Secara garis besar, NATO merupakan sebuah organisasi aliansi antar Negara yang berfungsi sebagai pakta pertahanan kolektif. NATO memiliki dua tujuan utama yaitu tujuan politik dan militer. Pada spek politik, NATO mencoba untuk mempromosikan nilai demokrasi dan kepercayaan antar pemerintahan yang diyakini dapat mencegah konflik dimasa mendatang. Sementara pada aspek militer, NATO berkomitmen untuk menggunakan kapabilitas militer sebagai fungsi manajemen krisis, jika upaya penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi telah gagal. Secara historis, NATO dirancang sebagai garis pertahanan anggotanya dari segala prospek okupasi atau pembebasan dari Uni Soviet. Daya tarik dari NATO tertuang pada artikel ke-5 yang membunyikan mengenai pertahanan kolektif sebagai pilar utama organisasi. Artikel tersebut menyatakan bahwa NATO berkomitmen terhadap prinsip universal bahwa penyerangan terhadap salah satu dari anggota NATO dapat diinterpretasikan menjadi penyerangan terhadap semua anggota. Hal ini berarti bahwa jika salah satu anggota NATO dihadapkan oleh sebuah konflik atau agresi terbuka dari Negara lain, maka anggota lain secara ketentuan memikul tanggungjawab untuk membantu baik secara langsung ataupun tidak langsung guna menjaga keamanan dan kestabilan dari Negara tersebut. Oleh karena itu, prinsip pertahanan kolektif yang digadang oleh NATO tersebut merupakan motivasi utama dari Negara-negara wilayah euro-atlantik untuk mencari perlindungan dari adanya potensi ancaman kedaualatan eksternal, sekaligus ancaman bagi kepentingan Rusia.
Ancaman utama terhadap Rusia terletak pada ekspansi keanggotaan yang dilakukan oleh NATO menuju timur. Tentunya hal tersebut berkaitan dengan bagaimana Rusia memandang aliansi tersebut secara menyeluruh. Sebagai sebuah kekuatan tradisional Eropa, tentunya Rusia memiliki pandangan negatif terhadap aliansi militer NATO dan doktrin ekspansinya. Bagi Rusia, NATO merupakan relik masa lalu yang sudah seharusnya di rombak sejak berakhirnya Perang Dingin bersamaan dengan Pakta Warsawa. Terlebih lagi, Rusia meyakini bahwa inkursi NATO menuju Eropa Timur telah mengkhianati janji yang sebelumnya sudah di tetapkan oleh Amerika Serikat mengenai ekspansi keanggotaan NATO. Pernyataan tersebut secara spesifik di sebut oleh Presiden Putin pada konferensi tahunan Rusia pada tahun 2021, berkata “..mereka (NATO) berjanji untuk tidak bergerak menuju timur, namun kenyataannya Rusia telah ditipu dan secara gambling telah dikhianati”. Janji yang dimaksud oleh presiden Rusia tersebut adalah janji pada tahun 1990 yaitu Amrika Serikat berjanji untuk tidak mengekspansi keanggotaan NATO menuju Eropa Timur sebagai gantu unifikasi Jerman Barat dan Timur serta masuknya Negara tersebut kepada NATO. Dalam aspek geopolitik, Rusia melihat bahwa NATO pada kenyataannya hanyalah instrument Amerika Serikat untuk memperluas kekuasaannyademi memperkuat posisinya sebagai hegemon dunia. Ekspansi NATO menuju Negara-negara the near abroad dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh Amerika Serikat untuk menyabotase upaya Rusia untuk mempertahankan ruang lingkup yang menjadi bagian dari kekuasaannya. Pandangan tersebut menetapkan sebuah kondisi dimana Rusia tertinggal sebagai Negara pinggiran pada lanskap perpolitikan Eropa. Sehingga bagi Rusia, ekspansi keanggotaan NATO merupakan ancaman ekstensial terhadap keselamatannya pada strukturalnya sebagai sebuah kekuatan regional.
Perambahan gelombang ekspansi NATO menuju Eropa Timur tentunya bertabrakan dengan kepentingan Rusia untuk mempertahankan doktrin luar negerinya. Wilayah dan intensitas ekspansi yang semakin luas mengundang reaksi yang memperbesar adanya potensi eskalasi konflik antara Rusia dan Amerika Serikat. Titik balik relasi antara kedua Negara adidaya tersebut terlihat jelas, ketika melihat gelombang ekspansi ke tiga pada tahun 2008 yang menjanjikan keanggotaan NATO kepada Ukraina dan Georgia. Sebagai bagian dari doktrin the near abroad, masuknya Ukraina kepada aliansi militer tersebut berpotensi menciptakan krisis keamanan bagi Rusia. Intervensi bersifat politik dan ekonomi, baik secara langsung ataupun tidak sangat krusial nagi Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya di Ukraina. Intervensi tersebut juga menciptakan polarisasi tajam terhadap politik domestik Ukraina, seperti yang terlihat pada peristiwa Euromaidan, yaitu gerakan demonstrasi terhadap Presiden Yakunovych yang terjadi di Ukraina pada tahun 2013 yang muncul akibat keputusan Presiden Yakunovych untuk tidak menandatangani perjanjian antara Uni Eropa dan Ukraina demi menjaga hubungan diplomatiknya dengan Rusia dan eksistensi separatisme di wilayah Donets dan Luhanks.
Sebagai bentuk jawaban dari tawaran keanggotaan NATO kepada Ukraiana dan Georgia, Rusia memilih untuk menggunakan kapabilitas militernya dalam kapasitas preventif. Kapabilitas militer tersebut terbukti pada keputusan Rusia untuk meyerang Georgia pada tahun 2008 sebagai bentuk penolakan ekspansi NATO. Invasi tersebut menciptakan kekacauan politik yang berujung pada lepasnya wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan menjadi Negara merdeka yang diakui Rusia. Hal serupa terjadi pada Ukraina pada tahun 2013 dan 2022, Rusia secara unilateral menduduki wilayah Krimea dan menganeksasinya melalui referendum. Rusia juga memanfaatkan polarisasi politik yang tercipta dari aneksasi tersebut dengan mempersenjatai dan mengakui kemerdekaan dan gerakan separatisme di wilayah Donets dan Luhanks.
Seperti yang sudah ditekankan sebelumnya, Ukraina memainkan peran yang sangat penting untuk mendukung kelanjutan posisi Rusia sebagai hegemon Eropa Timur dan Negara adidaya dalam struktur internasional. Kombinasi dari signifikansi sejarah dan strategis menempatkan Ukraina menjadi salah satu asset dan prioritas utama Rusia untuk mempertahankan keberlangsungan dari doktrin the near abroad. Prospek masuknya Ukraina dalam keanggotaan NATO dapat menjadi ancaman langsung terhadap posisi struktural dan keselamatan Rusia serta berpotensi merusak kestabilan Eropa Timur. Dalam perspektifnya, Rusia tidak memiliki jalan lain selain mengamankan Ukraina dari ekspansi NATO menggunakan segala cara, termasuk melalui jalur militer.
Perspektif liberalisme yang cukup idealistik memandang bahwa aksi Rusia merupakan pelanggaran jelas terhadap hukum internasional dan mengancam kedamaian dunia yang sudah berjalan sejak berakhirnya Perang Dingin. Hal ini tidak terlepas dari perspektif paradigma liberalisme yang memang menjunjung tinggi kooperasi ekonomi dan internasional yang berlandas kan hukum internasional. Sedangkan dari perspektif realisme memandang bahwa aksi tersebut didasari oleh Amerika Serikat yang mencoba menggunakan NATO sebagai alat ekspansi pengaruh yang bertabrakan dengan kepentingan Rusia untuk mempertahankan ruang lingkupnya yang dimanifestasi dalam bentuk doktrin the near abroad .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar