Self-defence merupakan istilah hukum internasional yang berlaku sejak lama sebagai bagian dari kebiasaan internasional. Self-defence adalah hak inherent yang dimiliki oleh setiap Negara. Keabsahan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hak self defence terdiri dari legalitas dalam teori dan praktek. Secara teori ada dua ketentuan yang mendasari keberlakuan self defence, pertama adalah hukum kebiasaan internasional, dan kedua adalah Pasal 51 Piagam PBB.
- Hukum kebiasaan internasional
Hukum kebiasaan internasional adalah bentuk hukum yang berasal dari praktek Negara-negara dan apa yang dikenal dengan ”Opinion Juris”. Self Defence pada hakikatnya dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional berawal dari penembakan kapal Caroline pada awal abad ke 19, tepatnya pada tahun 1837. Konsep hukum kebiasaan yang diadopsi pada peristiwa kapal Caroline secara tidak langsung membentuk prinsip-prinsip yang kini tertanam kuat sebagai landasan yang digunakan dalam beberapa kasus sengketa internasional dan menjadi hukum kebiasaan internasional dalam hal self defence khususnya anticipatory self defence. Anticipatory atau disebut juga Pre-emptive Self Defence adalah pembelaan diri yang sifatnya antisipasif, artinya pembelaan diri yang mendahului serangan musuh.
Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah memenuhi unsur necessity, proportionality dan imminency. Necessity dirtikan sebagai kebutuhan terdesak dan dalam keadaan terpaksa, dan proportionality dimaknai sebagai serangan yang harus diterapkan secara proporsional atau sepadan dengan ancaman yang diterimanya. Bentuk ancaman ini harus memenuhi kriteria imminent yang artinya ancaman tersebut sudah berada dekat sekali di depan mata sehingga Negara dibenarkan untuk mempertahankan eksistensi kedaulatannya.
- Pasal 51 Piagam PBB
Dalam pasal 51 Piagam PBB dinyatakan bahwa suatu Negara boleh membela diri. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa Piagam PBB memberikan hak kepada Negara untuk menggunakan kekuatan militer dalam rangka mempertahankan diri jika terjadi serangan bersenjata yang mengancam kedaulatan dan kesatuan politik Negara. Dalam pasal 51 Piagam PBB terdapat beberapa ketentuan yang diatur dalam rangka upaya self defence yaitu; digunakannya frasa “if an armed attack occurs…” yang mana diartikan bahwa sebuah serangan bersenjata harus ada terlebih dahulu agar dapat digunakan sebuah kekerasan dalam rangka upaya self defence. Kemudian adanya kalimat “measures taken by members in the exercise of this rihnt of self-defence shall be immediately reported to the Security Council…” dimaknai bahwa tindakan yang diambil Negara-negara dalam pelaksanaan hak membela diri harus segera dilaporkan pada dewan keamanan PBB sebagai organ yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.
Pasal 51 mengatur hak self defence dengan dua pembatasan yakni setelah terjadinya serangan bersenjata dan setelah Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan terlebih dahulu untuk memulihkan keadaan. Meskipun self defence diakui secara jelas oleh PBB bukan berarti self defence tidak menimbulkan masalah dalam prakteknya. Contohnya Praktek Doktrin Pre-Emptive yang merupakan kebijakan pre-emptive self defence Amerika Serikat akibat peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Penyerangan terhadap WTC memunculkan gerakan “war against terrorism” yang di deklarasikan oleh Presiden George. W. Bush yang akhirnya menimbulkan paradigma keamanan baru yakni pre-emptive self defence yang di kembangkan secara luas. Pre-emptive self defence eksis dalam hukum kebiasaan internasional dimana insiden kapal Caroline sebagai acuan dalam menentukan legalitasnya.
Serangan terror menjadi alasan legitimasi untuk melakukan invasi militer kepada pihak-pihak yang dicurigai berada di balik terror tersebut. Tindakan tersebut tidak menyalahi ketentuan pasal 51 Piagam PBB dikarenakan Amerika Serikat mempunyai “inherent right” atau hak yang melekat untuk membela diri dan kemudian penyerangan terhadap gedung WTC merupakan serangan yang termasuk istilah “if an armed attack occurse”. Setelah itu, hak membela diri dapat dilakukan setelah Dewan Kemanan PBB mengambil tindakan apabila waktu yang diperlukan Dewan Kemanan PBB dalam megadopsi langkah-langkah yang diperlukan terkait ancaman tersebut cukup lama sehingga memungkinkan terjadi serangan susulan seblum Dewan Keamanan mengambil tindakan, maka pre-emptive self defence dapat dilakukan.
Kemudian praktik self defence dalam era modern berkaitan dengan legalitas “ancaman segera” berdasarkan laporan intelijen dan bahkan ancaman perang proxy. Perang proxy atau proxy war merupakan suatu peperangan yang tidak sepenuhnya berada dalam kaidah hukum perang Den Haag 1949. Kendatipun dari segi hukum humaniter, Antony Plaff memandang hukum perang proxy merupakan wujud peperangan era modern dengan teknologi digital. Sebagai acuan, Jeremy Wright mempertimbangkan standar yang berbeda tentang ancaman yang bersifat segera di masa modern ini, diantaranya :
- Sifat dan kesegeraan ancaman kemungkinan serangan;
- Apakah serangan yang diantisipasi merupakan bagian dari pola bersama dari aktivitas bersenjata yang berkelanjutan;
- Skala kemungkinan serangan dan cedera, kerugian atau kerusakan yang mungkin terjadi jika tidak ada tindakan mitigasi;
- Kemungkinan akan ada peluang lain untuk melakukan tindakan efektif dalam membela diri yang diperkirakan akan meyebabkan cedera, kerugian atau kerusakan tambahan yang tidak terlalu serius
Setiap penggunaan kekuatan bersenjata dalam membela diri selalu menimbulkan pertanyaan seberapa pasti serangan akan datang dan seberapa cepat serangan itu akan terjadi. Disini Jeremy menekankan pentingnya para diplomat, analisis militer dan badan intelijen dalam menganalisis dan memverifikasi kesegeraan ancaman dengan menggunakan indikator hukum yang jelas. Informasi dari badan intelijen suatu Negara bisa dijadikan dasar untuk melakukan self defence apabila terbukti keakuratannya di sertai bukti-bukti dan berhak dilaporkan pada Dewan Keamanan PBB untuk membuktikan bahwa memang Negaranya sedang mengalami Imminent Threat.
Ada dua bentuk penggunaan kekuatan bersenjata dalam self defence yaitu :
- Individual Self Defence yang tercantum dalam Pasal 51 memiliki makna yang lebih luas dari hak perseorangan, yaitu lebih kepada hak individu Negara atau lebih tepatnya penggunaan kekuatan bersenjata secara unilateral yang mana dalam melakukannya diputuskan sepihak.
- Collective Self Defence tercetus oleh delegasi dari Amerika Serikat dalam Konferensi San Francisco pada tahun 1945 yang mengatakan bahwa “if more than one state acts that is to be interpreted as collectively”. Dimana dalam contoh kasus agresi terhadap satu Negara bagian merupakan agresi terhadap semua Negara bagian dan mereka semua menggunakan hak pembelaan yang sah dengan memberikan dukungan kepada Negara yang diserang. Berbeda dengan pembelaan individu yang sepihak. Colective Self Defence harus dilakukan melalui resolusi Dewan Keamanan PBB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar