Selasa, 16 Juni 2020

UPAYA PENANGGULANGAN DAN PERADILAN PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS



Salah satu upaya lainnya dalam meningkatkan penanggulangan dan peradilan pembajakan di Laut Lepas, sekaligus mengadili para pelakunya adalah merubah atau merevisi ketentuan hukum internasional yang saat ini berlaku. Beberapa sarjana berpendapat bahwa hukum internasional yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dengan situasi yang terjadi di Laut Lepas. Beberapa cara perubahan hukum internasional tersebut antara lain adalah :
1.  Memperluas Yurisdiksi Internasional Tribunal for the law of the Sea (ITLOS) dengan Protokol Tambahan.
Mengadopsi sebuah protokol tambahan pada Internasional Tribunal for the law of the Sea (ITLOS) yang secara khusus menangani masalah pembajakan di laut lepas dengan cara memperluas yurisdiksi mahkamah terhadap akses individu untuk berpekara. Yurisdiksi yang diperluas juga sebaiknya mencakup masalah apabila para pembajak yang tertangkap dari perairan territorial dari negara pantai, namun pemerintah pusat negara pantai tersebut tidak berfungsi atau tidak ada. Tribunal for the law of the Sea (ITLOS) sebaiknya digunakan untuk mengadili para pembajak dan menghukumnya, sehingga mengurangi beban dari negara-negara yang menangani masalah ini. Untuk menangani masalah ini, yurisdiksi Tribunal for the law of the Sea (ITLOS) harus di revisi sehingga memberikan kewenangan terhadap sengketa pembajakan di Laut Lepas.
2. Menambah Protokol tambahan dalam UNCLOS 1982 mengenai mekanisme untuk mengadili para tersangka pembajak.
Membuat protokol atau perjanjian yang melengkapi terhadap perjanjian yang sudah ada, seperti UNCLOS 1982. Masalah yang timbul dalam membuat protokol daripada membuat perjanjian adalah protokol pada umumnya mengamandemen atau menambah pengaturan dari perjanjian induk. Lingkup dari protokol juga dibatasi dari ketentuan dari perjanjian induk. Ditambah lagi, berdasarkan hukum internasional, peserta perjanjian induk tidak wajib terikat dalam protokol. Masalah terakhir adalah protokol mengenai pembajakan di Laut Lepas mengindikasikan bahwa masalah ini masih belum cukup serius untuk dibentuk suatu perjanjian. Pengaturan pembajakan di Laut Lepas dalam sebuah perjanjian internasional merupakan langkah serius dari negara-negara dalam menanggapi masalah ini. Perjanjian internasional akan bersifat komprehensif, menutupi celah-celah hukum, mengisi kekosongan hukum dan mendorong harmonisasi antara hukum internasional mengenai pembajakan di Laut Lepas. Secara khusus perjanjian harus berisi dua ketentuan penting yang merupakan surat reformasi hukum, yaitu hukum substantif (definisi hukum dari pembajakan di Laut Lepas) dan mekanisme hukum untuk menangani pembajakan di Laut Lepas.[1]
3.    Amandemen UNCLOS 1982
Agar penangkalan terhadap pembajakan di laut lepas dapat dilakukan lebih efektif, definisi pembajakan di Laut Lepas harus diperluas dimana mencakup pula kekerasan yang dilakukan di luar territorial. Definisi ini akan dapat membuat negara melakukan pengejaran seketika terhadap pembajakan ke wilayah perairan negara ketiga tersebut dengan memberitahukan pengejaran terhadap negara pantai. Amandemen dapat pula dilakukan melalui dua cara yaitu pertama setelah 10 tahun masa berlakunya konvensi ini, negara peserta dapat berkomunikasi secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal PBB yang mengusulkan amandemen secara khusus mengenai konvensi ini. Cara kedua adalah amandemen melalui cara sederhama, dimana suatu negara dapat mengajukan komunikasi tertulis kepada Sekretaris Jenderal PBB yang mengusulkan amandemen terhadap konvensi ini agar dapat diadopsi melalui prosedur yang lebih sederhana tanpa melalui sebuah konferensi. Sekretaris Jenderal PBB kemudian akan mensirkulasikan komunikasi ini kepada negara-negara peserta.[2]
Perlu dipahami bahwa keamanan Laut Lepas bukan hanya penegakan hukum di Laut Lepas, lebih tegasnya lagi keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di Laut Lepas. Keamanan laut lepas mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan oleh pengguna, dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan Laut Lepas, yaitu :
1. Laut Lepas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan, dan aksi teror bersenjata.
2.  Laut Lepas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi, sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.
3.  Laut Lepas dari ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya laut, berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut, eksploitasi yang berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukkan bahwa konflik pengelolaan sumber daya laut memiliki kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan penggelaran kekuatan militer.
4. Laut lepas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum internasional yang berlaku di perairan, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain. [3]



[1] James Kraska, Contemporary, Maritime Piracy-International law, Strategi and Diplomacy at Sea Bangladesh, Santa Barbara, Clio Spanyol, 2011. Hlm 175-176
[2] Josep. M. Isanga, Somalia Piracy : Juridiction Issues Enforcement Problems and Potential Solutions Geogetown Journal of Internation law, Vol 4,2010 Hlm 135

PENANGGULANGAN PEROMPAKAN DI LAUT LEPAS DALAM YURISDIKSI UNIVERSAL



Berdasarkan Universality Principle, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk pengadili pelanggaran. Dua kategori yang jelas termasuk dalam lingkup yurisdiksi universal yang telah didefinisikan sebagai kompetensi negara untuk menuntut yang diduga pelaku dan menghukum mereka jika terbukti bersalah, terlepas dari tempat tindak pidana itu terjadi dan meskipun ada yurisdiksi personal aktif atau pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan lain dari yurisdiksi diakui oleh hukum Internasional. [1] Dasar pertimbangan untuk menempatkan suatu peristiwa hukum tertentu di bawah yurisdiksi universal yakni peristiwa hukum tertentu yang tidak tercakup oleh jenis yurisdiksi lain, tetapi membahayakan bagi umat manusia dan sangat bertentangan dengan rasa keadilan umat manusia. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mencegah terjadinnya peristiwa hukum dimanapun dan kapanpun terjadinya serta siapapun yang menjadi pelaku maupun korbannya.
Asas Universal ini berlaku terhada beberapa kejahatan seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan kemanusiaan, perompakan laut, pembajakan udara, kejahatan terorisme, dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaandan keadilan. Atas dasar ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang walaupun terjadi di luar negeri dan bukan oleh warga negaranya akan tetapi dianggap sebagai membahayakan keamanan negara. [2]
Selain adanya beberapa kewenangan yang diberikan oleh PBB melalui resolusinya maupun oleh IMO, perompakan juga merupakan pelanggaran prinsip jus cogens yang merupakan kejahatan internasional yang telah dinyatakan sebagai kejahatan yang harus diberantas secara bersama-sama sehingga dengan hal tersebut yurisdiksi universal dapat pula diterapkan dalam penyelesaian perompakan. Dua kategori yang jelas termasuk dalam lingkup yurisdiksi universal  yang telah di definisikan sebagai kompetensi negara untuk menuntut yang di duga pelaku dan menghukum mereka jika terbukti bersalah, terlepas dari tempat tindak pidana itu terjadi dan meskipun ada yurisdiksi personal aktif atau pasif atas kebangsaan seseorang atau lasan lain dari yurisdiksi diakui oleh hukum internasional. [3] Ketentuan tersebut menyatakan perompakan termasuk dalam kejahatan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut sehingga yurisdiksi universal yang mana setiap negara dapat menerapkan hukumnya meskipun tidak terkait sama sekali dengan kasusnya. Yurisdiksi universal berlaku atas dasar kejahatan paling keji tanpa memperhatikan pelaku dan korbannya. [4] Selain di gunakan sebagai dasar negara-negara menerapkan hukumnya, asas universal ini dapat diterapkan dengan membentuk peradilan atau tribunal baik yang bersifat sementara atau ad hoc yang berfungsi  untuk memeriksa perkara atau kasus perompakan, sehingga pengadilan ini akan menjadi rujukan bagi setiap negara yang melakukan penangkapan terhadap para perompak untuk diadili dengan menggunakan pengadilan tersebut. Adanya pengadilan ini akan menjadi solusi yang paling efektif untuk menekan angka perompakan dilaut, sehingga negara-negara non pihak (bukan korban atau pelaku) ketika akan melakukan penangkapan atas para perompak tidak akan berfikir berulang kali karena mereka tidak akan terbebani atas pengadilan terhadap para perompak tersebut. Pembentukan pengadilan memerlukan  adanya kesadaran dari negara-negara untuk membentuk pengadilan tribunal yang berwenang untuk mengadili perompakan.
Prinsip pemberantasan perompakan ditegaskan oleh pasal 100 UNCLOS 1982 yang meminta agar negara-negara bekerjasama sepenuhnya dalam pemberantasan perompakan di lautlepas atau tempat lain maupun di luar yurisdiksi suatu negara, dengan demikina peranan negara semakin penting. Peranan yang begitu penting tersebut memerlukan aturan dan mekanisme yang baik seperti yurisdiksi menetapkan norma (jurisdiction to prescribe), yurisdiksi memaksakan aturan yang ada (jurisdiction to enforce) dan yurisdiksi mengadili (jurisdiction to adjudicate). Untuk itu setiap negara harus menjalin kerja sama dengan negara lain untuk memberantas tindakan perompakan, disinilah pentingnya suatu hubungan internasional. Berkembangnya hubungan antar negara yang semakin luas menempatkan hukum internasional semakin berperan penting. Karena itu adanya kesepakatan internasional akan menjadi salah satu faktor penting di dalam mengatur lebih luas tetang kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab setiap negara, termasuk yang terkait dengan yurisdiksi, karena masalah yurisdiksi bukanlah hanya maslah dalam negeri saja. Kewenangan negara bendera terhadap kapal-kapal yang mengibarkan benderanya bertujuan untuk menjamin ketertiban dan keamanan pelayaran di laut lepas. Jadi kapal-kapal di laut lepas harus mempunyai ikatan hukum dengan negara benderanya agar negara tersebut melalui organ-organ dan ketentuan-ketentuan hukumnya dapat mengawasi kapal-kapal tersebut. Namun pada kenyataannya banyak negara yang belum menjalankan yurisdiksinya dengan semaksimal mungkin, kapal-kapal berbendera jarang sekali diawasi oleh negara benderanya.

Banyaknya kasus perompakan di laut lepas yang diselesaikan dengan menuruti kemauan perompak, hal ini hanya membuat perompakan semakin merajalela, pada kenyataannya negara-negara yang dirugikan dapat menjalankan yurisdiksi mengadilinya (jurisdiction to adjudicate) melalui kapal perang yang mempunyai wewenang untuk memberantas perompakan, yaitu kapal perang dapat menahan dan menangkap kapal-kapal bajak laut, selanjutnya negara bendera kapal perang tersebutlah yang berhak mengadili dan menghukum pembajak-pembajak yang di tangkap. Jika kasus perompakan diselesaikan dengan membayar uang tebusan sebagaimana permintaan perompak, hal ini hanya akan menyelesaikan masalah secara kasuistis tetapi tidak akan menyeluruh. Perompakan kan tetap terjadi karena para perompak dimanjakan dengan uang tebusan yang selalu mereka dapatkan. Hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana menimbulkan efek jera bagi pelaku perompaka tersebut. .Misalnya dengan dilakukannya penyerangan sistematis kepada para pembajak. Jika pembajakan ini dibiarkan diselesaikan perkasus dengan cara pembayaran uang tebusan, maka dampak ganda akan terlihat. Pertama, para pembajak akan tergoda untuk mencoba lagi karena yakin bahwa pasti akan dibayar. Kedua, setiap kapal akan berlomba-lomba memakai asuransi dan pihak asuransi akan menerapkan biaya asuransi yang cukup mahal mengingat resiko yang akan ditanggungnya. Hal ini berarti secara tidak langsung membiarkan pembajakan tetap terjadi dan akan semakin menaikkan biaya pengiriman barang yang akibatnya akan mempengaruhi harga jual barang sehingga perdagangan internasional terganggu, karena tidak lagi efisien dan berbiaya tinggi.Setiap Negara memiliki yurisdiksi dalam hukum internasional, termasuk yurisdiksi terhadap warga negaranya dimanapun dia berada, baik yurisdiksi nasionalitas aktif (dimana warga negaranya menjadi korban kejahatan) maupun yurisdiksi nasionalitas pasif (dimana warga negaranya menjadi korban dari kejahatan).Setiap Negara berbeda-beda dalam yurisdiksinya tersebut. [5] Dengan diselesaikannya kasus perompakan melalui jalur hukum dapat secara tidak langsung mengurangi perompakan yang marak terjadi di perairan internasional.



[1] Mlcolm N Shaw,. International Law. New York : Cambridge University Press. 2008. Hlm 668
[2] Rebbeca M. Wallace, Hukum Internasiona. Semarang : IKIP Semarang Press. 1993. Hlm. 122
[3] Malcolm N Shaw. Op. Cit., Hlm. 668
[4] Yudha Bhakti. Op. Cit., Hlm. 350

PENANGGULANGAN PEROMPAKAN DI LAUT LEPAS DALAM PEDOMAN INTERNATIONAL MARITIME ORGANISATION, RESOLUSI KEAMANAN PBB DAN DALAM MEKANISME INTERNATIONAL MARITIME BUREU



Penanggulangan perompakan di laut lepas dalam Pedoman International Maritime Organization (IMO)
Konferensi PBB tahun 1948 membentuk suatu badan nasional yang khusus menangani masalah-masalah kemaritiman. Pada tahun 2009 IMO juga mengeluarkan resolusi nomor 1025 (A.26) tentang Code of Practice For the Investigation of Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships yaitu pedoman tentang pelaksanaan untuk investigasi terhadap kapal yang berisikan mengenai catatan untuk membantu negara-negara anggota IMO untuk melakukan investigasi terhadap kapal yang dicurigai sebagai perompak. Namun, pedoman dalam IMO ini hanya sebatas pedoman teknis yang dapat digunakan oleh anggota IMO untuk memberantas perompakan. Pedoman ini hanya untuk membantu pelaksanaan sehingga daya ikat dari pedoman yang dikeluarkan IMO ini tidak dapat mengikat secara mutlak yang harus digunakan untuk menangani masalah perompakan adalah konvensi-konvensi Internasional. [1]

Penanggulangan perompakan di laut lepas dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB

Pasal 1 ayat (1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki tujuan yakni menjaga perdamaian dan keamanan internasioal dengan cara mengambil tindakan secara bersama-sama dengan tujuan mencegah dan menghindari ancaman keamanan serta menekan seluruh aksi penyerangan dan pemutusan terhadap keamanan, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional. Salah satu organ utama PBB adalah Dewan Keamanan (DK) yang memiliki wewenang dan fungsi dalam memelihara perdamaian dunia diatur pada pasal 48 ayat (1) bab VII Piagam PBB. Berkaitan dengan perompakan, DK telah mengeluarkan beberapa resolusi yang didasarkan pada wewenang DK  sesuai langkah-langkah enforcement measures yang mengikat   dan harus ditaati oleh negara-negara anggota. Dalam resolusi 1816 tahun 2008 DK PBB  menekankan pentingnya kerjasama semua negara, termasuk dengan IMO untuk menghadapi masalah perompakan, dan memperbolehkan setiap negara untuk memasuki territorial negara lain.
Resolusi DK PBB nomor 1838 tahun 2008 dan resolusi DK PBB nomor 1846 tahun 2008 mengatur negara-negara bekerjasama menggunakan operasi militer (naval task force) dalam untuk mencegah, menanggulangi, dan melakukan penindakan terhadap perompakan. Demikian pula, Resolusi 1851 tahun 2008 menghimbau setiap negara membuat perjanjian khusus dengan negara lain untuk memfasilitasi penuntutan perompakan sehingga dapat mendorong terciptanya sistem kerja sama internasional. Resolusi lain yang dikeluarkan oleh DK PBB adalah Resolusi nomor 1976 tahun 2011 yang meminta negara-negara untuk mengkriminalisasi perompakan di bawah hukum nasionalnya. Dalam resolusi ini juga DK PBB mengakui bahwa perompakan adalah subjek kejahatan untuk yurisdiksi universal dan menegaskan kembali seruannya pada negara untuk mempertimbangkan baik penuntutan terhadap yang dicurigai dan melakukan hukuman pemenjaraan atas perompak yang ditangkap di lepas pantai. [2]

Penanggulangan perompakan di laut lepas dalam Mekanisme International Maritime Bureu (IMB)
Organisasi Internasional lainnya yang bergerak juga dalam menanggulangi perompakan kapal laut adalah IMB yakni divisi khusus dari International chamber of commerce (ICC). IMB mendefinisikan perompak sebagai :
“an act of boarding or attempting to board any ship with the intent to commit theft or any other crime and with the attempt or capability to use force in furtherance of that act”
Definisi tersebut tidak membedakan antara penyerangan dilaut lepas dan di dalam perairan territorial sehingga mencakup penyerangan terhadap kapal diwilayah perairan territorial. IMB juga memberikan panduan dan formulir yang dapat diisi oleh pihak kapal ketika melakukan pelaporan atas serangan perompakan sehingga mempermudah penanganan perompakan. IMB juga memiliki kerjasama dengan International Criminal Police Organization (ICPO – Interpol), untuk mempermudah dalam menanggulangi perompakan. [3]





                          [3] http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/kejahatan-di-laut 

PENANGGULANGAN PEROMPAKAN DI LAUT LEPAS DALAM KONVENSI SUA 1988



Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA) 1988 diatur karena adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengembangkan kerjasama internasional dalam merencanakan dan menerima upaya-upaya efektif dan praktis untuk mencegah semua tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan keselamatan navigasi maritim, dan penuntutan dan penghukuman para pelakunya bahwa tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan keselamatan navigasi maritim membahayakan keselamatan orang dan harta benda, mempengaruhi penyelenggaraan jasa maritim. Pasal 3 Konvensi SUA 1988 mengatur kejahatan-kejahatan dilaut, termasuk kejahatan perompakan sebagai berikut :
1)    Setiap orang dapat dikatakan melakukan suatu kejahatan jika orang tersebut melawan hukum dan dengan sengaja :
a)  Mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara kekerasan atau       mengancam,
b) Melakukan tindakan kekerasan terhadap orang diatas kapal yang dapat   membahayakan keamanan pelayaran,
c)  Menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan pada kapal/muatannya dan dapat membahayakan keamanan pelayaran;
d)   Menghancurkan sarana dan prasarana pelayaran atau mempengaruhi operasi kapal yang dapat membahayakan keamanan navigasi.
e) Menyampaikan informasi yang tidak benar, sehingga dapat membahayakan keamanan pelayaran, membunuh atau melukai orang lain diatas kapal.
2)    Setiap orang juga dapat dikatakan telah melakukan kejahatan jika orang tersebut :
a)    Mencoba melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan diatas;
b)    Setiap tindak pidana dilakukan oleh setiap orang atau kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut;
c)  Mengancam seperti yang terdapat dalam hukum nasional, dengan tujuan untuk mempengaruhi seseorang agar melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, atau untuk melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan sebelumnya dan ancama tersebut dapat membahayakan keamanan pelayaran.

Pasal 6 SUA Convention 1988 memberikan aturan mengenai pelaksanaan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mengadili hal tersebut, bahwa :
1) Setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang dittetapkan dalam pasal 3 ketika kejahatan dilakukan terhadap atau diatas kapal yang mengibarkan bendera negara atau dalam wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut territorial ataupun dilakukan oleh seorang waega negara dari negara tersebut.
2)  Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari negara yang bersangkutan, selama pelaku dari negara tersebut mengancam untuk membunuh atau melukai orang lain dan atau tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Setelah suatu negara menetapkan yurisdiksinya tersebut negara harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal IMO, akan tetapi konvensi ini tetap tidak mengesampingkan hukum nasional  negara pihak. SUA 1988 memberikan aturan yang semakin jelas atas penanggulangan perompakan, sehingga negara peratifikasi berkewajiban untuk mengambil tindakan ketika terjadi kejahatan perompakan dalam batasan yurisdiksinya.



PENANGGULANGAN PEROMPAKAN DI LAUT LEPAS DALAM UNCLOS 1982



Pasal 100 Unclos 1982 mengatur kewajiban negara untuk bekerjasama dalam menegakkan dan menanggulangi perompakan.
“All states shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”
Pasal tersebut memberikan landasan legitimasi bagi stiap negara untuk menerapkan hukumnya untuk mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh negara pihak ketiga setiap negara dapat mengadilinya meskipun tidak terkait sama sekali dengan kejahatan tersebut. [1]
Unsur-unsur dalam pasal 101 UNCLOS menjadi titik tolak disebutnya suatu kapal atau pesawat udara dapat dikenai sanksi dan dapat dilakukan penyelidikan atas tindakannya tersebut. Disamping diatur dalam pasal 100 UNCLOS 1982, kewajiban negara untuk bekerjasama dengan negara lain atau organisasi internasional juga diatur dalam pasal 105 yang mengatur tentang penyitaan kapal perompak serta tanggung jawab negara penyita diatur dalam pasal 106. Pasal 107 UNCLOS 1982 mengatur kualifikasi kapal yang diperbolehkan melakukan penyitaan yaitu kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas pemerintahan serta yang diberi wewenang.
Pasal 111 UNCLOS 1982 mengatur mengenai hak pengejaran seketika (Hot Persuit). Hak pengejaran hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal tertentu yaitu kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang. Pengejaran seketika baru dapat dimulai ketika pihak dari negara mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan negara itu pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial atau zona tambahan negara pengejar dan hanya boleh diteruskan dilaut territorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. [2]



[1] Yudha Bakti 2012 Penemuan Hukum Nasional dan Internasional. Bandung : Fikahita Aneska. Hlm 2017
[2] Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 111

PENANGGULANGAN PEROMPAKAN DI LAUT LEPAS DALAM CONVENTION ON THE HIGH SEAS 1985



Pasal 14 CHS 1958 mengatakan “All states shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”. Pasal ini menyatakan bahwa semua negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan di laut lepas atau di tempat lain diluar yurisdiksi setiap negara. Pasal ini sejalan dengan yurisdiksi universal yang melekat terhadap kejahatan perompakan, sehingga hal ini semakin memperkuat landasan bagi negara pihak ketiga untuk melakukan penuntutan dan menerapkan yurisdiksinya atas kasus –kasus perompakan. Asas yurisdiksi universal ini melekat terhadap semua negara peratifikasi CHS 1958 untuk menekan perompakan dengan cara mengadili para perompak dengan hukum nasionalnya Pasal 15 CHS 1958nmemberikan batasan perompakan yaitu kejahatan yang terjadi di laut lepas, selain itu keikutsertaan secara sukarela dengan fakta bahwa penumpang kapal tersebut telah mengetahui bahwa kapal tersebut telah merompak maka kejahatan perompakan dapat dikenakan terhadapnya. Selanjutnya pasal 16 CHS 1958 memberikan perluasan subjek perompakan oleh kapal perang, kapal atau pesawat pemerintah yang telah diambil alih oleh pemberontak.
Pasal 19 CHS 1958 mengatur tentangg kewenangan atas penyitaan kapal oleh setiap negara peratifikasi konvensi ini serta setelah dilakukannya penyitaan terhadap kapal, pengadilan dari negara  yang melakukan penyitaan tersebut dapat memutuskan hukuman yang akan dikenakannya dan menentukan tindakan yang diambil yang berkaitan dengan kapal tersebut. Penyitaan ini tetap harus dengan itikad yang baik sehingga tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dalam melakukan penyitaan. Negara yang melakukan penyitaan mempunyai tanggung jawab penuh atas kapal sitaan sebagaimana diatur dalam pasal 20 CHS 1958 :
“Where the seizure of a ship or aircraft on suspicion of piracy has been effected without adequate grounds, the State making the seizure shall be liable to the State the nationality of which is possessed by the ship or aircraft, for any loss or damage caused by the seizure”.
Tidak semua kapal diperbolehkan melakukan penyitaan terhadap kapal perompak. Kualifikasi kapal yang dapat melakukan penyitaan diatur pada pasal 21 CHS 1958, yaitu kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas pemerintahan serta yang diberi wewenang. [1]



[1] Convension on the high seas 1968


PENGAWASAN, PENCEGAHAN SERTA PENANGKAPAN TERHADAP KAPAL DI LAUT LEPAS



1.    Pengawasan Umum
Terdiri dari pengawasan biasa, inspeksi dan bahkan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut, sehingga berdasarkan wewenang absolut suatu negara bendera, maka kapal-kapal publik hanya tunduk pada kapal-kapal perang negaranya, sebaliknya kapal-kapal perang semua negara mempunyai wewenang terhadap kapal-kapal swasta negara-negara lain. Jadi bila terjadi pengawasan yang dilakukan oleh sebuah kapal perang terhadap suatu kapal swasta dari negara yang sama, maka ini adalah merupakan pelaksanaan yang normal wewenang eksklusif negara bendera, tetapi bila kedua kapal itu mempunyai bendera yang berbeda, maka terdapat kewenangan konkurensial antara kapal-kapal perang dari berbagai negara untuk melakukan pengawasan dilaut lepas.
Tiap-tiap kapal perang mempunyai wewenang untuk mengetahui kebangsaan suatu kapal dengan meminta supaya kapal tersebut mengibarkan benderanya apabila kapal tersebut tidak mengibarkannya. Permintaan tersebut dapat dilakukan dengan kode-kode lampu atau apabila cara ini tidak berhasil maka kapal perang dapat menembakkan pemuru-peluru kosong kearah kapal tersebut. Apabila kapal perang menaruh kecurigaan pada kapal tersebut, maka dalam rangka menyelenggarakan pengawasan, kapal perang dapat menghentikan kapal yang bersangkutan, kapal perang dapat memeriksa surat-surat kapal beserta muatannya. Hal tersebut di namakan right to visit yang diatur dalam pasal 110 Konvensi Hukum Laut 1982.
2.    Pengawasan-pengawasan khusus
Pengawasan-pengawasan khusus ini ada bermacam-macam, yaitu :
a.    Pemberantasan Perdagangan Budak Belian ;
Ketentuan ini berdasarkan Pasal 99 UNCLOS 1982, yaitu setiap negara harus mengambil tindakan yang efektif untuk mencegah dan menghukum pengangkutan budak belian dalam kapal yang diizinkan untuk mengibarkan benderanya dan untuk mencegah pemakaian tidak sah benderanya untuk keperluan itu. Selanjutnya menurut Pasal 110 UNCLOS 1982 mengizinkan kapal-kapal perang untuk menahan kapal-kapal yang dicurigai terlibat perdagangan budak.
b.    Pemberantasan Bajak Laut ;
Masalah kejahatan bajak laut sering terbentur pada perbedaan definisi. Istilah bajak laut sendiri memang memilki beragam definisi yang umumnya lebih menekannya pada aktivitas bajak laut yang dilakukan di laut lepas, padahal banyak kasus bajak laut yang justru terjadi di wilayah perairan teritorial. Dengan demikian kegiatan bajak laut, baik di perairan laut teritorial maupun internasional, bukan lagi dipandang sebagai suatu pelangaran hukum dan kriminal biasa, melainkan telah berkaitan dengan isu keamanan dalam pengertian luas. Wewenang yang diberikan kepada kapal-kapal perang semua negara untuk memberantas bajak laut sangat luas. Kapal-kapal perang dapat menahan dan menangkap kapal- kapal bajak laut. Selanjutnya negara bendera kapal-kapal perang tersebut berhak mengadili dan menghukum pembajak-pembajak yang di tangkap. Mengenai pembajakan ini, hukum internasional mengizinkan negara-negara secara langsung mengambil tindakan-tindakan untuk menghukum para pembajak, karena pembajakan dianggap sebagai kejahatan terhadap umat  manusia. Prinsip pemberantasan bajak laut ini ditegaskan pada pasal 100 Konvensi Hukum Laut 1982 yang meminta supaya negara-negara bekerjasama sepenuhnya dalam pemberantasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain maupun di luar yurisdiksi suatu negara.
c.    Pengawasan Penangkapan Ikan
Pengawasan penangkapan ikan dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu:
1.    Pengawasan terhadap para penangkap ikan dan alat-alatnya
2.    Pengawasan untuk melindungi ikan-ikan.
   Berdasarkan Pasal 117 UNCLOS 1982 Mengharuskan semua negara atau bekerjasama dengan negara-negara lain dalam mengambil tindakan-tindakan bila diperlukan terhadap warga negaranya masing-masing untuk perlindungan sumber kekayaan hayati di laut lepas.
d.    Pengawasan Untuk melindungi kabel-kabel dan pipa bawah laut;
Ketentuan terhadap pengawasan ini tertuang dalam Pasal 113, 114, dan 115 UNCLOS 1982 yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai pemutusan atau kerusakan kabel atau pipa bawah laut serta soal ganti kerugian.
e.    Pemberantasan Pencemaran Laut
Ketentuan terhadap pengawasan ini tertuang dalam Pasal 192 sampai dengan Pasal 237 UNCLOS 1982, khusus diperuntukan bagi segala sesuatunya yang berhubungan dengan pencemaran dan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk melindungi lingkungan laut.  [1]
f.     Pengawasan untuk kepentingan sendiri negara-negara.
Bentuk pengawasan ini terbagi dalam hak pengejaran seketika (hot pursuit), dan hak bela diri (Self-Defence).
1)    Hak Pengejaran Seketika (Hot Persuit) diatur dalam Pasal 111 Unclos (United Nation Convention on the Law Of the Sea). Hot Persuit merupakan salah satu bentuk penegakan hukum dan kedaulatan di laut sebagai suatu hal yang diakui eksistensinya oleh negara-negara lain, yang artinya hak untuk melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal yang diduga melakukan tindak pidana di wilayah teritorial suatu negara. Pasal 111 Unclos  menguraikan syarat-syarat pengejaran serta kompensasi atau ganti kerugian atas penghentian kapal yang ditahan dalam keadaan yang tidak dibenarkan untuk dilaksanakan pengejaran. Adapun syarat-syarat pengejaran seketika sebagai berikut:
a) Pengejaran harus dimulai pada waktu kapal asing sedang berada di perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara yang mengejar, jika kapal asing tersebut berada di dalam zona tambahan, pengejaran hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap hak-hak dizona tambahan;
b)  Hak pengejaran seketika dilaksanakan secara mutatis mutandis terhadap pelanggaran pada ZEE atau pada landas kontinen dan hak pengejaran seketika berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial dari negaranya sendiri atau negara ketiga;
c)  Pengejaran seketika hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat militer atau pesawat lainnya milik pemerintah yang diberi kewenangan;
d) Pengejaran hanya dapat dimulai setelah diberikannya tanda visual atau tanda signal (untuk perintah berhenti) pada jarak yang dapat dilihat atau didengar oleh kapal asing. [2]

2)  Hak bela diri (self defence) yaitu hak negara pantai untuk menahan kapal beserat awaknya yang diduga akan mengancam keamanan nasional negara pantai tersebut, dengan ketentuan :
a)    Ancaman terhadap negara tersebut harus bersifat segera;
b)    Harus di beritahukan segera terhadap negara bendera;
c)  Orang-orang yang dianggap berbahaya yang terdapat di kapal tersebut harus diserahkan ke negara bendera untuk diadili menurut undang-undangnya.;
d)  Tindakan-tindakan yang diambil harus bersifat tindakan-tindakan proteksi dan bukan represi.;
e)    Harus di bayar ganti kerugian bila kecurigaan tidak beralasan. [3]

Kapal-kapal yang berlayar di bawah satu bendera tidak sah bertanggungjawab terhadap penangkapan dan penyitaan oleh negara yang benderanya dikibarkan secara tidak sah/melawan hukum dan kapal-kapal perang dari suatu negara memerintahkan agar kapal-kapal memperlihatkan benderanya. Andaikata ada kecurigaan yang masuk akal untuk menduga/mencurigai sebuah kapal terlibat dalam kegiatan pembajakan, perompakan atau perdagangan budak, kapal tersebut boleh dinaiki dan apabila perlu dilakukan penggeledahan. [4] Di Laut Lepas atau setiap tempat diluar yurisdiksi negara manapun setiap negara dapat menyita kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada dikapal. Pengadilan negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. [5] Apabila penangkapan terhadap suatu kapal atau pesawat terbang dilakukan tanpa alasan yang layak, negara yang menangkap kapal atau pesawat terbang tersebut bertanggung jawab kepada negara nasionali kapal atau pesawat terbang atas kerugian yang ditimbulkan oleh penangkapan tersebut. [6]



[3] Boer Mauna. Op. Cit., Hlm 336
[4] J.G Storge. Op. Cit., Hlm 324
[5]Konvnesi Hukum Laut  Pasal 105
[6] Chairul Anwar. Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Hlm 68