Sehubungan
dengan pembajakan di laut lepas , International Maritim Bureau (IMB)
menggolongkan kegiatan pembajakan di laut lepas dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Low level armed robbery,
yakni kegiatan pembajakan di laut lepas berskala kecil yng biasanya beroperasi
dipelabuhan dan dermaga akibat lemahnya pengawasan oleh petugas keamanan
pelabuhan. Para pembajak umumnya tertarik pada harta kekayaan para awak atau
perlengkapan yang ada dikapal.[1]
2. Medium level armed assault and robbery, yakni
tipe bajak laut berskala menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun
territorial. Biasanya mereka sudah terorganisasi (organized piracy).
3. Major criminal hijack atau
yang sering dikenal sebagai fenomena “kapal siluman” (phantom ship). Mereka biasanya sudah berskala besar karena sangat
terorganisasi, memiliki kekerasan yang tinggi, dan bahkan telah melibatkan
jaringan organisasi kejahatan internasional dengan anggota- anggotanya yang
telah terlatih untuk menggunakan senjata api. Modus operandi dilakukan dengan
cara menguasai kapal, awaknya dibunuh atau diceburkan ke laut, kemudian kapal
di cat ulang, dimodifikasi, diganti nama dan diregistrasi ulang. Kargo atau
muatan kapal di jual di pasar bebas kepada penadah. Sertifikat registrasi
sementara diperoleh melalui kantor konsulat. Mereka mendapatkannya baik melalui
penyuapan atau dokumen- dokumen yang dipalsukan. Motif dari pembajakan di laut
lepas ini umumnya tidak hanya sekedar motif ekonomi, dapat juga berlatar motif
politis atau terorisme.[2]
Menurut
black’s
law dictionary pembajakan (piracy) adalah perampokan, penculikan
dan kejahatan lain yang dilakukan di laut. Oppenheim memberikan pengertian
bahwa yang dimaksud dengan pembajakan laut adalah perbuatan kekerasan atau
penyerangan dengan melanggar hukum yang dilakukan oleh suatu kapal partikelir (
bukan kepunyaan suatu negara ) di samudera raya terhadap suatu kapal lain
dengan maksud untuk merampok atau mencuri barang-barang dengan kekerasan.
[1]Ilias Bantekas and Susan Nash, Intetnational Criminal Law, London :
Penerbit Cavendish Publishing, 2003, Hlm. 94
[2]Melda
Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum
yang hidup, jakarta : Penerbit Diadit Media, 2007, Hlm. 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar