1. Prinsip
kebebasan di laut lepas
Laut di luar yurisdiksi nasional
negara-negara disebut laut bebas atau “high seas”. Pemanfaatan laut bebas
dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan bersama umat manusia” (common
heritage of mankind), yang berarti bahwa manfaat laut bebas, baik aspek
navigasi maupun aspek sumber daya alam yang dikandungnya, harus dapat dinikmati
oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh dimonopoli oleh satu atau beberapa
negara kuat saja. Prinsip tersebut melahirkan hak dan kewajiban umum tiap
negara terhadap laut bebas serta hak dan kewajiban khusus dilaut bebas tertentu
tersebut, seperti menyedikan sarana pencarian dan penyelamatan (search and
rescue), yang sering disingkat “SAR”, yang memadai, pengejaran tidak terputus
(hot pursuit) dan pelestarian lingkungan laut. [1] Adapun prinsip yang mengatur rezim laut lepas adalah prinsip
kebebasan, namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula dilengkapi dengan
tindakan-tindakan pengawasan, karena kebebasan tanpa pengawasan dapat
mengecaukan kebebasan itu sendiri, pengawasan tersebut dilakukan agar
kepentingan negara-negara yang terdapat dilaut lepas dapat terjamin.
Berdasarkan prinsip kebebasan ini,
setiap negara berpantai atau tidak berpantai dapat mempergunakan laut lepas
dengan syarat mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konvensi atau
ketentuan-ketentuan hukum internasional. Berdasarkan pasal 87 UNCLOS, kebebasan-kebebasan
di Laut Lepas diantaranya :
a. Kebebasan
berlayar;
b. Kebebasan
penerbangan;
c. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah
laut, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan Bab VI Konvensi Hukum Laut;
d. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan
instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional,
dengan tunduk pada bab VI;
e. Kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang
tercantum dalam sub bab II;
Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) mengatakan adalah bahwa bahwa setiap Negara harus
melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang
administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di
laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan
penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana
diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi ini.[3] Laut lepas adalah terbuka
bagi setiap negara dan tidak ada kedaulatan suatu negara di laut lepas. Namun
demikian, setiap negara mempunyai enam kebebasan seperti disebutkan di atas,
tetapi juga setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati jurisdiksi
negara bendera, kewajiban memberikan bantuan (duty to render assistance) kepada orang dalam bahaya atau dalam kasus
tabrakan (collision), sehingga negara
pantai harus mempunyai TIM SAR (Search
and Rescue). Setiap negara harus mengambil tindakan efektif untuk mencegah
dan menghukum perdagangan budak, wajib bekerja sama memberantas perompakan
(piracy), dan menumpas siaran gelap (unauthorized
broadcasting).
Laut Lepas
merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara manapun, sehingga
setiap kejahatan yang berada di Laut Lepas berada sepenuhnya di bawah
yurisdiksi negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum kebiasaan
internasional, yaitu bahwa jika suatu delik terjadi diatas kapal yang sedang
berlayar di atas laut lepas, maka negara benderalah yang dianggap berwenang
untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya. Dalam hal ini negara bendera memang
diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan yurisdiksinya,
sebagaimana yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa :
“In general , the flag State , that is, the State which has
granted to a ship the right to sail under its flag, has the exclusive right to
exercice legeslative and enforcement jurisdiction over its ships on the high
seas”.
Secara umum,
negara berbendera, yaitu negara yang telah diberikan kepada kapal hak untuk
berlayar di bawah bendera, memiliki hak eksklusif untuk exercice yurisdiksi legislative
dan penegakan hukum terhadapkapal-kapal di laut lepas.[4]
1) Dasar dan lahirnya prinsip kebebasan
Dari zaman purbakala
sampai abad pertengahan, pelayaran di laut adalah bebas bagi semua bangsa dan
setiap orang. Celsius dari Italy menyatakan “The
sea like the air is commond to all mankind “ (laut bagaikan udara adalah
milik bersama semua umat manusia). Lebih tegas lagi the Ulpin mengatakan “The sea is open to everybody by nature”
(pada dasarnya laut bebas untuk semua orang). Prinsip kebebasan juga muncul
ketika Ratu Elisabeth I mengumumkan tentang kebebasan di laut. Menurutnya
penggunaan laut dan udara adalah bebas bagi semua orang dan oleh karena
jenisnya yang khusus, laut tidak akan dimiliki oleh siapapun dan negara
manapun. Selain itu, timbul apa yang dinamakan doktrin Grotius sebagai bentuk
sikap Belanda terhadap tuntutan kedaulatan Spayol.
Grotius adalah ahli hukum muda negeri Belanda
yang mempertahankan prinsip kebebasan di laut. Alasan Grotius mempertahankan
prinsip kebebasan di laut adalah :
a) Menurut Grotius, laut adalah suatu unsur yang
bergerak dengan cair. Orang-orang yang menggunakan laut tidak tinggal menetap
di laut (hanya singgah sebentar) dalam rangka keperluan tertentu. Tempat
tinggal permanen manusia adalah di daratan. Oleh karena itu laut tak dapat
dimiliki (ras extra commercium) maka laut tak dapat berada di bawah kedaulatan
negara manapun dan karena itu bebas dilayari oleh siapapun.
b) Menurut Grotius, Tuhan menciptakan bumi ini
sekalian dengan lautnya dan ini berarti agar bangsa-bangsa didunia ini dapat
berhubungan satu sama lain untuk kepentingan bersama. Ia menambahkan bahwa
angin yang berhembus dari segala arah dan membawa kapal keseluruh pantai.
Artinya bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapapun.[5]
Adapun teori mengenai
natur yuridik (sifat hukum) laut lepas terdiri atas :
a) Res
Nullius, yang menyatakan bahwa laut
lepas adalah bebas karena tidak ada yang memilikinya. Namun teori ini dapat
menimbulkan persepsi bahwa suatu negara dapat memiliki laut lepas atau setidak-tidaknya
berbuat semaunya disana seolah-olah laut lepas itu merupakan miliknya.
b) Res
Communis, yang menyatakan bahwa
laut adalah milik bersama, karena itu negara-negara bebas menggunakannya. Jika
laut milik bersama maka itu berarti laut lepas itu berada di bawah kedaulatan
bersama negara-negara, ini berarti negara-negara tersebut dapat menggunakan
semaunya kebebasan-kebebasan di laut sehingga mengganggu negara-negara lain.
c) Domaine
Public International merupakan
satu-satunya solusi terbaik dimana melalui teori ini laut digunakan untuk
kepentingan bersama masyarakat internasional. Teori ini dikatakan sebagai
solusi terbaik karena ia dapat menjamin penggunaan kebebasan-kebebasan di laut
bagi semua negara besar atau kecil. [6]
2) Status hukum kapal-kapal di laut lepas
Dalam mempelajari status
hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, sebaiknya terlebih dahulu mempelajari
jenis-jenis kapal, yaitu :
a) Kapal publik, yang terdiri dari :
1. Kapal Perang
Kapal
perang adalah kapal yang karena tugas dan perlekapan senjatanya dapat secara
efektif ikut dalam operasi-operasi militer. Pasal 29 Konvensi Hukum Laut 1982
memberikan defenisi yang lebih lengkap mengenai kapal perang, yaitu :
“kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara
yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal
tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh
pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat didalam daftar dinas militer
atau daftar serupa dan diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin
angkatan bersenjata regular”.
2. Kapal-kapal
publik non militer, yaitu kapal-kapal pemerintah yang mempunyai
kegiatan-kegiatan non militer seperti kapal-kapal logistic pemerintah,
kapal-kapal riset ilmiah dan lain sebagainya.
3. Kapal
organisasi-organisasi internasional, yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh
organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional,
seperti PBB atau badan-badan khusus dari PBB. [7]
b) Kapal Swasta
Yaitu kapal bukan milik pemerintah yang melakukan kegiatan
bertujuan komersil. Setiap kapal di laut lepas maupun di laut manapun wajib
mengibarkan bendera negaranya. Bendera negara menunjukkan asal bendera kapal.
Hal tersebut menandakan bahwa kapal tunduk pada hukum dari negara yang
benderanya dikibarkan di atas kapal. Pada pasal 92 Konvensi Hukum Laut di katakan bahwa kapal-kapal yang ada dilaut
lepas sepenuhnya tunduk pada peraturan-peraturan atau ketentuan negara bendera.
Ketentuan ini di buat agar terdapat kesatuan hukum untuk menjamin ketertiban
dan disiplin diatas kapal. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua
perbuatan hukum yang terjadi di atas kapal. Dasar dari ketentuan ini adalah
adanya anggapan bahwa kapal dianggap sebagai floating portion of the flag state, yaitu bagian terapung wilayah
negara bendera. Oleh karena negara mempunyai wewenang absolut terhadap wilayah, maka negara
tersebut berwenang pula terhadap kapal-kapalnya yang berlayar di laut lepas.
Khusus untuk kapal swasta,
selain bendera negara perlu dilengkapi dengan bukti-bukti yang dinamakan papiers de bord yang terdiri dari dua
macam, yaitu :
1. Mengenai kapal dan anak buahnya, misalnya :
Kebangsaan, identitas kapal, surat jalan dan lain sebagainya.
2. Mengenai muatan kapal, misalnya : Manifest, connaissment, dan lain
sebagainya.
Bagi kapal-kapal swasta
yang telah meninggalkan laut lepas dan masuk ke laut wilayah suatu negara,
terhadapnya tidak lagi berlaku wewenang khusus negara bendera tetapi negara
pantai. Jadi apabila kapal swasta telah masuk ke laut wilayah negara lain, maka
kapal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan negara pantai. [8]
Setiap kapal yang berlayar
di laut lepas harus ada kebangsaannya karena ada ikatan antara kapal dengan
Negara (genuine link) dan apabila kapal menggunakan dua negara atau lebih
bendera negara karena ingin mendapat kemudahan (flag of convenience) dianggap sebagai
kapal tanpa kebangsaan. Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi
Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk
pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya
atau bagi Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana
diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982. [9] Konvensi
hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal harus berlayar dibawah
bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan
jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam konvensi ini, harus
tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak
boleh mengubah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu
berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu
perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. [10]
Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan
penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana
diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi Hukum Laut.
[3]Ibid
Pasal 94
[4] Churchill. R R and Lowe.A.V, The Law
of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK, l983, Hlm. l48
[6] Boer Mauna. Op. Cit., Hlm 320
[7] Ibid
Hlm 321
[9]
Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut
Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan
Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008,Hlm
45
[10] Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar