Jumat, 06 September 2024

PENGATURAN PERTAHANAN DIRI (SELF DEFENSE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Pasal 51 Piagam PBB, berbunyi:

   “nothing in the present charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of the united nations, until the Security council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self- defense shall be immediately reported to the Security council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security council under the present charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.” 

      Tidak ada suatu ketentuan dalam piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu anggota PBB, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan internasional. Tindakan-tindakan yang diambil oleh anggota-anggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut piagam ini untuk pada setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional. Pasal 51 Piagam PBB merupakan suatu aturan tertulis mengenai self-defense. Dan pasal inilah yang menjadi dasar dalam melakukan self-defense.

   Dewan Keamanan yang berhak untuk mengambil keputusan mengenai tindakan yang boleh dilakukan oleh suatu negara untuk merespon segala bentuk ancaman serangan dari negara lain. Dalam hal ini pre- emptive strike menurut pasal 51 Piagam PBB tidak membuka celah akan praktik pre- emptive strike itu sendiri walaupun dengan alasan self-defense, segala bentuk tindakan yang dilakukan untuk self-defense perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Dewan Keamanan, dan nantinya Dewan Keamanan yang akan menentukan apakah ancaman tersebut dapat direspon dengan menggunakan kekerasan (use of force) atau tidak.

  Pasal 51 menjamin hak untuk menggunakan kekuatan dalam pertahanan diri jika terjadi serangan bersenjata hingga Dewan Keamanan PBB mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Dari satu sudut pandang hak ini terbatas pada situasi dimana serangan bersenjata nyata telah di mulai. Namun pandangan bahwa Negara memiliki hak untuk bertindak dalam pertahanan diri untuk mencegah ancaman serangan yang akan datang atau sering di sebut sebagai Pre-emptive self defence umum di terima meskipun tidak secara universal. Pada praktiknya, tidak realistis menganggap bahwa pertahanan diri harus selalu menunggu serangan yang sebenarnya. Perbedaan antara dua pandangan ini, pada pandangan pertama berpendapat bahwa serangan telah dimulai ketika persiapan aktif berada pada tahap lanjut yaitu jika ada niat dan kemampuan yang diperlukan. Selanjutnya, pandangan yang menolak pre-emptive self defence menerima bahwa serangan yang telah selesai sudah cukup untuk merespons mengantisipasi serangan lain. Persyaratan yang diuraikan dalam kasus Caroline harus dipenuhi terkait dengan serangan ancaman. Serangan ancaman harus mendesak dan syarat ini menjadi pengecualian klaim untuk menggunakan kekuatan untuk mencegah ancaman muncul. Kekuatan hanya boleh di gunakan dalam pertahanan diri ketika diperlukan dan kekuatan yang digunakan harus proporsional. 

  • Kekuatan Hanya Dapat Digunakan Dalam Pertahanan Diri Sehubungan Dengan Serangan Bersenjata Baik Yang Sedang Terjadi Atau Yang Akan Datang

   Serangan bersenjata dapat mencakup bukan hanya serangan terhadap wilayah suatu Negara tetapi juga terhadap bagian-bagian Negara seperti kedutaan dan angkatan bersenjata. Kekuatan pertahanan diri hanya dapat di gunakan ketika serangan melibatkan ancaman atau penggunaan kekuatan, ketika penyerang memiliki niat dan kemampuan untuk menyerang dan serangan diarahkan dari luar wilayah yang dikendalikan oleh Negara tersebut. Pada kasus ancaman serangan, harus ada ancaman nyata terhadap serangan terhadap Negara yang sedang membela diri. Hak self defence yang melekat dalam Pasal 51 Piagam PBB bahwa jika terjadi serangan bersenjata membentuk pengecualian terhadap larangan umum terhadap penggunaan kekuatan dalam Pasal 2 ayat 4. Dalam konteks Pasal 51, serangan bersenjata tidak hanya mencakup serangan terhadap wilayah Negara termasuk udara dan laut wilayahnya tetapi juga serangan terhadap bagian-bagian Negara, seperti pasukan bersenjata atau kedutaan luar negeri. Serangan bersenjata dapat juga mencakup dalam serangan terhadap warga Negara dan pesawat sipil. Oleh karena itu, serangan bersenjata adalah intervensi yang disengaja terhadap Negara lain tanpa persetujuan atau dengan persetujuan dari Negara tersebut yang tidak dibenarkan secara hukum. 

  • Serangan bersenjata melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata dan bukan hanya kerusakan ekonomi semata. 

   Kerusakan ekonomi, misalnya melalui suspense perdagangan atau penggunaan virus komputer yang dirancang untuk melumpuhkan operasi keuangan bursa saham suatu Negara atau untuk menonaktifkan teknologi yang digunakan untuk mengendalikan sumber daya air yang dapat memiliki dampak yang menghancurkan kepada Negara korban, akan tetapi prinsip-prinsip yang mengatur hak untuk menggunakan kekuatan dalam perta hanan diri terbatas pada serangan militer. Namun, serangan ekonomi murni mungkin memicu hak self defence jika hal tersebut menjadi pendahulu serangan bersenjata yang akan datang. Serangan bersenjata mengharuskan penyerang memiliki niat untuk menyerang. Dalam kasus Platform Minyak, ICJ merujuk pada persyaratan ketika menyelidiki apakah Amerika Serikat dapat membuktikan bahwa tindakan Iran secara khusus ditujukan pada Amerika Serikat atau bahwa Iran memiliki niat khusus untuk merugikan kapal Amerika Serikat. Namun, sejauh ini dianggap bahwa serangan militer terhadap suatu Negara atau kapalnya tidak memicu hak self defence selama serangan tersebut tidak ditujukan secara khusus pada Negara atau kapal tertentu tetapi dilakukan secara sembarangan, bagian ini dari putusan ICJ dalam Kasus Platform Minyak dikritik karena tidak didukung oleh hukum internasional.

  • Serangan bersenjata adalah serangan yang diarahkan dari luar wilayah yang dikendalikan oleh Negara. 

   Dalam Opini Hukumnya tentang Konsekuensi Hukum Pembangunan Tembok Teritorial Palestina yang di duduki, observasi ICJ dapat dianggap mencerminkan poin yang jelas bahwa kecuali sasaran diarahkan dari luar wilayah yang dikendalikan oleh Negara yang membela diri, pertanyaan tentang pertahanan diri dalam Pasal 51 tidak biasanya muncul. Pada kasus ancama serangan harus ada ancaman nyata serangan terhadap Negara yang membela diri, baik yang ditujukan kepada Negara tersebut atau melalui serangan sembarangan. Ini adalah aspek dari kriteria kebutuhan yang menanggapi pertanyaan apakah diperlukan bagi Negara sasaran untuk mengambil tindakan. 

  • Kekerasan Dapat Digunakan Untuk Membela Diri Hanya Jika Hal Ini Diperlukan Untuk Mengakhiri Serangan Atau Untuk Mencegah Serangan Yang Akan Terjadi.

    Tidak terdapat alternatif praktis lain selain usulan penggunaan kekuatan yang mungkin efektif dalam mengakhiri atau mencegah serangan. Kriteria keharusan merupakan hal mendasar dalam hukum pertahanan diri. Self defence hanya dapat digunakan bila diperlukan untuk mengakhiri atau mencegah serangan. Oleh karena itu, semua cara mencegah serangan tersebut pasti sudah habis atau tidak tersedia. 

  • Suatu Negara Dapat Menggunakan Kekuatan Untuk Membela Diri Terhadap Ancaman Serangan Hanya Jika Serangan Terjadi Dalam Waktu Dekat

   Terdapat risiko penyalahgunaan doktrin pre-emptive self defence, dan doktrin ini perlu diterapkan dengan itikad baik dan berdasarkan bukti yang kuat. Namun kriteria segera harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mempertimbangkan jenis ancaman yang ada saat ini dan harus diterapkan dengan mempertimbangkan keadaan khusus dari setiap kasus. Kriteria segera erat kaitannya akan kebutuhan. Kekerasan hanya dapat digunakan jika penundaan lebih lanjut akan mengakibatkan Negara yang terancam tidak mampu secara efektif mempertahankan diri atau menghindari serangan terhadap Negara penyerang. Dalam menilai seberapa besar serangan akan terjadi, referensi dapat dibuat berdasarkan tingkat keparahan serangan, kemampuan penyerang, dan sifat ancaman, misalnya jika serangan kemungkinan besar terjadi tanpa peringatan. Pemaksaan hanya dapat digunakan atas dasar faktual yang tepat dan setelah dilakukan penilaian dengan itikad baik terhadap fakta-fakta tersebut. 

   Konsep imminence mencerminkan rumusan Caroline tentang segera, mendesak, tidak menyisakan pilihan cara, dan tidak ada waktu untuk musyawarah. Dalam konteks ancaman yang terjadi saat ini, ancaman yang akan segera terjadi tidak dapat ditafsirkan hanya dengan mengacu pada kriteria sementara saja, namun harus mencerminkan kondisi ancaman yang lebih luas dan harus ada keadaan darurat yang tidak dapat diubah. Apakah serangan akan segera terjadi tergantung pada sifat ancaman dan kemungkinan untuk menanganinya secara efektif pada tahap tertentu. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan meliputi: tingkat keparahan ancaman serangan, apakah yang diancam adalah penggunaan senjata pemusnah massal (WMD) yang bersifat bencana; kemampuan – misalnya, apakah Negara atau organisasi teroris terkait memiliki senjata pemusnah massal, atau hanya memiliki material atau komponen yang akan digunakan dalam pembuatannya; dan sifat serangan termasuk kemungkinan risiko dalam melakukan penilaian bahaya yang salah. Faktor-faktor lain mungkin juga relevan, seperti situasi geografis Negara yang menjadi korban, dan catatan serangan di masa lalu yang dilakukan oleh Negara yang bersangkutan. Kriteria imminence mensyaratkan bahwa penundaan lebih lanjut dalam melawan serangan yang dimaksudkan akan mengakibatkan ketidakmampuan Negara yang bertahan secara efektif untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut. 

   Sejauh doktrin pencegahan mencakup hak untuk menanggapi ancaman yang belum terjadi namun mungkin akan terwujud suatu saat nanti, maka doktrin pre-emptive self defence tidak memiliki dasar dalam hukum internasional. Sebuah kelemahan fatal dalam doktrin ini adalah bahwa secara definisi mengecualikan segala kemungkinan penilaian keabsahan ex post facto karena fakta bahwa doktrin tersebut bertujuan untuk menangani terlebih dahulu ancaman-ancaman yang belum terjadi. Tindakan tegas untuk menghentikan aksi teroris yang sedang dipersiapkan di negara lain, tergantung pada situasinya, mungkin sah akan tetapi tidak dibenarkan untuk menyerang seseorang yang mungkin di masa depan akan mempertimbangkan aktivitas tersebut. Meskipun kepemilikan senjata pemusnah massal tanpa adanya niat bermusuhan untuk melancarkan serangan tidak dengan sendirinya menimbulkan hak untuk membela diri, kesulitan dalam menentukan niat dan konsekuensi bencana dari melakukan kesalahan akan menjadi faktor yang relevan dalam menentukan seberapa dekat senjata tersebut akan dibuat oleh negara lain. 

   Penentuan waktu dekat adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh negara terkait, namun harus dilakukan dengan itikad baik dan atas dasar yang mampu melakukan penilaian obyektif. Sejauh hal ini dapat dicapai secara masuk akal, bukti-bukti tersebut harus dapat dibuktikan secara publik. Beberapa jenis bukti tidak didapatkan dengan jelas, baik karena sifat atau sumbernya, atau karena bukti tersebut merupakan produk interpretasi dari banyak informasi kecil. Namun bukti merupakan hal mendasar bagi akuntabilitas, dan akuntabilitas terhadap supremasi hukum. Semakin luas jangkauannya, dan semakin tidak dapat diubahnya tindakan-tindakan eksternalnya, maka semakin besar pula suatu negara harus menerima, baik secara internal maupun eksternal, beban untuk menunjukkan bahwa tindakan-tindakannya dapat dibenarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan harus ada prosedur internal yang tepat untuk penilaian intelijen dan pengamanan prosedural yang tepat. 

  • Penggunaan hak membela diri harus memenuhi kriteria proporsionalitas.

   Kekuatan yang digunakan, secara keseluruhan, tidak boleh berlebihan sehubungan dengan kebutuhan untuk mencegah atau mengakhiri serangan. Konsekuensi fisik dan ekonomi dari kekerasan yang digunakan tidak boleh berlebihan jika dibandingkan dengan kerugian yang diperkirakan akibat serangan tersebut. ICJ telah mengkonfirmasi bahwa sudah merupakan aturan hukum kebiasaan internasional yang menyatakan bahwa penggunaan kekuatan untuk self defence harus proporsional dengan serangan bersenjata yang diperlukan untuk merespons serangan tersebut. Hal ini mensyaratkan bahwa tingkat kekuatan yang digunakan tidak lebih besar dari yang diperlukan untuk mengakhiri serangan atau menghilangkan ancaman. Persyaratan proporsionalitas juga dikatakan berarti bahwa konsekuensi fisik dan ekonomi dari kekuatan yang digunakan tidak boleh berlebihan dibandingkan dengan kerugian yang diperkirakan akibat serangan tersebut. Namun karena hak untuk membela diri tidak memperbolehkan penggunaan kekuatan untuk menghukum penyerang, maka proporsionalitas tidak boleh dianggap merujuk pada keseimbangan antara respons dan kerugian yang telah diderita akibat serangan, karena hal ini dapat mengubah konsep diri menjadi lebih baik. – pembelaan menjadi pembenaran untuk tindakan pembalasan, atau membatasi penggunaan kekerasan hingga kurang dari yang diperlukan untuk menangkis serangan. Kekuatan yang digunakan harus memperhitungkan operasi pertahanan diri secara keseluruhan. Hal ini tidak berhubungan dengan insiden penargetan tertentu (yang merupakan masalah hukum humaniter internasional). Oleh karena itu, dalam Kasus Oil Platforms, ICJ menyatakan bahwa dalam menilai proporsionalitas, ICJ tidak bisa menutup mata terhadap skala keseluruhan operasinya. 

  • Pasal 51 tidak terbatas pada pertahanan diri dalam menanggapi serangan Negara. Hak untuk membela diri juga berlaku terhadap serangan yang dilakukan oleh aktor non-negara.

  1. Dalam kasus seperti ini, serangan harus berskala besar.
  2. Jika hak membela diri dalam kasus seperti ini akan dilaksanakan di wilayah Negara lain, maka harus jelas bahwa Negara tersebut tidak mampu atau tidak mau berurusan dengan aktor-aktor non-negara itu sendiri, dan perlu menggunakan hak untuk membela diri. Kekuatan dari luar untuk menghadapi ancaman dalam keadaan dimana persetujuan Negara teritorial tidak dapat diperoleh.
  3. Kekerasan untuk membela diri yang ditujukan terhadap pemerintah Negara tempat penyerang ditemukan hanya dapat dibenarkan sejauh hal tersebut diperlukan untuk mencegah atau mengakhiri serangan.

   Tidak ada alasan untuk membatasi hak suatu Negara untuk melindungi dirinya dari serangan Negara lain. Hak membela diri adalah hak untuk menggunakan kekuatan untuk menghindari serangan. Sumber serangan, baik Negara maupun aktor non-negara. Praktik Negara dalam bidang ini, termasuk praktik Dewan Keamanan baru-baru ini, tidak mendukung pembatasan tindakan self defence terhadap serangan bersenjata yang dapat dilakukan oleh suatu Negara.

   Tindakan melawan Al Qaeda di Afghanistan pada bulan Oktober 2001 adalah tindakan pre-emptive self defence serangan teroris yang akan segera terjadi dari Al Qaeda, bukan dari Taliban. Penting untuk menyerang elemen-elemen tertentu dari Taliban, untuk mencegah serangan dari Al Qaeda. Resolusi Dewan Keamanan 1368(2001) dan 1373 (2001) mendukung pandangan bahwa pertahanan diri tersedia untuk mencegah serangan teroris skala besar seperti yang terjadi di New York dan Washington pada 11 September 2001. 

   Demikian pula seruan NATO dan Dewan Keamanan PBB. Hak negara untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang terus terjadi, bahkan oleh kelompok swasta atau aktor non-negara, pada umumnya tidak dipertanyakan. Yang dipertanyakan adalah hak untuk mengambil tindakan terhadap Negara yang diduga menjadi sumber serangan tersebut, karena harus diakui bahwa serangan terhadap aktor non-negara dalam suatu Negara pasti merupakan penggunaan kekerasan terhadap Negara teritorial. Mungkin saja suatu Negara tidak bertanggung jawab atas tindakan teroris, namun Negara tersebut bertanggung jawab atas kegagalan dalam mengambil langkah-langkah yang wajar untuk mencegah penggunaan wilayahnya sebagai basis serangan terhadap Negara lain. Oleh karena itu, jika suatu Negara tidak mampu atau tidak mau mengambil kendali atas organisasi teroris yang berlokasi di wilayahnya, maka Negara yang menjadi korban serangan teroris tersebut, sebagai upaya terakhir, akan diizinkan untuk bertindak untuk membela diri terhadap organisasi teroris tersebut.

   Kriteria yang sama mengenai penggunaan kekuatan untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh Negara juga akan digunakan dalam kasus serangan yang dilakukan oleh aktor non-negara, namun terdapat pertimbangan-pertimbangan tertentu yang relevan. Serangan yang akan dilakukan oleh aktor non-negara harus berskala besar agar tindakan membela diri perlu dilakukan, pertama-tama harus jelas bahwa tindakan penegakan hukum saja tidak cukup. Organisasi teroris tidak mudah dibasmi oleh angkatan bersenjata asing. Oleh karena itu, meskipun serangan tidak sedang berlangsung namun akan segera terjadi, Negara teritorial harus menindak kelompok penyerang yang berada di wilayahnya. 

  • Prinsip-prinsip mengenai hak membela diri hanya merupakan bagian dari peraturan internasional tentang penggunaan kekuatan.

  1. Tindakan-tindakan yang diambil dalam rangka melaksanakan hak membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan. Dewan mempunyai hak dan tanggung jawab untuk mengizinkan tindakan militer kolektif untuk menghadapi ancaman nyata atau laten.
  2. Setiap tindakan militer harus sesuai dengan aturan hukum humaniter internasional yang mengatur perilaku permusuhan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar