Selasa, 16 Juni 2020

KETENTUAN PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT BERDASARKAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA 1958, KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN KONVENSI ROMA


Ketentuan mengenai pembajakan kapal di laut telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan internasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran pelayaran dan negara memiliki hak untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan hukum yang berlaku di negaranya apabila tindakan tersebut dilakukan di dalam wilayah teritorial suatu negara pantai. Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur tentang pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tentang laut lepas. Pembajakan dilaut lepas ini telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan Internasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran pelayaran dan Negara memiliki hak untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan hukum yang berlaku dalam negaranya.[1]
Konvensi Roma 1988, Pasal 6 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut :
1. Menetapkan Yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3 ketika kejahatan dilakukan : (a) melawan untuk mengibarkan bendera Negara pada waktu kejahatan dilakukan diatas kapal; (b) dalam wilayah Negara yang bersangkutan, termasuk laut territorial. (c) dilakukan oleh seorang warga Negara dari Negara tersebut.
2.    Setiap Negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran jika : (a) tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari Negara yang bersangkutan; (b) selama pelaku dari Negara tersebut, mengancam untuk membunuh, atau melukai orang lain; (c) tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap Negara pihak harus mengambil tindakan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana sebagaimana yang  telah ditetapkan dalam pasal 3 konvensi diatas dan juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran seperti yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam pelaksanaan yurisdiksi sebagaimana yang dimaksud diatas, Negara-negara yang berhasil menagkap para pelaku pembajakan boleh saja mengirimkan para pelaku tersebut ke Negara lain yang memiliki peraturan hukum tentang hal itu untuk diadili dinegara tersebut.
Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian pembajakan di laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa 1958 dalam Pasal 15 merumuskan pembajakan di laut yaitu bahwa :[2]
1.    Setiap tindakan illegal kekerasan, penahanan atau tindakan penyusutan, berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang kapal swasta atau pesawat pribadi, dandiarahkan :
a)  Di laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang atau property diatas kapal atau pesawat udara.
b)  Terhadap kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat diluar yurisdiksi Negara manapun.
2.   Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam operasi pesawat terbang dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi bajak laut-kapal atau pesawat udara.
3.    Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan di sub-ayat (1) dan sub-ayat (2) pasal ini.
Pembajakan di laut lepas merupakan tindak kejahatan internasional dan dianggap sebagai musuh setiap Negara, serta dapat diadili dimanapun pembajak tersebut ditangkap tanpa memandang kebangsaannya. Pembajakan di laut lepas memang bersifat “crimes of universal interest (kejahatan kepentingan yang universal)”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan yang dinyatakan sebagai pembajakan yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah negara lain yaitu di Laut Lepas, dan berhak melaksanakan penegakan yurisdiksi dan ketentuan-ketentuan hukumnya.[3]
Dalam hal ini setiap negara boleh menangkap pembajak di laut lepas, dan menyeret kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara tersebut, dengan alasan pembajakan di laut lepas tersebut adalah “hostes humani generis”. (musuh semua umat manusia). Tetapi hak ini hanya berlaku terhadap orang-orang yang dianggap melakukan pembajakan dilaut berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin terdapat perbuatan yang dianggap pembajakan oleh undang-undang suatu negara tertentu, tetapi menurut hukum internasional bukan pembajakan. Misalnya, bahwa dalam hukum kejahatan Inggris, bekerja dalam perdagangan budak dianggap sama dengan pembajakan.[4]
Dewan Pertimbangan Agung Inggris telah mempelajari sedalam-dalamnya definisi yang diberikan oleh ahli-ahli hukum internasional mengenai pembajakan, tanpa memberikan satu definisi sendiri . Dewan telah mengemukakan pendapatnya, bahwa perompakan itu sendiri bukanlah satu unsur pokok dalam kejahatan tersebut, dan bahwa satu percobaan yang sia-sia untuk melakukan satu perompakan /membajak samalah dengan membajak. Dorongan yang biasa untuk sesuatu perbuatan membajak tentulah satu niat hendak merampok, tetapi jika unsur-unsur lain dari pembajakan itu ada pula, maka niat tadi mungkin tidak penting. Disamping itu barangkali ada nafsu hendak membunuh atau hanya untuk merusakkan.[5]
Masalah pembajakan dan Prinsip Universalitas ini dibahas dan dikukuhkan di Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan tawanan-tawanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel yang menderita sakit dan luka-luka serta dilengkapi dengan protokol I dan II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi Diplomatik di Jenewa tentang penanggulangannya, baik pencegahan maupun pemberantasanya, tidaklah cukup bila hanya dilakukan oleh negara-negra secara sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama internasional. Kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan baik lembaga- lembaga internasional seperti International criminal Police Organization maupun kerjasama bilateral dan multilateral. United Charter, atau Piagam PBB adalah norma tertinggi bagi organisasi internasional PBB. Secara tegas dan jelas tercantum pada awal Bab Pertama Pasal 1 ayat 1 bahwa: Tujuan PBB adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mengambil tindakan secara bersama-sama dengan tujuan mencegah dan menghindari ancaman keamanan serta menekan seluruh aksi penyerangan atau pemutusan terhadap keamanan, dan mengadakan, secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau menyelesaikan perbedaan atau situasi, yang bersifat internasional, yang dapat diubah ke arah terciptanya perdamaian.
Selain ketentuan di atas, pengaturan terhadap pembajakan secara khusus telah dilakukan oleh PBB, yaitu dengan disahkannya Konvensi Hukum Laut, 10 Desember 1982 (KHL 1982). Di dalam Konvensi ini secara umum telah dibahas mengenai pembajakan Laut Lepas pada Pasal 100-107.  
Di dalam Pasal-Pasal tersebut tercantum ketentuan sebagai berikut:
1.   Pasal 100 mengenai kewajiban bekerjasama terhadap pemberantasan pembajakan laut,
2.   Pasal 101 mengenai definisi pembajakan laut,
3.   Pasal 102 mengenai pembajakan oleh kapal perang, kapal negara atau pesawat dimana digunakan untuk memberontak,
4.    Pasal 103 mengenai definis kapal dan pesawat pembajak,
5.    Pasal 104 mengenai kepemilikan atau hilangnya warga negara pembajak,
6.    Pasal 105 mengenai penangkapan kapal atau pesawat pembajak,
7. Pasal 106 mengenai tanggung jawab ketika melakukan penanggkap tanpa pertimbangan,
8.  Pasal 107 mengenai kapal dan pesawat yang berwenang melakukan penangkapan untuk alasan pembajakan.

Konvensi ini berlaku bagi setiap negara yang telah meratifikasi dan juga berlaku bagi negara yang belum meratifikasi. Hal ini dikarenakan permasalahan dalam konvensi ini menyangkut keamanan secara umum dan kejahatannya bersifat umum, yaitu seluruh negara mengakui bahwa perompakan merupakan kejahatan. Dalam peristiwa hukum internasional ini, yang perlu diangkat dan dijadikan dasar pelaksanaan penegakan hukum oleh PBB adalah Pasal 1 “Semua Negara akan bekerja sama sejauh mungkin dengan pemberantasan pembajakan laut di laut lepas atau di tiap tempat lain di luar daerah kekuasaan hukum sesuatu Negara”. Selanjutnya hal ini dipertegas oleh Pasal 105 yang memberikan kewenangan kepada setiap negara untuk menangkap perompakan lalu memberikan sanksi terhadap pelaku perompakan tersebut. Selain negara, organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional berhak melakukan pengamanan atau penangkapan terhadap pembajakan. Misalnya yang dilakukan oleh North Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi internasional ini memiliki misi khusus menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Atlantik.[6]
Pasal 2 dari Konvensi Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh meng-klaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar, memancing, meletakkan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta kebebasan untuk terbang di atas udara laut lepas tersebut. Kebebasan tersebut dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS Pasal 6 dari Konvensi Jenewa menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal untuk wilayah di dalam kapal tersebut, hal ini juga dijamin dalam Pasal 92 UNCLOS.
Sebagai monument hukum internasional modern, Konvensi Hukum Laut III 1982 tersebut sangat penting artinya bagi masyarakat internasional terkait dengan pengaturan laut. Persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam konferensi-konferensi hukum laut sebelumnya, sejak 1930 seperti persoalan pembakuan lebar laut wilayah telah dipecahkan oleh konvensi ini. Konvensi ini juga memberikan keseimbangan  kepentingan antara Negara-negara maju. Rejim Negara kepulauan, wilayah laut, jalur tambahan, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif memberikan jaminan terhadap kepentingan Negara-negara pantai. Sebaliknya lintas damai, lintas transit, melalui selat yang dipergunakan bagi pelayanan internasional, rejim lintas alur kepulauan dan jalur penerbangan diatas alur kepulauan serta kebebasan pelayaran, penerbangan, dana pemasangan kabel bawah laut diatas Zona Ekonomi Eksklusif memberikan jaminan atas kepentingan Negara-negara maritime yang umumnya merupakan Negara-negara maju.[7]
Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur tentang pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tentang Laut Lepas. Pengaturannya sebagai berikut :[8]
a.    Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang lingkup pembajakan di laut sebagai berikut:
1.  Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan dilakukan:
a)    Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara;
b)   Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun.
2.    Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi suatu kapal atau pesawat udara pembajak;
3.  Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan sebagaimana disebutkan dalam sub (a) atau (b).
b.   Pasal 100 KHL 1982 menyatakan bahwa, “Dalam hal pembajakan di laut, semua negara harus bekerjasama sepenuhnya untuk memberantas pembajakan di laut lepas atau di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara.”
c.    Pasal 102 KHL 1982 menyatakan bahwa,
Apabila pembajakan sebagaimana ditentukan di atas dilakukan oleh suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah dimana awak kapalnya telah memberontak dan mengambil alih kapal atau pesawat udara tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan orang-orang tersebut dapat disamakan dengan dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara pembajak.”
d.    Pasal 103 KHL 1982 mengatur mengenai batasan kapal atau pesawat udara pembajak yaitu sebagai berikut:
“Suatu kapal atau pesawat udara dianggap suatu kapal atau pesawat udara pembajak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam Pasal 101. Hal yang sama berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau pesawat udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu.”
e.    Pasal 104 KHL 1982 menyatakan bahwa :
     Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi kapal atau pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ditentukan oleh hukum negara yang telah memberikan kebangsaan itu.”
f.  Pasal 105 KHL 1982, ditentukan bahwa, Di laut lepas atau di setiap tempat di luar yurisdiksi negara manapun, setiap negara dapat:
1.    Menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajak;
2.  Menyita suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajak dan berada di bawah pengendalian pembajak;
3.  Menangkap orang-orang (pelakunya) serta menyita barang-barang yang ada di dalam kapal;
4.   Mengadili dan menghukum pelaku-pelaku pembajakan tersebut, serta menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang tersebut dengan memperhatikan kepentingan pihak ketiga.
g.    Pasal 107 KHL 1982 mengatur bahwa :
 Tindakan penyitaan terhadap kapal atau pesawat udara pembajak (termasuk kapal atau pesawat hasil pembajakan) dan menangkap pelaku pembajakan, hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sedang dalam dinas pemerintah.”
h.    Pasal 106 KHL 1982 mengatur bahwa:
      Apabila tindakan penyitaan terhadap suatu kapal atau pesawat udara yang dicurigai melakukan pembajakan ini tanpa bukti yang cukup, maka negara yang telah melakukan penyitaan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang timbul akibat penyitaan tersebut kepada negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut.”[9]

            United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah Landas Kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submisi (submission) ke PBB mengenai batas Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai Laut Teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara- negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (Pasal 16 ayat 1).
            Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya.[10]
            Ketiga, untuk Landas Kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya.[11]
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pengaturan (regime) hukum laut yaitu :
1.   Perairan Pedalaman (Internal waters),
2.   Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3.   Laut Teritorial (Teritorial waters),
4.   Zona Tambahan (Contingous waters),
5.   Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusiv economic zone),
6.   Landas Kontinen (Continental shelf),
7.   Laut Lepas (High seas),
8.   Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).[12]
Istilah laut lepas yang dikenal dengan sebutan high seas atau open sea merupakan bagian wilayah laut yang tidak termasuk Laut Territorial atau laut intern, yaitu laut yang termasuk ke dalam garis dasar Laut Territorial. Secara historis, pernah ada sejumlah Negara yang ingin menguasai samudra, seperti Portugal di Samudra Hindia, Spanyol di Samudra Pasifik, Inggris di Terusan Inggris. Namun, Grotius keberatan dengan menyatakan bahwa Laut Lepas tidak selayaknya berada dibawah yurisdiksi suatu negara dengan alasan:
1. Samudra tidak dapat menjadi milik sesuatu negara, karena tiada Negara dapat menduduki secara efektif.
2.  Alam tidak memperbolehkan seseorang memiliki sesuatu yang dapat dipergunakan oleh setiap negara. Laut lepas dinamakan pula res gentium atau res extra commercium.

Sejumlah ketentuan di Laut Lepas sebagaimana dikemukakan oleh J.G Starke sebagai berikut: [13]
1.  Bahwa laut lepas tidak dapat diletakkan dibawah kedaulatan sesuatu negara tertentu.
2. Bahwa terdapat kebebasan mutlak menangkap ikan di laut lepas ini bagi kapal- kapal semua bangsa, baik niaga maupun kapal perang.
3.  Bahwa pada umunya, suatu negara tidak boleh menjalankan -yurisdiksi atas kapal yang tidak memakai bendera negaranya.
4.  Bahwa Negara hanya dapat menjalankan yurisdiksi atas kapal tertentu yang mengibarka benderanya.
5. Bahwa setiap negara dan warganya berhak menggunakan laut lepas, misalnya untuk memasang kawat/kabel serta pipa di dasar laut (freedom of immersion).
6.  Bahwa terdapat kebebasan mutlak penerbangan di atas laut lepas bagi semua pesawat.
      
      Menurut hukum internasional, setiap Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengejaran. Bila kejahatan itu berada di Laut Lepas, maka Negara pantai dapat melakukan pengejaran berdasarkan atas hukum Internasional, sedangkan pengejaran dapat dilakukan hingga ke laut lepas sekalipun. Pengejaran hendaknya dilakukan secara terus menerus dengan memberikan tanda yang dapat dilihat dan didentifikasi oleh kapal tersebut. Oleh karena itu, kapal pengejar haruslah kapal perang atau pesawat tempura atau kapal patroli. Kewenangan dalam pengejaran dapat dilakukan juga terhadap pelanggar undang-undang fiskal dan perikanan serta pelanggaran yang menyangkut kepentingan Negara dalam batas-batas maritim.




[1]J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi X. Jakarta : Sinar Grafika, 2008, Hlm. 353
[2]Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, bandung, 1978, Hlm. 224-225
[3]Henkin, Louis. International Law , Cases and Materials, American Casebook Series, ST, PaulMinn, West Publishing Co, USA, l980, Hlm. 387
[4]Mochammad Radjab, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit Bhratara, Jakarta, l993. Hlm. 226
[5]Ibid, Hlm. 226-227
[7]Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, Hlm. 34
[8]Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung:Universitas Lampung, 2012, Hlm.  58
[9]Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008, Hlm. 34
[10]Konvenssi Hukum Laut 1982 Pasal 75
[11]Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 84
[12]Lazarus, Pokok-pokok Hukum Laut Internasional. Penerbit Pusat Studi Hukum Laut, Semarang, 2005, Hlm. 22
[13]J.G., Starke, An Introduction to International law. London: Butterworths, 1988, Hlm. 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar