Selasa, 16 Juni 2020

PRINSIP KEBEBASAN DI LAUT LEPAS DAN STATUS HUKUM SUATU KAPAL



1.    Prinsip kebebasan di laut lepas
Laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau “high seas”. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan bersama umat manusia” (common heritage of mankind), yang berarti bahwa manfaat laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang dikandungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja. Prinsip tersebut melahirkan hak dan kewajiban umum tiap  negara terhadap laut bebas serta hak dan kewajiban khusus dilaut bebas tertentu tersebut, seperti menyedikan sarana pencarian dan penyelamatan (search and rescue), yang sering disingkat “SAR”, yang memadai, pengejaran tidak terputus (hot pursuit) dan pelestarian lingkungan laut. [1] Adapun prinsip yang mengatur rezim laut lepas adalah prinsip kebebasan, namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula dilengkapi dengan tindakan-tindakan pengawasan, karena kebebasan tanpa pengawasan dapat mengecaukan kebebasan itu sendiri, pengawasan tersebut dilakukan agar kepentingan negara-negara yang terdapat dilaut lepas dapat terjamin.
       Berdasarkan prinsip kebebasan ini, setiap negara berpantai atau tidak berpantai dapat mempergunakan laut lepas dengan syarat mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konvensi atau ketentuan-ketentuan hukum internasional. Berdasarkan pasal 87 UNCLOS, kebebasan-kebebasan di Laut Lepas diantaranya :
a.  Kebebasan berlayar;
b.  Kebebasan penerbangan;
c. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan Bab VI Konvensi Hukum Laut;
d. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, dengan tunduk pada bab VI;
e. Kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam sub bab II;
f.   Kebebasan riset ilmiah dengan tunduk pada bab VI dan VIII. [2]
Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) mengatakan  adalah bahwa bahwa setiap Negara harus melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi ini.[3] Laut lepas adalah terbuka bagi setiap negara dan tidak ada kedaulatan suatu negara di laut lepas. Namun demikian, setiap negara mempunyai enam kebebasan seperti disebutkan di atas, tetapi juga setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati jurisdiksi negara bendera, kewajiban memberikan bantuan (duty to render assistance) kepada orang dalam bahaya atau dalam kasus tabrakan (collision), sehingga negara pantai harus mempunyai TIM SAR (Search and Rescue). Setiap negara harus mengambil tindakan efektif untuk mencegah dan menghukum perdagangan budak, wajib bekerja sama memberantas perompakan (piracy), dan menumpas siaran gelap (unauthorized broadcasting).
    Laut Lepas merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara manapun, sehingga setiap kejahatan yang berada di Laut Lepas berada sepenuhnya di bawah yurisdiksi negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional, yaitu bahwa jika suatu delik terjadi diatas kapal yang sedang berlayar di atas laut lepas, maka negara benderalah yang dianggap berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya. Dalam hal ini negara bendera memang diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan yurisdiksinya, sebagaimana yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa :
“In general , the flag State , that is, the State which has granted to a ship the right to sail under its flag, has the exclusive right to exercice legeslative and enforcement jurisdiction over its ships on the high seas”.

Secara umum, negara berbendera, yaitu negara yang telah diberikan kepada kapal hak untuk berlayar di bawah bendera, memiliki hak eksklusif untuk exercice yurisdiksi legislative dan penegakan hukum terhadapkapal-kapal di laut lepas.[4]
1)    Dasar dan lahirnya prinsip kebebasan
Dari zaman purbakala sampai abad pertengahan, pelayaran di laut adalah bebas bagi semua bangsa dan setiap orang. Celsius dari Italy menyatakan “The sea like the air is commond to all mankind “ (laut bagaikan udara adalah milik bersama semua umat manusia). Lebih tegas lagi the Ulpin mengatakan “The sea is open to everybody by nature” (pada dasarnya laut bebas untuk semua orang). Prinsip kebebasan juga muncul ketika Ratu Elisabeth I mengumumkan tentang kebebasan di laut. Menurutnya penggunaan laut dan udara adalah bebas bagi semua orang dan oleh karena jenisnya yang khusus, laut tidak akan dimiliki oleh siapapun dan negara manapun. Selain itu, timbul apa yang dinamakan doktrin Grotius sebagai bentuk sikap Belanda terhadap tuntutan kedaulatan Spayol.
Grotius adalah ahli hukum muda negeri Belanda yang mempertahankan prinsip kebebasan di laut. Alasan Grotius mempertahankan prinsip kebebasan di laut adalah :
a)  Menurut Grotius, laut adalah suatu unsur yang bergerak dengan cair. Orang-orang yang menggunakan laut tidak tinggal menetap di laut (hanya singgah sebentar) dalam rangka keperluan tertentu. Tempat tinggal permanen manusia adalah di daratan. Oleh karena itu laut tak dapat dimiliki (ras extra commercium) maka laut tak dapat berada di bawah kedaulatan negara manapun dan karena itu bebas dilayari oleh siapapun.
b)  Menurut Grotius, Tuhan menciptakan bumi ini sekalian dengan lautnya dan ini berarti agar bangsa-bangsa didunia ini dapat berhubungan satu sama lain untuk kepentingan bersama. Ia menambahkan bahwa angin yang berhembus dari segala arah dan membawa kapal keseluruh pantai. Artinya bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapapun.[5]
Adapun teori mengenai natur yuridik (sifat hukum) laut lepas terdiri atas :
a)  Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah bebas karena tidak ada yang memilikinya. Namun teori ini dapat menimbulkan persepsi bahwa suatu negara dapat memiliki laut lepas atau setidak-tidaknya berbuat semaunya disana seolah-olah laut lepas itu merupakan miliknya.
b)   Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama, karena itu negara-negara bebas menggunakannya. Jika laut milik bersama maka itu berarti laut lepas itu berada di bawah kedaulatan bersama negara-negara, ini berarti negara-negara tersebut dapat menggunakan semaunya kebebasan-kebebasan di laut sehingga mengganggu negara-negara lain.
c)   Domaine Public International merupakan satu-satunya solusi terbaik dimana melalui teori ini laut digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat internasional. Teori ini dikatakan sebagai solusi terbaik karena ia dapat menjamin penggunaan kebebasan-kebebasan di laut bagi semua negara besar atau kecil. [6]

2)    Status hukum kapal-kapal di laut lepas
Dalam mempelajari status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, sebaiknya terlebih dahulu mempelajari jenis-jenis kapal, yaitu :
a)    Kapal publik, yang terdiri dari :
1.    Kapal Perang
                  Kapal perang adalah kapal yang karena tugas dan perlekapan senjatanya dapat secara efektif ikut dalam operasi-operasi militer. Pasal 29 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan defenisi yang lebih lengkap mengenai kapal perang, yaitu :
“kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat didalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular”.
2. Kapal-kapal publik non militer, yaitu kapal-kapal pemerintah yang mempunyai kegiatan-kegiatan non militer seperti kapal-kapal logistic pemerintah, kapal-kapal riset ilmiah dan lain sebagainya.
3.  Kapal organisasi-organisasi internasional, yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional, seperti PBB atau badan-badan khusus dari PBB. [7]
b)    Kapal Swasta
Yaitu kapal bukan milik pemerintah yang melakukan kegiatan bertujuan komersil. Setiap kapal di laut lepas maupun di laut manapun wajib mengibarkan bendera negaranya. Bendera negara menunjukkan asal bendera kapal. Hal tersebut menandakan bahwa kapal tunduk pada hukum dari negara yang benderanya dikibarkan di atas kapal. Pada pasal 92 Konvensi Hukum Laut  di katakan bahwa kapal-kapal yang ada dilaut lepas sepenuhnya tunduk pada peraturan-peraturan atau ketentuan negara bendera. Ketentuan ini di buat agar terdapat kesatuan hukum untuk menjamin ketertiban dan disiplin diatas kapal. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di atas kapal. Dasar dari ketentuan ini adalah adanya anggapan bahwa kapal dianggap sebagai floating portion of the flag state, yaitu bagian terapung wilayah negara bendera. Oleh karena negara mempunyai wewenang  absolut terhadap wilayah, maka negara tersebut berwenang pula terhadap kapal-kapalnya yang berlayar di laut lepas.
Khusus untuk kapal swasta, selain bendera negara perlu dilengkapi dengan bukti-bukti yang dinamakan papiers de bord yang terdiri dari dua macam, yaitu :
1.  Mengenai kapal dan anak buahnya, misalnya : Kebangsaan, identitas kapal, surat jalan dan lain sebagainya.
2.  Mengenai muatan kapal, misalnya : Manifest, connaissment, dan lain sebagainya.
Bagi kapal-kapal swasta yang telah meninggalkan laut lepas dan masuk ke laut wilayah suatu negara, terhadapnya tidak lagi berlaku wewenang khusus negara bendera tetapi negara pantai. Jadi apabila kapal swasta telah masuk ke laut wilayah negara lain, maka kapal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan negara pantai. [8]

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus ada kebangsaannya karena ada ikatan antara kapal dengan Negara (genuine link) dan apabila kapal menggunakan dua negara atau lebih bendera negara karena ingin mendapat kemudahan (flag of convenience) dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan. Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982. [9] Konvensi hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal harus berlayar dibawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh mengubah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. [10] Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi Hukum Laut.



[3]Ibid Pasal 94
[4] Churchill. R R and Lowe.A.V, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK, l983, Hlm. l48

[6] Boer Mauna. Op. Cit., Hlm 320
[7] Ibid Hlm 321
[9] Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008,Hlm 45
[10] Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar