Jumat, 06 September 2024

KEDUDUKAN SERANGAN PENDAHULUAN (PRE EMPTIVE STRIKE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL


   Serangan pendahuluan adalah usaha militer, diplomatik dan strategis yang di tujukan kepada musuh yang diperkirakan akan tumbuh begitu kuat sehingga jika di tunda akan menyebabkan kekalahan. Serangan pendahuluan adalah operasi militer atau serangkaian operasi untuk mencegah kemampuan musuh menyerang anda. Jepang melancarkan serangan pendahuluan terhadap Rusia pada tahun 1904-1905 untuk menghentikan Rusia membangun kekuatan mereka di Timur Jauh, khususnya melalui jalur kereta api melalui Manchuria yang diduduki Rusia. Jepang melancarkan perang dengan serangan pendahuluan, serangan mendadak pada pangkalan angkatan laut Rusia di Port Arthur. Serangan itu melemahkan armada Rusia tetapi tidak menghancurkannya. Pada akhirnya Jepang berhasil di laut tetapi terpaksa menerima jalan buntu di darat. Pecahnya revolusi di Rusia memaksa Rusia ke meja perundingan dan memberikan kemenangan kepada Jepang, tetapi meskipun jepang telah melukai Rusia dengan parah, Jepang tidak memenangkan perang di medan perang. Singkatnya serangan pendahuluan hanya berhasil dalam kondisi tertentu. Jika penyerang melakukan operasi yang brillian, memiliki keunggulan militer yang luar biasa, mampu memobolisasi dukungan politik terutama di dalam Negeri juga di luar Negeri, dan bersedia membayar mahal dan menanggung beban yang panjang jika perang berlarut-larut, maka langkah serangan pendahuluan dapat dilakukan. Negara-negara yang tidak memiliki kekuatan tersebut akan melakukan yang terbaik untuk menghindari upaya yang beresiko tersebut. 

   Contoh lain Negara yang melakukan serangan pendahuluan adalah Israel. Dalam melakukan serangan pendahuluannya dengan tujuan untuk merespon ancaman yang ada seperti pada kejadian Perang Enam Hari pada tahun 1967 antara Israel melawan tiga Negara Arab yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, Israel medapatkan informasi intelijen rahasia Mossad yang bernama Eli Cohen yang memberikan informasi bahwa Mesir telah merencanakan penyerangan terhadap Israel dengan di bantu oleh Suriah dan Yordania. Israel pada waktu itu melakukan tindakan serangan pendahuluan dengan tujuan untuk merespon ancaman tersebut, karena telah mendapat bukti intel dari agen rahasianya sendiri. Ada juga tindakan Israel yang melakukan serangan pendahuluan walaupun tidak adanya suatu ancaman, seperti pada kasus The Osiraq Strike pada tahun 1981. Israel pada waktu itu melakukan serangan pendahuluan dengan menggunakan delapan pesawat F-16A fighter-bombers dan enam F-15A fighters untuk menghancurkan reactor nuklir yang dimiliki Irak pada 6 Juni 1981. Tindakan Israel yang melakukan serangan pendahuluan dengan tujuan untuk merespon ancaman yang nyata dikecam oleh Dewan Keamanan PBB dikarenakan tidak terbukti bahwa Irak telah membuat senjata nuklir yang ditujukan untuk menyerang Israel. 

   Serangan Pendahuluan atau lebih dikenal dengan pre-emptive strike saat ini masih belum memiliki kejelasan mengenai kedudukannya dalam hukum internasional kontemporer. Dahulu sebelum dibentuknya Piagam PBB (The United Nations Charter 1945) tindakan ini masih dianggap wajar di mata dunia dan bagi hukum kebiasaan internasional (International Customary Law), asalkan tindakan tersebut memiliki alasan dan bukti bahwa negara mereka sedang terancam dan akan diserang oleh negara lain atau imminent threat (ancaman nyata). Serangan pendahuluan merupakan tindakan untuk merespon baik terdapat suatu ancaman atau tidak terdapatnya suatu ancaman dengan menggunakan kekuatan militer yang dilakukan tanpa adanya pernyataan mengenai serangan yang akan dilakukan. Serangan pendahuluan berbeda dengan pertahanan diri seperti yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB, pertahanan diri merupakan suatu tindakan untuk melindungi diri dari serangan yang telah terjadi pada wilayah suatu Negara. Sedangkan serangan pendahuluan dapat dilakukan walaupun tidak bertujuan untuk melindungi diri sendiri. Jika dalam kontek peperangan, serangan pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk memulainya suatu perang. Tindakan serangan pendahuluan memiliki dampak yaitu salah satunya terjadi pergeseran makna prinsip self-defence dalam pasal 51 Piagam PBB. Meskipun Pasal 51 Piagam PBB sering terjadi multitafsir mengenai self-defence, tetapi pada dasarnya serangan pendahuluan dan pertahanan diri tidak dapat disamakan secara substantif.  

   Ketika Piagam PBB dibentuk, tindakan pre-emptive strike (serangan pendahuluan) ini masih saja dilakukan, dengan menggunakan alasan self defense (melindungi diri). Pre-emptive strike belum memiliki aturan yang mengatur mengenai tindakan ini. Dalam pasal 51 Piagam PBB hanya mengatur mengenai self-defense, dan tidak diatur mengenai pre-emptive strike. Pre-emptive strike pada dasarnya berbeda dengan self-defense. Tetapi banyak negara yang melakukan tindakan pre-emptive strike dengan mengkaitkan prinsip self-defense. Self-defense merupakan hak untuk membela diri dari serangan yang terjadi diwilayah suatu negara. Self-defense merupakan pengecualian mengenai larangan penggunaan kekerasan (non use of force) dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, karena mengingat sifat alami manusia yaitu membela diri saat mereka sedang mengalami serangan atau ancaman yang ditujukan kepada mereka. 

   Hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan aturan yang mengatur mengenai perang. Dalam hukum humaniter dikenal salah satu doktrin yaitu doktrin pernyataan perang (declaration war). Dalam doktrin pernyataan perang (declaration war), keabsahan mengenai suatu perang juga ditentukan dalam doktrin ini. Teori pernyataan perang untuk pertama kali dikemukakan oleh ahli hukum Romawi Kuno, Cicero. Menurut Cicero, “the use of force was justifiable only when the war was declared by an appropriate governmental authority acting within specific limits.” 

   Dalam “De Officiis”, Cicero menuliskan bahwa “no war is just, unless it is entered upon after an official demand for satisfaction has been submitted or warning has been given and a formal declaration made”. Agar suatu perang dianggap benar, maka harus ada suatu pernyataan formal dari perang tersebut. Teori pernyataan perang ini mendapat pengakuan yang luas dan dipraktekkan para pihak dalam setiap konflik bersenjata atau perang.9 Grotius yang dikenal sebagai bapak hukum internasional (The Father of The International Law) mengatakan bahwa tindakan pernyataan perang yang mendahului dilakukannya perang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Cicero, adalah sangat penting. Sedangkan Menurut Grotius, untuk melakukan suatu perang yang benar, maka suatu perang tidak hanya dilaksanakan oleh otoritas berdaulat pada kedua belah pihak, tetapi juga harus sepatutnya dan secara formal dideklarasikan (duly and formally declared). Tujuan dari dilakukannya pernyataan perang yaitu agar suatu Negara dapat mempersiapkan diri untuk mengahadapi perang dan agar suatu Negara juga dapat mengevakuasi penduduk sipil di tempat yang aman dan terhindar dari peperangan, inilah mengapa pernyataan perang penting untuk dilakukan sebelum dilakukan perang. 

   Jika Pre-emptive self defence dikaitkan dengan konteks perang menurut hukum humaniter internasional dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional. Karena pre-emptive self defence merupakan tindakan untuk menyerang terlebih dahulu terhadap suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer (use of military force), tanpa adanya ultimatum dan tanpa diketahui oleh negara yang akan diserang. Pre-emptive strike menurut perspektif hukum humaniter internasional tidak sesuai dengan doktrin yang ada dalam hukum humaniter internasional yaitu doktrin pernyataan perang (declaration war). Karena dalam hukum humaniter mengharuskan setiap negara untuk menyatakan perang atau melakukan ultimatum terlebih dahulu sebelum melakukan perang. Perang yang dilakukan tanpa adanya pernyataan perang (declaration war) merupakan suatu tindakan yang illegal, seperti yang dikatakan Cicero dalam merumuskan batasan-batasan dalam menjalankan perang yaitu suatu negara harus menyatakan perang kepada suatu negara terlebih dahulu, agar negara tersebut dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi perang.

   Pada kasus Perang Teluk antara Irak melawan pasukan koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada tahun 1920, Irak pada masa pemerintahan Saddam Husein melakukan penyerangan terhadap Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990. Tindakan yang dilakukan Irak dengan melewati perbatasan Kuwait dan menyerang tanpa adanya ultimatum terlebih dahulu merupakan tindakan serangan pendahuluan. Penyebab utama Irak melakukan serangan pendahuluan terhadap Kuwait dikarenakan Kuwait menuntut untuk pembayaran pinjaman yang diberikan kepada Irak. Serangan pendahuluan yang dilakukan Irak terhadap Kuwait membuat dampak pada hukum humaniter yaitu terjadi pelanggaran atas hukum humaniter internasional, Irak dalam melakukan serangan pendahuluan tidak melakukan ultimatum terlebih dahulu kepada Kuwait, sedangkan menurut hukum humaniter doktrin pernyataan perang telah menjadi jus ad bellum seperti yang dirumuskan oleh Grotius sebagai batasan-batasan atas legitimasi bangsa untuk menjalankan perang. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang yang mengatur tentang bagaimana suatu Negara dapat dibenarkan dalam menggunakan kekerasan bersenjata. 

   Selain itu, tindakan serangan pendahuluan juga dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuatan militer seperti yang dilakukan Irak terhadap Kuwait. Penyalahgunaan kekuatan militer merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh tindakan serangan pendahuluan dan menjadi dampak yang buruk dalam hubungan internasional dan dampak ini dapat mengancam keamanan dan kedamaian dunia. Saddam Husein sebagai Presiden Irak pada waktu perang teluk 1991 telah melakukan penyalahgunaan kekuatan militer dengan melakukan serangan pendahuluan untuk menyerang Kuwait yang mengakibatkan perang teluk antara Irak melawan pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat. Hal seperti inilah yang dikhawatirkan dapat menyebabkan konflik yang besar dalam dunia jika serangan pendahuluan dibiarkan untuk dilakukan karena tindakan ini dapat disalahgunakan oleh Negara-negara yang tidak bertanggungjawab. 

   Kasus lainnya mengenai tindakan serangan pendahuluan yaitu ketika terjadinya Perang Dunia II. Pada tanggal 1 September 1939, pasukan Jerman melakukan serangan pendahuluan dengan melancarkan Blitzkrieg atau serangan kilat terhadap Polandia. Serangan ini menandai dibukanya Perang Dunia II diwilayah Eropa. Sedangkan pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang melakukan serangan pendahuluan kepada Amerika Serikat dengan melakukan penyerangan di Pearl Harbour, di Oahu, salah satu kepulauan Hawaii ditengah samudera pasifik, di sebelah barat daya daratan Amerika Serikat. Serangan pendahuluan yang dilakukan oleh Jerman dan Jepang menyebabkan terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1939-1945. 

   Dampak lain yang diakibatkan oleh serangan pendahuluan yaitu terjadi pelanggaran atas prinsip non intervensi. Prinsip ini juga terkait dalam teori kedaulatan Negara yang pertama kali dirumuskan oleh Jean Bodin dalam bukunya “Res Republica” yang menganggap bahwa kedaulatan Negara merupakan kekuasaan mutlak dan abadi dari Negara yang tidak terbatas dan tidak dapat di bagi-bagi. Menurut Bodin, kedaulatan Negara untuk mengatur dan mengurus wilayah dan hubungan antara individu dalam wilayahnya. Dalam kedaulatan Negara, setiap Negara memiliki hak untuk bebas memilih dan mengembangkan sistem politik, sosial, ekonomi, dan budayanya sendiri. Selain dari hak Negara untuk menikmati kedaulatan Negara, terdapat juga kewajiban Negara dalam hal kedaulatan suatu Negara yaitu setiap Negara harus menghormati Negara lain yang mempunyai integritas atas keutuhan wilayahnya yaitu merupakan penjabaran mengenai prinsip non intervensi yang merupakan salah satu kewajiban yang dijelaskan oleh teori kedaulatan Negara ini. 

   Serangan pendahuluan melanggar prinsip non intervensi ini karena serangan pendahuluan itu sendiri tidak menghormati suatu Negara yang memiliki integritas atas keutuhan wilayah suatu Negara. Dalam Deklarasi Larangan Intervensi dalam Urusan Domestik Negara-negara tahun 1965 menegaskan bahwa Negara tidak berhak mengintervensi secara langsung atau tidak langsung dengan alasan apapun dalam urusan internal atau eksternal Negara lain. Maka, intervensi bersenjata dan segala bentuk intervensi lainnya atau upaya ancaman terhadap kepribadian Negara atau terhadap unsur-unsur politik, ekonomi, dan budayanya, di kutuk.  

   Dampak lainnya yang ditimbulkan oleh tindakan serangan pendahuluan yaitu tindakan tersebut melanggar Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang berbunyi “Semua anggota PBB harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari penggunaan ancaman atau kekerasan terhadap integritas territorial dan kemerdekaan politik setiap Negara atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB”. Dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB mengatur mengenai larangan penggunaan kekerasan (non use of force). Dalam pasal ini tidak membenarkan segala bentuk tindakan penggunaan kekerasan selain dari self-defense. Tindakan serangan pendahuluan dilarang untuk dilakukan menurut Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB karena melanggar larangan penggunaan kekerasan yang mana sudah menjadi asas hukum internasional. Dalam Deklarasi Asas-Asas Hukum Internasional 1974 Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB mengenai larangan penggunaan kekuatan telah di analisis dan diperinci dengan sistematis sebagai berikut : 

  1. Perang agresi merupakan kejahatan melawan kedamaian yang harus dipertanggungjawabkan di bawah hukum internasional.
  2. Negara tidak boleh mengancam menggunakan paksaan untuk melanggar garis perbatasan internasional yang sudah ada (termasuk demarkasi atau garis gencatan senjata) atau untuk menyelesaikan sengketa internasional.
  3. Negara-negara berkewajiban menghindari perbuatan reprisal yang melibatkan penggunaan paksaan.
  4. Negara-negara tidak boleh menggunakan paksaan untuk merampas hak kemerdekaan bangsa lain.
  5. Negara-negara wajib menghindari mengorganisasi, meghasut, membantu, atau berpartisipasi dalam aksi perselisihan sipil atau aksi teroris di Negara lain dan tidak boleh mendorong pembentukan gerombolan bersenjata untuk menyerbu teritori Negara lain.

   Pengecualian mengenai pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yaitu Reprisal dan self defence. Dalam piagam PBB tindakan use of force yang dilakukan terhadap Negara lain dilarang tetapi diizinkan dan dikecualikan terhadap self defence asalkan tindakan self defence diketahui oleh Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar