Sejarah Rusia sebagai sebuah Negara modern dimulai pembentukan Kekaisaran Rusia yang merupakan prekursor dari Negara Rusia modern saat ini. Terdapat keterikatan yang kuat antara sejarah Rusia yang ekspansionistik, dengan identitas kenegaraan yang terbentuk dari kenyataan geografis dan pengaruh struktur internasional. Kebijakan ekspansionis Rusia di dorong oleh posisi strategisnya, yakni Rusia bertindak sebagai penghubung antar benua besar dunia yaitu Eropa dan Asia. Kondisi tersebut memunculkan sebuah gambaran bahwa Rusia merupakan sebuah peradaban unik dan mandiri yang tidak bisa secara serta merta diasosiakan kepada kultur timur ataupun barat. Sebagai pilar identitasnya, Kekaisaran Rusia menempatkan pengejaran kekuatan sebagai misi sakral untuk memanipulasi dan mendominasi ruang geopolitik Negara lain. Hal tersebut dilakukan demi memproyeksikan dirinya sebagai sebuah Negara yang berada pada puncak struktur internasional.
Ekspansi Kekaisaran Rusia terhadap berbagai wilayah di Eropa dan Asia mendirikan sebuah ruang geopolitik yang menjadi eksistensi dari kepentingan nasional Rusia dalam ranah internasional. Eksistensi dari ruang lingkup tersebut menjadi alasan utama terjadinya Perang Dingin yang berakhir pada disintegrasinya Uni Soviet pada tahun 1991. Menariknya, identitas tersebut merupakan sumber animositas yang terjadi antara Rusia dengan dunia internasional khususnya dunia Barat. Sebagai sebuah peradaban dengan sentiment nasionalisme yang tinggi, rivalitas antara Rusia dengan dunia Barat merupakan hal yang tak terelakkan. Bangsa Rusia mengimajinasikan diri mereka terlibat dalam sebuah pertarungan peradaban, dimana mereka secara konstan dihantui oleh ancaman terhadap identitas serta kedaulatan mereka. Persepektif tersebut menegaskan Rusia sebagai arketipe dari sebuah Negara realis yang mencoba memperluas kekuatan atau pengaruh pada lingkungan internasional. Hal tersebut menyebabkan Rusia berupaya untuk menggunakan kekuatannya untuk berlomba menuju posisi teratas dalam struktur internasional demi bertahan hidup. Identitas tersebut lantas menjadi pilar utama dan mendominasi nilai filosofis dari para pembuat kebijakan Rusia pasca komunisme.
Dengan demikian, kebijakan luar negeri Rusia sangatlah dipengaruhi oleh perspektif politik dari Rezim yang sedang berkuasa. Relasi diplomatic antara Rusia dengan aktor internasional lain merupakan produk dari interaksi unit politik yang berada di dalam badan pembuat kebijakannya. Pernyataan tersebut tentunya sejalan dengan asumsi realism struktural terkait dengan korelasi antara kebijakan luar negeri dengan kondisi politik domestic suatu Negara. Pasca kejatuhan Uni Soviet, Federasi Rusia tidak mengambil arah geopolitik menuju kooperasi dan integrasi dengan Eropa seperti halnya Ukraina. Pada pertengahan tahun 1993, Rusia secara perlahan meninggalkan gestur rekonsiliasi dengan dunia Barat dan semakin asertif serta nasionalistik mengenai kebijakan luar negerinya. Hal tersebut dikarenakan kondisi politik internal Rusia yang masih memperdebatkan mengenai basis fundamental dari kebijakan luar negeri Rusia yang umumnya terbagi menjadi tiga kelompok kepentingan yaitu Liberalis, Imperialis, dan derzhava.
Kubu Liberalis menyakini bahwa Rusia sebagai sebuah Negara dalam struktur internasional harus mengikuti asas liberalisme dan prinsip-prinsip yang dilandasi oleh kesepakatan bersama dengan actor internasional lainnya. Kubu Liberalis mempunyai pandangan bahwa lanskap geopolitik Eropa Timur pasca kejatuhan Uni Soviet merupakan lanskap yang harus dipimpin oleh paham liberalisme dan didasarkan pada konsensus bersama sesuai dengan hukum internasional yang relevan. Tentunya dalam relasinya dengan dunia internasional, kubu liberalis menginginkan Rusia untuk mengadopsi model politik-ekonomi layaknya dunia Barat. Kubu liberalis meyakini bahwa ambiguitas yang terjadi pasca kejatuhan Uni Soviet merupakan momen yang tepat untuk mereparasi relasi antara Rusia dengan dunia Barat. Menurut kubu Liberalis, Rusia harus mengadopsi kembali format-format westernisasi guna mereformasi identitas Rusia yang selama ini dikenal sebagai sebuah Negara yang imperialistik. Tujuannya adalah mengintegrasikan Rusia kepada sistem ekonomi politik dunia Barat dan menutup permusuhan yang diwariskan oleh identitas historis Rusia sebagai sebuah Negara adidaya. Hal tersebut dianggap esensial demi mewujudkan sebuah Rusia baru dengan sistem demokrasi yang berfungsi serta perekonomian yang makmur.
Kubu imperialis dan derzhava pada dasarnya memiliki kemiripan retorika antar satu sama lain. Perbedaan diantara keduanya, terletak pada intensitas dari kecurigaan yang mereka miliki terhadap demokrasi liberal dan dunia Barat. Kubu imperalis meyakini bahwa kebiajakan luar negeri berprinsip liberalisme dan kooperasi akan mereduksi tatus Rusia sebagai Negara adidaya. Kubu inperialis berkiblat pada konsep Eurasinisme, yaitu sebuah perspektif intelektual politik internasional yang memandang bahwa Rusia telah ditempatkan secara alamiah pada posisi yang unik, yaitu tepat pada jantung dunia diantara benua Eropa dan Asia. Perspektif tersebut menetapkan bahwa Rusia bukanlah merupakan sebuah nation-state melainkan sebuah peradaban yang ditakdirkan untuk menguasai kedua benua tersebut sebagai sebuah hegemon yang didasari oleh pengalaman historis dan kesadaran nasional bahwa Rusia merupakan peradaban mandiri serta ditakdirkan untuk menjadi imperium yang berkuasa diatas wilayah Eropa dan Asia. Mereka membayangkan sebuah fantasi untuk menghidupkan kembali Kekaisaran Rusia dan berargumen bahwa Rusia harus berekspansi secara fisik ke wilayah yang dianggap sebagai bagian dari kepentingan Nasionalnya. Bagi kubu imperialis, orientasi kebijakan luar negeri Rusia harus di dasari pada keyakinan bahwa Rusia merupakan Negara yang memiliki takdir sebagai hegemon dunia sehingga Rusia tidak memiliki jalan lain selain dengan berkonfrontasi dengan dunia Barat agar terjaminnya keselamatan institusi, identitas serta tradisi historis Rusia sebagai sebuah Negara adidaya.
Sementara itu, kubu derzhava cenderung memiliki pandangan yang realistis terhadap kebijakan luar negeri Rusia. Kubu derzhava meyakini bahwa Rusia saat ini tidak bisa mewujudkan visi yang Eurasianisme yang digadang oleh kubu imperialis. Oleh karena itu, kubu tersebut berpendapat bahwa jalan logis yang harus di tempuh saat ini adalah untuk merekontruksi ulang identitas Rusia sebagai kekuatan besar di Eropa Timur. Penentangan langsung terhadap hegemoni dari Amerika Serikat akibat berakibat fatal bagi keberlangsungan Rusia modern. Sementara penggunaan liberalisme sebagai prinsip interaksi internasional akan menjatuhkan harga diri Rusia sebagai kekuatan historis dan membuat identitas unik Rusia rentan terhadap pengaruh dari Amerika Serikat. Pada esensinya, visi pragmatis kubu derzhava bertujuan untuk mempertahankan keselamatan Rusia, tidak hanya atas kultur dan tradisi historisnya melainkan juga atas identitasnya sebagai sebuah peradaban mandiri. Bagi kelompok derzhava pandangan tersebut sangatlah ideal dan relevan dengan kondisi kontemporer Rusia, dibandingkan dengan pengimplementasian ideology mewah dan idealis yang seringkali terlihat hipokritikal. Menjelang mundurnya Presiden Yeltsin pada akhir tahun 1999, perspektif kubu derzhava telah mendominasi proses penyusunan kebijakan luar negeri Rusia dan menjadi suara universal yang memandu Rusia terkait dengan interaksinya dengan komunitas internasional. Dilapisi oleh pola pemikiran kelompok derzhava, Rusia berupaya untuk membangun kembali kekuasaan geopolitiknya melalui metode yang cenderung pragmatis. Rusia menyadari bahwa kapabilitas ekonomi dan militernya tidak dapat secara langsung menentang kondisi unipolaritas yang telah diciptakan oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, Rusia memilih untuk berfokus pada objek spesifik yang dianggap memiliki signifikasi tinggi terhadap kepentingan luar Negerinya. Manifestasi dari pandangan tersebut adalah sebuah doktrin luar negeri yang disebut sebagai blizhneye zarubezhye atau the near abroad.
The near abroad merupakan doktrin luar negeri yang menetapkan adanya sebuah lingkup pengaruh terhadap objek yang dianggap sebagai kepentingan nasional Rusia. Objek penting tersebut merupakan 14 Negara yang sebelumnya tergabung kedalam federasi Uni Soviet yang meliputi Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Georgia, Armenia, Azerbaijan, Estonia, Latvia, Lithuania, Moldovia, Belarus, dan tentunya Ukrania. Seperti halnya Monroe doctrine yang dimiliki oleh Amerika Serikat, doktrin luar negeri the near abroad merupakan sebuah bentuk afirmasi bahwa keamanan kepentingan nasional dan internasional Rusia bergantung pada kestabilan dari Negara-negara yang dianggap sebagai bagian dari doktrin tersebut. Segala turbulensi politik yang dialami oleh Negara-negara tersebut dapat dengan seketika berubah menjadi permasalahan serius yang mengancam keselamatan Rusia. Doktrin the near abroad merupakan bukti konkrit dari upaya Rusia untuk mempertahankan akumulasi kekuatan geostrategisnya melalui jalur imperialism. Doktrin tersebut secara terbuka mengasersikan pandangan bahwa kemerdekaan dari Negara-negara the near abroad merupakan sesuatu yang abnormal dan bersifat sementara. Signifikasi doktrin ini meningkat ketika Rusia mencoba untuk mempertahankan ruang lingkupnya dari apa yang dianggapnya sebagai ancaman eksistensial yang bersumber dari NATO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar