Rusia pada tahun 1997 menandatangani sebuah perjanjian bersama dengan Ukraina yang di beri nama Perjanjian Persahabatan, Kerjasama dan Kemitraan. Isi dari perjanjian ini menyebutkan bahwa Rusia mengakui bahwa Ukraina merupakan sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat sehingga perbatasannya tidak dapat di ganggu gugat. Selain itu, melalui Budapest Memorandum yang dibentuk pada tahun 1994, Rusia secara eksplisit mengakui persahabatan Ukraina dan menganggap Ukraina sebagai Negara yang berdaulat. Kedaulatan menjadi penting bagi sebuah Negara karena berkaitan dengan wilayah yang dimiliki oleh suatu Negara dan berdampak pula pada wewenang suatu Negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya. Kedaulatan mengandung dua aspek, yaitu aspek internal untuk mengatur segala hal yang ada dalam batas wilayah Negara dan aspek eksternal untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional lainnya serta mengatur segala sesuatu yang berada atau terjadi diluar wilayah namun berkaitan dengan kepentingan Negara tersebut. Kedaulatan yang merupakan kekuasaan tertinggi ini masih mempunyai batasan tertentu yang melekat menurut hukum internasional, yaitu suatu Negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusif keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah Negara lain. Batasan kedaulatan yang kedua adalah Negara yang memiliki kedaulatan territorial wajib menghormati kadaulatan Negara lain sebagaimana diungkapkan oleh Mahkamah Internasional dalam the Corfu Channel Case 1949.
Di dalam hukum internasional, peristiwa aneksasi yang dilakukan di Semenanjung Krimean oleh Rusia merupakan sebuah pelanggaran terhadap kedaulatan Ukraina. Kewajiban untuk menghormati kedaulatan Negara lain menjadi dasar prinsip hukum internasional dan menjadi tanggungjawab Negara seperti yang tercantum di dalam Declaration on Rights and Duties of States 1949. Pasal 13 Declaration on Rights and Duties 1949 menekankan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Klausa ini merujuk pada pelanggaran Rusia yang gagal melaksanakan Perjanjian Persahabatan, Kerjasama dan Kemitraan. Problematika selanjutnya muncul pada kedua belah Negara memandang perjanjian ini dalam kacamata yang berbeda. Ukraina memandang perjanjian ini sebagai pengembalian kedua wilayah Luhanks dan Donets untuk memuluhkan kekuatan Ukraina sementara Rusia memandang perjanjian ini untuk memberikan status istimewa kepada wilayah Luhanks dan Donets yang sebelum akhirnya diberikan kepada Ukraina. Perjanjian ini juga berisi larangan bagi kedua belah pihak untuk saling menyerang dan melakukan gencatan senjata. Namun Rusia melanggar kesepakatan tersebut dengan melakukan sebuah tindakan bernama Demiliterisasi dengan menghadirkan armada militer sebanyak 130.000 diperbatasan Rusia dan Ukraina. Rusia yang menginginkan Ukraina untuk tetap mempertahankan status netralnya dan tidak bergabung dengan NATO. Tak hanya itu, Rusia juga mulai melakukan penyerangan terhadap Ukraina dengan meledakkan Kyiv, Kharkiv, dan Mariupol pada 24 Februari 2022. Presiden Valdimir Putin menegaskan aksi yang dilakukan oleh Rusia merupakan bentuk pertahanan dari kemungkinan penyerangan oleh NATO dan Amerika Serikat.
Sebagaimana disebutkan dalam pembatasan kedaulatan, seharusnya Rusia menghormati kedaulatan Ukraina dengan membiarkan Ukraina dalam mengurus urusan internal dan mengadakan hubungan eksternal dengan Negara atau pihak ketiga lain. Hubungan yang terjalin diantara Rusia dan Ukraina sebagai Negara berdaulat tentu saja harus menghormati kemerdekaannya masing-masing dan persamaan derajat antar Negara. Rusia dan Ukraina sebagai Negara berdaulat memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Tindakan intervensi oleh Rusia bahkan munculnya Orange Revolution dan Revolusi Euromadian telah melanggar beberapa kewajiban yang seharusnya dipenuhi oleh Rusia terhadap Ukraina. Sebagaimana diketahui dengan melakukan penyerangan terhadap Ukraina dengan meledakkan Kyiv, Kharkiv dan Mariupol pada 24 februari melanggar kewajiban untukk tidak melakukan kegiatan intervensi terhadap masalah yang terjadi di Negara Ukraina dan tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata.
Hubungan yang dilakukan Negara-negara juga tidak bisa lepas dari prinsip umum hukum internasional. Prinsip hukum umum merupakan salah salah satu sumber hukum internasional berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sebagai sumber hukum formalyang berdiri sendiri di samping perjanjian internasional dan kebiasaan. Prinsip hukum umum internasional tersebut digunakan oleh PBB. Mengingat Rusia dan Ukraina merupakan Negara yang tergabung dalam keanggotaan PBB, sehingga kedua Negara tersebut wajib untuk menegakkan seluruh prinsip-prinsip umum hukum internasional dalam PBB.
Berkaitan dengan kasus serangan militer ini, Rusia belum mampu untuk melaksanakan prinsip umum hukum internasional khususnya Pasal 2 ayat (4) yang menilai bahwa penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sebuah Negara merupakan sebuah pelanggaran. Rusia telah gagal menjabarkan tujuan dari pembentukan PBB yakni memelihara perdamaian dan keamanan internasional dengan melakukan serangan militer terhadap wilayah Ukraina. Tindakan Rusia tidak sejalan dengan kewajibannya sebagai Negara anggota PBB. Sementara konsep perdamaian dan keamanan internasional menurut PBB sendiri merupakan sebuah dunia untuk menghindari atau mencegah munculnya konflik atau pertikaian antar Negara yang menimbulkan pecahnya perang dunia. Demi menjaga perdamaian dunia, PBB telah membentuk sebuah badan yang bertugas untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional yaitu Dewan Keamanan PBB.
Sebagai bagian dari anggota PBB, Rusia memiliki larangan untuk melakukan intervensi dalam urusan politik Negara lain sebagaimana diatur dalam prinsip non-intervensi dalam Pasal 2 ayat (7). Prinsip ini diusung dengan tujuan untuk menghormati kedaulatan yang dimiliki oleh tiap Negara yang berstatus sebagai anggota PBB sekaligus menjadi kewajiban mendasar bagi Negara anggota untuk mencegah pecahnya perang antar Negara. Rusia dan Ukraina yang merupakan Negara dengan kedaulatan masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah dengan menghormati kedaulatan Negara lain. Dengan adanya kedaulatan, suatu Negara harus mampu melaksanakan kekuasaan yang penuh atau eksklusif diwilayahnya. Perolehan wilayah Ukraina dilakukan secara damai dan sah dengan adanya perjanjian Persahabatan, Kerjasama, dan Kemitraan yang kemudian melahirkan hubungan bilateral antara Rusia dan Ukraina dalam bidang sosial, militer, ekonomi, dan politik. Larangan untuk mengintervensi ini lebih dikenal dalam Resolusi Mejlis Umum PBB No. 2131 Tahun 1965 yang menyebutkan bahwa intervensi yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung dengan alasan apapun tidak diperbolehkan, serta Resolusi Majelis Umum PBB No. 2625 Tahun 1970 dalam pasal 1 juga menyebutkan bahwa setiap Negara memiliki kewajiban untuk tidak menggunakan ancaman atau tindakan kekerasan. Tindakan yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina juga termasuk sebagai tindakan agresi melalui tindakan intervensi.
Salah satu kasus yang mempertegas mengenai non intervensi adalah diantara Nikaragua dan Amerika Serikat. Kasus ini bermula karena adanya masalah pemerintahan dalam negeri yang terjadi di Republik Nikaragua, kemudian Amerika Serikat terlibat secara aktif dalam permasalahan internal tersebut dengan melakukan tindakan penghentian bantuan ekonomi ke Nikaragua dengan alasan bahwa tindakan Nikaragua telah melawan El-Savador yang saat itu memiliki hubungan diplomatis dengan Amerika. Selain itu, Amerika Serikat juga melakukan tindakan militer dengan melakukan penanaman ranjau di laut wilayah dan laut pedalaman Nikaragua, pengrusakan beberapa fasilitas sipil dan fasilitas militer Nikaragua, serta turut serta membantu pasukan Contras, yaitu para gerilyawan yang ingin menggulingkan pemerintahan Sandinista yang berkuasa di masa itu. Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Amerika Serikat telah melanggar prinsip umum hukum internasional, yaitu prinsip non-intervensi serta prinsip non-use of force and self defence. Prinsip non intervensi di langgar oleh Amerika Serikat dengan mendukung gerilyawan atau pemberontak dalam pemberontakan warga Nikaragua melawan pemerintah Nikaragua dan pertambangan di pelabuhan Nikaragua. Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat berupa intervensi yang dilakukan dengan turut ikut campur atas permasalahan internal di Nikaragua. Sementara, prinsip non use of force yang dilanggar dilakukan saat Amerika Serikat melakukan perusakan terhadap fasilitas sipil dan militer Nikaragua.
Selanjutnya, peristiwa serangan militer Rusia di Ukraina pada tahun 2022, apabila melihat kasus Nikaragua, peristiwa ini juga mencerminkan pelanggaran pada prinsip non intervensi dan non use of force. Alasan Rusia melakukan intervensi pada wilayah Donets dan Luhanks di Ukraina adalah untuk menghancurkan mekanisme militer dan de-nazifikasi di Ukraina, juga untuk memastikan tidak ada neo-nazi yang mempromosikan agenda melawan Rusia. Tindakan yang dilakukan Rusia menunjukkan bahwa menggunakan senjata militer dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang bukan m,enjadi urusan Rusia. Namun Rusia menyatakan dalam suratnya pada tanggal 24 Februari 2022 kepada Dewan Keamanan PBB bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan self defence sebagaimana di atur dalam pasal 51 Piagam PBB. Rusia mengklaim bahwa intervensi yang dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan eksistensi Negaranya dari ancaman Ukraina dalam bergabung dengan NATO. Hal ini juga berkaitan dengan posisi Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia yang apabilah Ukraina bergabung dengan NATO, maka tidak ada lagi pembatas antara Rusia dengan NATO.
Pengecualian terhadap prinsip non intervensi diperbolehkan dengan alasan hak pembelaan diri atau sel defence. Namun, Klaim Rusia melakukan self defence berdasarkan pasal 51 Piagam PBB tidak dapat dibenarkan karena klaim ini dapat disebut sebagai tindakan pre-emptive strike. Adapun apabila Rusia mengklaim bahwa yang dilakukannya merupakan tindakan pre-emptive self defence, tidak ada alasan dan bukti kuat atas izin untuk mengintervensi dan tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa Rusia berhak untuk mengintervensi Ukraina berdasarkan perjanjian antara Rusia dan Ukraina. Terakhir, tidak ada hukum kebiasaan internasional yang dilanggar oleh Ukraina yang menyebabkan Rusia berhak untuk mengintervensi meskipun dengan klaim pre-emptive self defence.