yang bernuansa peperangan baik Perang Dunia I dan II hingga konflik bersenjata di Suriah dengan organisasi bersenjata yang kita kenal dengan nama ISIS. Lazimnya peperangan atau konflik bersenjata dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya faktor ekonomi, budaya, SARA, politik, perebutan wilayah bahkan hingga persaingan kekuatan militer. Maka dari itu, tidak heran bila dewasa ini masih sering saja terjadi konflik-konflik bersenjata baik antara suatu Negara dengan entitas bukan Negara. 

   Jenis dan bentuk konflik bersenjata antara lain sebagai berikut :

  1. Konflik Bersenjata Internasional

Secara sederhana, konflik bersenjsata internasional dapat diartikan sebagai konflik bersenjata dimana didalam konflik tersebut melibatkan dua atau lebih Negara lain di dalamnya.

      2. Konflik Bersenjata Non-Internasional

Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai perang pemberontakan yang terjadi didalam suatu Negara dan dapat juga berbentuk perang saudara. Perang pemberontakan bertujuan untuk memisahkan diri dari Negara induk.

   Perang terus berkembang sesuai dengan zaman, pada saat ini dikenal istilah perang modern, yaitu suatu bentuk perang yang dilakukan secara non-militer dari Negara maju untuk menghancurkan suatu Negara tertentu melalui bidang Ideologi Politik Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan. Perang modern dapat pula dikatakan sebagai bentuk kontrol Negara-negara koalisi global yang dimotori oleh Negara besar terhadap Negara lain yang tidak mengakomodasi kepentingan Negara koalisi tersebut atau membahayakan Negaranya. Perang modern meliputi :

   Perang Hibrida yang mana merupakan strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman syber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi. Perang Hibrida merupakan kombinasi perang tradisional dan modern. Strategi penyerangan yang tidak hanya melibatkan fisik tetapi juga psikis. Perang ini juga melibatkan penyerangan militer, ekonomi, sosial, diplomasi dan dengan penggunaan teknologi. Menurut sejarah dunia, Perang Hibrida merupakan perang generasi ke empat setelah perang generasi pertama yang muncul pada tahun 1600-an di benua Eropa, Perang Dunia I dan Perang Dunia II. 

   Perang Asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan diluar dari atura peperangan yang berlaku dengan spectrum perang yang sangat luas. Perang Asimetris selalu melibatkan antara dua aktor atau lebih dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang. Perang Asimetris bertujuan melemahkan musuh tanpa bunyi peluru atau tidak ada asap mesiu dalam pergerankannya. Mengandalkan taktik dan strategi yang smart power dengan menggunakan pengerahan massa, dukungan publik terutama penciptaan opini melalui media cetak, elektronik maupun media sosial lainnya.

   Perang Proxy merupakan sebuah konfrontasi antar dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung yang berisko pada kehancuran fatal. Dalam perang proxy tidak bisa terlihat siapa lawan dan siapa kawan. Dilakukan oleh aktor non Negara tetapi dikendalikan pasti oleh sebuah Negara. Perang Proxy adalah istilah yang merujuk pada konflik diantara dua Negara dimana Negara tersebut tidak serta merta terlibat langsung dalam peperangan karena melibatkan proxy atau kaki tangan. 

   Perang Siber adalah perang yang menggunakan jaringan computer dan internet atau dunia maya dalam bentuk strategi pertahanan atau penyerangan sistem informasi lawan. Perang Siber juga dikenal dengan perang informasi mengacu pada penggunaan World Wide Web dan computer untuk melakukan perang di dunia maya. Walaupun terkadang relatif minimal dan ringan, sejauh ini, Perang Siber berpotensi menyebabkan kehilangan secara serius dalam sistem data dan informasi, kegiatan militer dan gangguan layanan lainnya. Kegiatan Perang Siber dewasa ini sudah dapat dimasukkan kedalam kategori perang informasi berskala rendah. 

KEPENTINGAN NASIONAL DALAM HUKUM INTERNASIONAL

       


    Kepentingan nasional merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan hal yang dicita-citakan, dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap sama diantara semua Negara atau bangsa adalah keamanan yang mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayahnya serta kesejahteraan, serta merupakan dasar dalam merumuskan atau menetapkan kepentingan nasional bagi setiap Negara. Dalam kepentingan nasional, terdapat pembedaan yang mendasar yaitu kepentingan nasional yang bersifat vital atau esensial dan kepentingan nasional yang bersifat non-vital atau sekunder. Kepentingan vital menjelaskan seberapa jauh kepentingan tersebut ada dan digunakan, dimana lebih kepada keadaan darurat suatu Negara sehingga harus segera diputuskan. Kepentingan vital merupakan kepentingan yang di prioritaskan oleh suatu Negara karena keberadaannya yang sangat penting, contohnya, menjaga kedaulatan Negara dan mempertahankan wilayah kekuasaan serta eksistensi Negara. Berbeda dengan kepentingan sekunder yang digunakan karena prosesnya berlangsung lama namun hasil dan fungsinya dapat dirasakan lebih baik dikemudian hari dengan jangka waktu yang lama.  

         Kepentingan Nasional merupakan suatu tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu Negara dalam membuat atau merumuskan kebijakan luar Negerinya. Kepentingan nasional suatu Negara secara khas merupakan unsur-unsur membentuk kebutuhan Negara yang paling vital seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi. Nuechterlein menyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan kebutuhan dan keinginan yang dapat dilihat dari suatu Negara berdaulat dengan memperhatikan hubungannya dengan Negara berdaulat lainnya terkait dengan lingkungan eksternalnya. Kemudian, Nuechterlein mengketgorikan kepentingan nasional kedalam empat aspek dasar yaitu :

  1. Defens Interest, merupakan kepentingan untuk melindungi Negara dan masyarakat didalamnya terhadap ancaman fisik yang berasal dari Negara lain atau ancaman yang terinspirasi dari luar yang mempengaruhi sistem pemerintahan.
  2. Economic Interest, merupakan kepentingan Negara untuk meningkatkan perekonomian dan menjaga hubungan ekonomi yang baik dengan Negara lain.
  3. World Order Interest, merupakan kepentingan suatu Negara untuk mempertahankan sistem politik dan ekonomi yang menguntungkan Negaranya dengan memperhatikan aliansi dan reputasinya.
  4. Ideological Interest, merupakan kepentingan Negara untuk melindungi nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat di Negaranya. 

            Selain mengidentifikasi ke empat aspek dasar kepentigan nasional tersebut, intensitas perhatian pemimpin Negara terhadap suatu isu di Negara lain juga perlu untuk diperhatikan. Intensitas perhatian ini merupakan hasil dari pertimbangan para pembuat kebijakan mengenai nilai yang didapat dan potensi biaya yang dikorbankan dari suatu kebijakan. Untuk menetukan intensitas perhatian Negara dalam kepentingan nasionalnya, Nuechterlein mengklasifikasikan isu-isu internasional kedalam empat kelompok, yaitu :

  1. Survival Issues atau isu-isu kelangsungan hidup terjadi apabila kedaulatan Negara sedang terancam yang ditandai dengan adanya serangan militer atau ancaman lainnya dari pihak lawan. Negara yang terancam dengan isu ini dapat mengabaikan perjanjian, hukum dan aturan lainnya yang sudah disepakati untuk mempertahankan kepentingan Negara tersebut.
  2. Vital Issues, merupakan isu yang dapat membahayakan politik dan kesejahteraan ekonomi suatu Negara dalam jangka panjang, tetapi Negara biasanya memiliki waktu untuk mengambil tindakan solutif seperti meminta bantuan aliansi dan bernegosiasi.
  3. Major Issues, merupakan isu atau peristiwa yang berdampak negative terhadap isu politik, ekonomi dan ideology Negara sehingga perlu mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya.
  4. Pheriperal Issues, merupakan isu-isu yang tidak terlalu berdampak buruk bagi Negara, namun cukup membahayakan kepentingan perusahaan dan masyarakat Negara yang berada di Negara lain.

         Dari tinjauan ini para pemimpin Negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap Negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik. Praktik sejarah yang mengutamakan kepentingan nasional beserta konsekuensinya dapat di telusuri melalui kisah hubungan internasional yang bersifat kompetitif dan konfliktual selama berabad-abad, khususnya di Eropa. Seperti Perang Tiga Puluh Tahun, perang-perang perimbangan kepentingan nasional, Perang-perang Dunia, Perang Dingin sampai pada praktik kolonisasi berbasis merkantilisme atau kepentingan ekonomi ke pelosok-pelosok dunia merupakan wujud kisah pengejaran kepentingan nasional yang agresif. 

            Keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang dikenal dengan istilah British Exit pada tahun 2016 merupakan representasi dari semakin menguatnya wacana kepentingan nasional sebagai pertimbangan dan pembenaran utama bagi tindakan sepihak suatu Negara dalam arena internasional. Salah satu penyebab terjadinya British Exit adalah masalah imigran, termasuk pengungsi yang masuk ke Eropa. Berdasarkan peraturan Uni Eropa, permasalahan yang menimpa salah satu Negara anggota Uni Eropa akan di tanggulangi oleh Negara-negara anggota lainnya, termasuk Inggris. Inggris yang sejak awal keberatan terhadap masalah pengungsi akhirnya memutuskan untuk menanggulangi sendiri dengan caranya sendiri meskipun harus keluar dari keanggotaannya di Uni Eropa melalui referendum di Kerajaan Inggris sebagai legitimasinya. British Exit didasarkan pada pertimbangan kepentingan nasional yang mengutamakan keamanan Negara dan bangsanya sendiri, disusul kemudian dengan implemetasinya didalam negeri dengan mengeluarkan kebijakan pemerintah terkait imigran. Salah satu wacana terkait kebijakam baru Inggris mengenai imigran ini adalah pembatasan jumlah dan seleksi imigran. Sudah tentu kebijakan ini akan berdampak bagi imigran maupun bagi masyarakat Inggris itu sendiri.

KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL


 Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun terjadi di wilayah atau teritorialnya. Kata kedaulatan berasal dari kata power (Inggris), Souverainette (Perancis), Sovranus (Italia) yang berasal dari kata latin superanus yang berarti “yang paling tinggi”. Secara etimologis, kata berdaulat berasal dari bahasa Arab, daulah yang berarti kekuaasaan atau pemerintahan.  Negara berdaulat dalam hukum Internasional adalah kesatuan yuridis non-fisik yang di wakili oleh suatu pemerintah terpusat yang memiliki kedaulatan atas wilayah geografis. Kedaulatan adalah hak fundamental bagi setiap Negara yang ada di dunia sebagai suatu kebutuhan terhadap penyelenggaraan sistem hukum dalam suatu wilayah agar dapat memberikan jaminan terhadap keberlangsungan hidup penduduk dalam wilayah tersebut. Sebagai salah satu subjek hukum internasional , pengakuan internasional terhadap suatu Negara didasarkan pada tepenuhi atau tidaknya syarat-syarat pembentukan Negara. 

    Hukum internasional mendefinisikan Negara-Negara yang berdaulat sebagai kesatuan yang memiliki penduduk permanen, pemerintah, wilayah yang merupakan salah satu unsur mutlak yang harus ada. Wilayah adalah satu ruang sebagai tempat bagi orang menjadi warga Negara atau penduduk untuk dapat hidup dan menjalankan aktifitasnya, dan dalam Pasal 1 Konvensi Montevidio 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban Negara menyebutkan bahwa unsur konstitutif ke -4 bagi pembentukan Negara adalah kapasitas untuk masuk kedalam hubungan dengan Negara-Negara berdaulat.

    Konsteks kedaulatan Negara adalah bahwa kedaulatan Negara adalah terbatas dan batasan ini ada karena ada kedaulatan Negara lainnya. Mencakup didalam paham kedaulatan ini adalah kemerdekaan dan persamaan derajat, artinya bahwa Negara –Negara yang berdaulat itu adalah Negara yang merdeka juga memiliki kesamaan derajat satu dengan lainnya. Hal ini menjadi jelas  bahwa paham kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat Negara tidak bertentangan dengan konsep masyarakat internasional yang di atur oleh suatu sistem hukum yakni hukum internasional. Hukum internasional mengakui bahwa Negara sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, berarti Negara itu tidak tunduk pada otoritas lain yang lebih. Kedaulatan dan kesederajatan Negara merupakan atribut yang melekat pada Negara merdeka sebagai subjek hukum internasional. Pengakuan terhadap kedaulatan Negara dan kesederajatan antar Negara juga merupakan dasar bagi personalitas Negara dalam sistem hukum internasional.

      Kedaulatan mendasari beberapa hak yang diakui oleh hukum internasionall seperti misalnya ; hak kesederajatan, yurisdiksi wilayah, hak untuk mengijinkan dan menolak nasionalitas bagi penduduk diwilayahnya, hak untuk mengijinkan dan menolak atau melarang orang untuk masuk dan keluar dari wilayahnya, dan hak untuk melakukan nasionalisasi. Kedaulatan merupakan konsep yang sangat penting dalam tertib hukum domestic maupun internasional dan merupakan titik persinggungan antara kedua sistem tertib hukum tersebut. Kedaulatan Negara merupakan salah satu norma fondasional dalam sistem hukum internasional. Konsekuensinya, konsep tentang Negara yang berdaulat sebgai kesatuan otoritas yang tidak tunduk pada pihak manapun merupakan penyangga sistem tata hukum internasional yang menjunjung  tinggi prinsip non-intervensi dan kesepakatan Negara.

   Dalam perkembangannya, kedaulatan Negara dibagi menjadi dua bagian yaitu :

- Kedaulatan Negara berdasarkan jangkauan yang terdiri dari :

  • Kedaulatan eksternal (independensi), yang dicirikan oleh adanya kedudukan yang sama (equal) bagi seluruh Negara dalam interaksi internasional dengan Negara-Negara lainnya tanpa adanya halangan, rintangan dan tekanan dari pihak manapun;
  • Kedaulatan internal (supremacy), yaitu hak atau kewenangan eksklusif suatu Negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga Negaranya, 3cara kerja lembaga Negara, hak untuk membuat undang-undang tanpa ada campur tangan atau intervensi Negara lain, mendapatkan kepatuhan dari rakyatnya dan memiliki kewenangan untuk memutus persoalan yang timbul dalam yurisdiksinya.
- Kedaulatan Negara berdasarkan konsep wilayah. 

   Adapun beberapa cara yang dapat di tempuh untuk memperoleh wilayah kedaulatan suatu Negara adalah :

  1. Penguasaan (occupation);
  2. Aneksisasi;
  3. Pertumbuhan (acrestion);
  4. Cessie;
  5. Kadaluarsa;
  6. Perang.

      Berbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan suatu Negara seperti konvensi Paris 1919 yang pada pasal 1 mengakui bahwa setiap Negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya, Konvensi Chicago 1944 yang mengatur tentang penerbangan sipil intenasional, Konvensi Montevedio 1933, Piagam PBB (UN Charter), Konvensi Havana 1928, Konvensi Jenewa 1958, Konvensi PBB 1982 (UNCLOS), dan Konvensi Wina 1961.