Hukum kebiasaan internasional membolehkan tindakan pre-emptive self defence melawan serangan ancaman yang jelas dan nyata dalam waktu dekat dengan mengadopsi dari kriteria insiden Caroline. Sekretaris Negara Amerika Serikat dengan Inggris terkait insiden Caroline ini focus pada 3 prinsip yakni :
- Immediacy
Prinsip immediacy mengacu pada keadaan yang segera terjadi dan tidak adanya jalan lain yang dapat dilakukan selain melakukan pre-emptive self defence.
- Necessity
Prinsip necessity memberikan pengecualian kepada Negara yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional, atau dengan kata lain necessity merupakan suatu norma yang telah menjadi hukum kebiasaan sebagai pengecualian atas suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Prinsip necessity ini hanya dapat diminta oleh suatu Negara sebagai pengecualian bertindak bertentangan dengan kewajiban internasional hanya apabila tindakan tersebut merupakan keadaan darurat untuk mencegah suatu ancaman yang tiba-tiba dapat terjadi dan tindakan tersebut tidak berdampak terhadap kepentingan Negara lain, dengan melihat :
- Sifat dan besarnya ancaman, dalam hal ini diadakan penilaian terhadap besarnya ancaman yang ada dengan mempertimbangkan perlunya menggunakan kekuatan melawan ancaman tertentu, apakah bentuk ancaman memang harus di hadapi dengan self defence atau tidak.
- Kemungkinan bahwa ancaman tersebut akan terwujud, kecuali apabila tindakan pre-emptive di gunakan. Cukup sulit untuk menentukan bahkan setelah ada fakta apakah ancaman tersebut benar-benar ada dan kapan ancaman tersebut terealisasikan. Dalam hal ini, Negara yang berpotensi menjadi korban harus mempertimbangkan keuntungan apabila melakukan tindakan prre-emptive untuk mengantisipasi serangan dan kredibilitas bahwa ancaman tersebut akan terealisasikan. Apabila ancaman tersebut memiliki potensi besar akan terjadi, maka Negara yang berpotensi menjadi korban berhak melakukan haknya untuk self defence.
- Kesiapan dalam menggunakan kekuatan. Negara sebelum melakukan tindakan self defence, perlu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan terkait kebutuhan dalam melakukan tindakan tersebut. Untuk meminimalisir segala kerugian dan kerusakan yang kemungkinan besar akan terjadi apabila Negara melakukan tindakan self defence, ada baiknya Negara menjadikaan tindakan ini sebagai pilihan terkahir. Misalnya dalam perang melawan terrorisme, sebelum menggunakan hak self defence-nya, Negara memiliki alternatif lain sebagai upaya untuk meminimalisir ancaman, seperti membekukan yayasan atau saluran dana kelompok teroris tersebut, atau dengan mengajak semua komunitas agar melakukan tekanan dengan cara damai. Apabila semua telah dilakukan dan ancaman masih ada, tindakan pre-emptive self defence diperbolehkan. Bagaimanapun, merupakan hak seseorang untuk melakukan pertahanan diri sebelum orang lain melakukan tindakan yang membahayakan dirinya.
- Prinsip Proporsionality. Hal yang paling sulit adalah menilai proporsionalitas suatu tindakan pencegahan karena tidak adanya serangan yang dapat diperbandingkan. Tindakan pencegahan di lakukan untuk mencegah terjadinya ancaman serangan di masa akan datang. Permasalahannya, sangat sulit untuk menentukan apakah ancaman serangan tersebut sebanding dengan serangan Negara yang akan melakukan tindakan pre-emptive self defence ?. Oleh karena itu, prinsip ini memiliki resiko yang sangat besar untuk disalahgunakan. Dalam kasus Nicaragua, pengadilan menyatakan bahwa penggunaan kekuatan untuk membela diri harus memenuhi prinsip proporsionalitas. Setiap Negara yang berusaha untuk membenarkan tindakannya dalam menggunakan kekuatan sebagai tindakan pertahanan diri akan berdalih bahwa serangan yang ada tidak sebanding dengan jumlah kekuatan mereka. Proporsionalitas tingkat kekuatan dan periode waktu yang digunakan, yang berarti tindakan pre-emptive hanya terbatas pada upaya menghilangkan ancaman. Apabila prinsip ini terbentuk setelah insiden Caroline, maka dapat diinpretasikan bahwa proporsionalitas dalam self defence di benarkan karena kebutuhan dan di batasi oleh kebutuhan yang jelas. Seperti yang di jelaskan sebelumnya, prinsip proporsionalitas merupakan prinsip yang sulit untuk dinilai dan tidak terdapat aturan yang jelas tentang bagaimana cara untuk menilainya. Namun, satu hal yang perlu di ketahui bahwa penilaian pakah penggunaan self defence sebanding atau tidak bergantung pada kondisi dan fakta-fakta tiap peristiwa.
Beberapa Negara mendukung tindakan pre-emptive self defence. Inggris dan Amerika Serikat merupakan pendukung utama tindakan tersebut. Mereka mempertahankan bahwa hak untuk membela diri dapat dilakukan ketika serangan bersenjata belum terjadi. Pengakuan terhadap tindakan ini juga berdasarkan pengalaman sejarah. Salah satu kasus pre-emptive self defence yaitu kebijakan pre-emptive self defence Bush terhadap Afganistan yang menuai banyak kritik karena dianggap melanggar hukum internasional khususnya Pasal 51 Piagam PBB. Namun, apabila diinterpretasikan secara luas dan disesuaikan dengan isu kontemporer saat ini, makan tindakan pre-emptive self defence dapat dibenarkan dan tidak menyalahi ketentuan pasal 51 Piagam PBB. Selain itu dalam hukum kebiasaan internasional, apabila memenuhi prinsip necessity dan proporsionality makan Negara di perbolehkan melakukan pre-emptive self defence.
Serangan terror 11 September 2001 ke WTC menjadi alasan dan legitimasi yang tepat bagi Bush Jr. untuk melakukan invasi militer ke pihak-pihak yang dicurigainya berperan di balik terror tersebut. Afganistan adalah Negara pertama yang menjadi sasaran invasi militer Amerika Serikat di bawah Bush Jr. Pasukan Amerika Serikat memulai serangannya itu pada hari minggu, 7 Oktober 2001 dengan menjatuhkan lima rudal jelajah di Kabul. Bush Jr. mengumumkan bahwa Amerika Serikat dan Inggris telah memulai serangan instalasi militer Taliban yaitu gerakan Islam yang berkuasa di Afganistan pada tahun 1996-2001, dank amp-kamp militant jaringan Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden yakni orang yang diduga menjadi dalang terror 11 September 2001.
Amerika serikat menyatakan kepada Dewan keamanan PBB bahwa amerika terkait penyerangannya terhadap Afganistan tengah mengaplikasikamn hak yang melekat pada individu maupun kelompok dalam usaha untuk melakukan pembelaan diri. Penyataan ini mengundang berbagai macam respon dari kalangan akademisi terkait legalitasnya. Sebagian dari mereka kontra akan tindakan pre-emptive self defence Amerika karena menganggap serangan terhadap gedung WTC bukanlah serangan bersenjata sebagaimana diatur dalam Piagam PBB Pasal 51 yang memperbolehkan tindakan self defence apabila telah terjadi serangan bersenjata. Selain itu, pelaku penyerangan bukanlah Negara melainkan teroris, bukan pula organ atau agen dari Afganistan dan Afganistan tidak memberikan kontribusi terhadap kegiatan terorisme tersebut. Sebagian lain pro terhadap tindakan pre-emptive self defence Amerika karena menganggap serangan ke gedung WTC masuk dalam lingkup “if armed attact accurs” sehingga legal apabila Negara yang menjadi korban melakukan tindakan pre-emptive self defence sebagai upaya menghilangkan atau meminimalisir ancaman.
Tindakan ini juga berlaku bagi Negara yang didalamnya terdapat kelompok teroris atau Negara yang tidak mampu mengontrol kegiatan terorisme tersebut. Sebagaimana pernyataan Bush dalam doktrinnya yang tertuang dalam satu strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat “United States will make no distinction between individual terrorist and states who harbor them, and that security of the United States as best maintained through the spread of democracy in the Middle east. Hal yang menarik terkait perdebatan legalitas penyerangan ke Afganistan adalah bahwa sebagian besar Negara tidak secara terbuka menetang atau bahkan mengutuk tindakan pre-emptive self defence yang dilakukan Amerika terhadap Afganistan. Terdapat beberapa alasan yakni insiden 11 September bukan hanya tragedi bagi Amerika Serikat melainkan bagi masyarakat Internasional. Oleh karena itu, menggunakan kekuatan militer menyeranf Afganistan dalam hal ini Al-Qaeda merupakan tindakan yang benar. Selain itu, sebagian besar Negara tidak mengenal Al-Qaeda yang berada di Talibann, Afganistan dan bahkan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka, karena tindakan pelanggaran hak asasi manusia dan wanita serta penghancuran warisan budaya, banyak Negara yang tidak menyukai mereka. Apabila tindakan pre-emptive self defence ini bertujuan menyerang Negara yang berdaulat dan bukan Al-Qaeda, reaksi masyarakat tentu berbeda. Alasan lainnya adalah Amerika Serikat merupakan Negara yang diserang pertama kali sehingga keberpihakan akan cenderung kepada Amerika. Terakhir, terkait dengan status Amerika serikat sebagai satu-satunya Negara super power dan pernyataan “if you are not with us, you are against us” sehingga tidak satupun Negara yang mau menerima resiko apabila secara terbuka tidak mendukung Amerika. Namun, tidak adanya protes menentang penyerangan tersebut tidak memberikan satu kesimpulan bahwa tindakan pre-emptive self defence sah dalam hukum internasional yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar