Ketentuan
mengenai pembajakan kapal di laut telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan
internasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran pelayaran dan negara
memiliki hak untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan hukum yang berlaku di
negaranya apabila tindakan tersebut dilakukan di dalam wilayah teritorial suatu
negara pantai. Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur
tentang pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat
di dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tentang laut lepas. Pembajakan dilaut lepas
ini telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan Internasional, karena dianggap
telah mengganggu kelancaran pelayaran dan Negara memiliki hak untuk
melaksanakan yurisdiksi berdasarkan hukum yang berlaku dalam negaranya.[1]
Konvensi
Roma 1988, Pasal 6 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut :
1. Menetapkan
Yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 3 ketika kejahatan
dilakukan : (a) melawan untuk mengibarkan bendera Negara pada waktu kejahatan
dilakukan diatas kapal; (b) dalam wilayah Negara yang bersangkutan, termasuk
laut territorial. (c) dilakukan oleh seorang warga Negara dari Negara tersebut.
2. Setiap
Negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran jika :
(a) tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari Negara
yang bersangkutan; (b) selama pelaku dari Negara tersebut, mengancam untuk
membunuh, atau melukai orang lain; (c) tindakan tersebut dilakukan sebagai
upaya untuk memaksa negara yang bersangkutan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan.
Pasal
tersebut menjelaskan bahwa setiap Negara pihak harus mengambil tindakan untuk
menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal 3 konvensi
diatas dan juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran seperti
yang ditetapkan dalam konvensi tersebut. Dalam pelaksanaan yurisdiksi
sebagaimana yang dimaksud diatas, Negara-negara yang berhasil menagkap para
pelaku pembajakan boleh saja mengirimkan para pelaku tersebut ke Negara lain
yang memiliki peraturan hukum tentang hal itu untuk diadili dinegara tersebut.
Dalam
hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian pembajakan di
laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa 1958 dan
Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa 1958 dalam Pasal 15 merumuskan pembajakan
di laut yaitu bahwa :[2]
1. Setiap
tindakan illegal kekerasan, penahanan atau tindakan penyusutan, berkomitmen
untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang kapal swasta atau pesawat
pribadi, dandiarahkan :
a) Di
laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang atau
property diatas kapal atau pesawat udara.
b) Terhadap
kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat diluar yurisdiksi
Negara manapun.
2. Setiap
tindakan partisipasi sukarela dalam operasi pesawat terbang dengan mengetahui
fakta yang membuatnya menjadi bajak laut-kapal atau pesawat udara.
3. Setiap
tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan di
sub-ayat (1) dan sub-ayat (2) pasal ini.
Pembajakan
di laut lepas merupakan tindak kejahatan internasional dan dianggap sebagai
musuh setiap Negara, serta dapat diadili
dimanapun pembajak tersebut ditangkap tanpa memandang kebangsaannya. Pembajakan
di laut lepas memang bersifat “crimes of
universal interest (kejahatan kepentingan yang
universal)”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan yang dinyatakan sebagai pembajakan yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah negara lain yaitu
di Laut Lepas, dan berhak melaksanakan penegakan yurisdiksi dan
ketentuan-ketentuan hukumnya.[3]
Dalam hal ini
setiap negara boleh menangkap pembajak di laut
lepas, dan menyeret kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara
tersebut, dengan alasan pembajakan di laut lepas tersebut adalah “hostes humani generis”. (musuh semua
umat manusia). Tetapi hak ini hanya berlaku terhadap orang-orang yang dianggap
melakukan pembajakan dilaut berdasarkan kriteria
yang ditentukan oleh hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin terdapat perbuatan
yang dianggap pembajakan oleh undang-undang
suatu negara tertentu, tetapi menurut hukum internasional bukan pembajakan.
Misalnya, bahwa dalam hukum kejahatan Inggris,
bekerja dalam perdagangan budak dianggap sama dengan pembajakan.[4]
Dewan Pertimbangan Agung Inggris telah mempelajari
sedalam-dalamnya definisi yang diberikan oleh ahli-ahli hukum internasional
mengenai pembajakan, tanpa memberikan satu definisi sendiri . Dewan telah mengemukakan
pendapatnya, bahwa perompakan itu sendiri bukanlah satu unsur pokok dalam
kejahatan tersebut, dan bahwa satu percobaan yang sia-sia untuk melakukan satu
perompakan /membajak samalah dengan membajak. Dorongan
yang biasa untuk sesuatu perbuatan
membajak tentulah satu niat hendak merampok, tetapi jika
unsur-unsur lain dari pembajakan itu ada pula, maka niat tadi mungkin tidak
penting. Disamping itu barangkali ada nafsu hendak membunuh atau hanya untuk
merusakkan.[5]
Masalah pembajakan dan Prinsip Universalitas ini dibahas dan dikukuhkan
di Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan tawanan-tawanan perang, perlindungan
penduduk sipil dan personel yang menderita sakit dan luka-luka serta dilengkapi
dengan protokol I dan II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi
Diplomatik di Jenewa tentang penanggulangannya, baik pencegahan maupun
pemberantasanya, tidaklah cukup bila hanya dilakukan oleh negara-negra secara
sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama internasional. Kerjasama
Pencegahan dan Pemberantasan baik lembaga- lembaga internasional seperti
International criminal Police
Organization maupun kerjasama bilateral dan multilateral. United Charter, atau Piagam PBB adalah
norma tertinggi bagi organisasi internasional PBB. Secara tegas dan jelas
tercantum pada awal Bab Pertama Pasal 1 ayat 1 bahwa: Tujuan PBB adalah menjaga
perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mengambil tindakan secara
bersama-sama dengan tujuan mencegah dan menghindari ancaman keamanan serta
menekan seluruh aksi penyerangan atau pemutusan terhadap keamanan, dan
mengadakan, secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum
internasional, penyesuaian atau menyelesaikan perbedaan atau situasi, yang
bersifat internasional, yang dapat diubah ke arah terciptanya perdamaian.
Selain ketentuan di atas, pengaturan terhadap pembajakan
secara khusus telah dilakukan oleh PBB, yaitu dengan disahkannya Konvensi Hukum
Laut, 10 Desember 1982 (KHL 1982). Di dalam Konvensi ini secara umum telah dibahas
mengenai pembajakan Laut Lepas pada Pasal 100-107.
Di dalam Pasal-Pasal tersebut tercantum ketentuan sebagai berikut:
1. Pasal 100 mengenai kewajiban bekerjasama terhadap
pemberantasan pembajakan laut,
2. Pasal 101 mengenai
definisi pembajakan laut,
3. Pasal 102 mengenai pembajakan oleh kapal perang, kapal
negara atau pesawat dimana digunakan untuk memberontak,
4. Pasal 103 mengenai definis kapal dan pesawat pembajak,
5. Pasal 104 mengenai kepemilikan atau hilangnya warga negara pembajak,
6. Pasal 105 mengenai penangkapan kapal atau pesawat pembajak,
7. Pasal 106 mengenai tanggung jawab ketika melakukan
penanggkap tanpa pertimbangan,
8. Pasal 107 mengenai kapal dan pesawat yang berwenang
melakukan penangkapan untuk alasan pembajakan.
Konvensi ini berlaku bagi setiap negara yang telah
meratifikasi dan juga berlaku bagi negara yang belum meratifikasi. Hal ini
dikarenakan permasalahan dalam konvensi ini menyangkut keamanan secara umum dan
kejahatannya bersifat umum, yaitu
seluruh negara mengakui bahwa perompakan merupakan kejahatan. Dalam peristiwa
hukum internasional ini, yang perlu diangkat
dan dijadikan dasar pelaksanaan penegakan
hukum oleh PBB adalah Pasal 1 “Semua Negara akan bekerja sama sejauh
mungkin dengan pemberantasan pembajakan laut di laut lepas atau di tiap tempat
lain di luar daerah kekuasaan hukum sesuatu Negara”. Selanjutnya hal ini
dipertegas oleh Pasal 105 yang memberikan
kewenangan kepada setiap negara
untuk menangkap perompakan lalu memberikan sanksi terhadap pelaku perompakan
tersebut. Selain negara, organisasi internasional sebagai subjek hukum
internasional berhak melakukan pengamanan atau penangkapan terhadap pembajakan.
Misalnya yang dilakukan oleh North
Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi internasional ini memiliki
misi khusus menjaga perdamaian dan keamanan di
wilayah Atlantik.[6]
Pasal 2 dari Konvensi
Jenewa mengatakan bahwa Laut Lepas harus terbuka bagi semua negara.
Tidak ada satu negarapun yang boleh meng-klaim bahwa laut lepas adalah
bagian dari wilayahnya. Dalam laut Lepas terdapat kebebasan untuk berlayar,
memancing, meletakkan kabel-kabel bawah laut dan pipa-pipa sejenis serta
kebebasan untuk terbang di atas udara laut lepas tersebut. Kebebasan tersebut
dilanjutkan dengan dijamin menurut Pasal 87 dari UNCLOS Pasal 6 dari Konvensi
Jenewa menegaskan bahwa kapal yang berlayar dalam wilayah laut lepas harus menunjukkan bendera
negara kapal dan dengan demikian memiliki kewenangan eksklusif untuk memberlakukan hukum negara bendera kapal
untuk wilayah di dalam kapal tersebut, hal ini juga dijamin dalam Pasal 92
UNCLOS.
Sebagai monument hukum internasional modern, Konvensi
Hukum Laut III 1982 tersebut sangat penting artinya bagi masyarakat
internasional terkait dengan pengaturan laut. Persoalan-persoalan yang tidak
terpecahkan dalam konferensi-konferensi hukum laut sebelumnya, sejak 1930
seperti persoalan pembakuan lebar laut wilayah telah dipecahkan oleh konvensi
ini. Konvensi ini juga memberikan keseimbangan
kepentingan antara Negara-negara maju. Rejim Negara kepulauan, wilayah
laut, jalur tambahan, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif memberikan
jaminan terhadap kepentingan Negara-negara pantai. Sebaliknya lintas damai,
lintas transit, melalui selat yang dipergunakan bagi pelayanan internasional,
rejim lintas alur kepulauan dan jalur penerbangan diatas alur kepulauan serta
kebebasan pelayaran, penerbangan, dana pemasangan kabel bawah laut diatas Zona
Ekonomi Eksklusif memberikan jaminan atas kepentingan Negara-negara maritime
yang umumnya merupakan Negara-negara maju.[7]
Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur
tentang pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat
di dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tentang Laut Lepas.
Pengaturannya sebagai berikut :[8]
a. Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang
lingkup pembajakan di laut sebagai berikut:
1. Setiap tindakan kekerasan
atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan
untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau
pesawat udara swasta, dan dilakukan:
a) Di laut
lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang
yang ada di atas kapal atau pesawat udara;
b) Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di
suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun.
2. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam
pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan
mengetahui fakta yang membuatnya menjadi
suatu kapal atau pesawat udara pembajak;
3. Setiap tindakan mengajak
atau dengan sengaja membantu tindakan sebagaimana disebutkan dalam sub (a) atau (b).
b. Pasal 100 KHL 1982
menyatakan bahwa, “Dalam hal pembajakan
di laut, semua negara harus bekerjasama sepenuhnya untuk memberantas pembajakan
di laut lepas atau di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara.”
c.
Pasal 102 KHL 1982
menyatakan bahwa,
“Apabila pembajakan
sebagaimana ditentukan di atas dilakukan oleh suatu kapal perang, kapal atau
pesawat udara pemerintah dimana awak kapalnya telah memberontak dan mengambil alih kapal atau pesawat udara tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan orang-orang tersebut dapat disamakan dengan dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara
pembajak.”
d.
Pasal 103 KHL 1982
mengatur mengenai batasan kapal atau pesawat udara pembajak yaitu sebagai berikut:
“Suatu kapal atau pesawat
udara dianggap suatu kapal atau pesawat udara pembajak apabila ia dimaksudkan oleh orang
yang mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu tindakan yang
dimaksud dalam Pasal 101. Hal yang sama berlaku apabila kapal atau pesawat
udara itu telah digunakan untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama
kapal atau pesawat udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang
bersalah melakukan tindakan itu.”
e.
Pasal 104 KHL 1982 menyatakan bahwa :
“Suatu kapal atau pesawat
udara dapat tetap memiliki kebangsaannya walaupun telah
menjadi kapal atau pesawat udara perompak.
Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ditentukan oleh hukum negara yang
telah memberikan kebangsaan itu.”
f. Pasal 105 KHL 1982,
ditentukan bahwa, Di laut lepas atau di setiap tempat di luar yurisdiksi negara
manapun, setiap negara dapat:
1. Menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajak;
2. Menyita suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil
oleh pembajak dan berada di bawah
pengendalian pembajak;
3. Menangkap orang-orang (pelakunya) serta menyita
barang-barang yang ada di dalam
kapal;
4. Mengadili dan menghukum
pelaku-pelaku pembajakan tersebut, serta menetapkan tindakan yang akan diambil
berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang tersebut dengan
memperhatikan kepentingan pihak ketiga.
g.
Pasal 107 KHL 1982
mengatur bahwa :
“Tindakan penyitaan terhadap kapal atau
pesawat udara pembajak (termasuk kapal atau pesawat hasil pembajakan) dan
menangkap pelaku pembajakan, hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau
pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas
diberi tanda dan dapat dikenal sedang dalam dinas pemerintah.”
h. Pasal 106 KHL 1982 mengatur bahwa:
“Apabila
tindakan penyitaan terhadap suatu kapal atau pesawat udara yang dicurigai
melakukan pembajakan ini tanpa bukti yang cukup, maka negara yang telah
melakukan penyitaan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian atau
kerusakan yang timbul akibat penyitaan tersebut kepada negara yang kebangsaannya dimiliki
oleh kapal atau pesawat udara tersebut.”[9]
United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, memberikan kesempatan
kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah Landas Kontinen
hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS
jarak yang diberikan adalah 200 mil laut,
maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia
berupaya untuk melakukan submisi (submission) ke PBB mengenai batas Landas Kontinen Indonesia di luar 200 mil laut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai Laut Teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan
ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan
itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut.
Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara- negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau
skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (Pasal 16 ayat 1).
Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi
Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik
harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan
ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negara yang pantainya
berhadapan (opposite) atau
berdampingan (adjacent) harus
dicantumkan pada peta dengan skala yang memadai untuk menentukan posisinya.[10]
Ketiga, untuk Landas Kontinen.
Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik
harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara
yang pantainya berhadapan (opposite)
atau berdampingan (adjacent), harus
dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk
penentuan posisinya.[11]
Konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi
pengaturan (regime) hukum laut yaitu :
1.
Perairan Pedalaman (Internal waters),
2.
Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya
selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3.
Laut Teritorial (Teritorial
waters),
4.
Zona Tambahan (Contingous
waters),
5.
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusiv economic zone),
6.
Landas Kontinen (Continental
shelf),
7.
Laut Lepas (High seas),
Istilah laut lepas yang
dikenal dengan sebutan high seas atau
open sea merupakan bagian wilayah laut yang tidak
termasuk Laut Territorial atau laut intern,
yaitu laut yang termasuk ke
dalam garis dasar Laut Territorial.
Secara historis, pernah ada sejumlah Negara yang ingin menguasai samudra,
seperti Portugal di Samudra Hindia, Spanyol di Samudra Pasifik, Inggris di
Terusan Inggris. Namun, Grotius keberatan dengan menyatakan bahwa Laut Lepas tidak selayaknya berada dibawah yurisdiksi suatu negara dengan alasan:
1. Samudra tidak dapat menjadi milik sesuatu negara, karena
tiada Negara dapat menduduki secara efektif.
2. Alam tidak memperbolehkan seseorang memiliki sesuatu
yang dapat dipergunakan oleh setiap negara.
Laut lepas dinamakan
pula res gentium
atau res extra commercium.
Sejumlah ketentuan di Laut Lepas sebagaimana dikemukakan
oleh J.G Starke sebagai berikut: [13]
1. Bahwa laut lepas tidak dapat diletakkan dibawah kedaulatan
sesuatu negara tertentu.
2. Bahwa terdapat kebebasan
mutlak menangkap ikan di laut lepas ini bagi kapal- kapal semua bangsa, baik niaga
maupun kapal perang.
3. Bahwa pada umunya, suatu negara tidak boleh menjalankan
-yurisdiksi atas kapal yang tidak memakai bendera negaranya.
4. Bahwa Negara hanya dapat menjalankan yurisdiksi atas kapal
tertentu yang mengibarka benderanya.
5. Bahwa setiap negara dan warganya berhak menggunakan laut
lepas, misalnya untuk memasang kawat/kabel serta pipa di dasar laut (freedom of immersion).
6. Bahwa terdapat kebebasan mutlak penerbangan di atas laut
lepas bagi semua pesawat.
Menurut hukum internasional, setiap
Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengejaran. Bila kejahatan itu
berada di Laut Lepas, maka Negara pantai dapat melakukan pengejaran berdasarkan
atas hukum Internasional, sedangkan pengejaran dapat dilakukan hingga ke laut
lepas sekalipun. Pengejaran hendaknya dilakukan secara terus menerus dengan
memberikan tanda yang dapat dilihat dan didentifikasi oleh kapal tersebut. Oleh
karena itu, kapal pengejar haruslah kapal perang atau pesawat tempura atau
kapal patroli. Kewenangan dalam pengejaran dapat dilakukan juga terhadap
pelanggar undang-undang fiskal dan perikanan serta pelanggaran yang menyangkut
kepentingan Negara dalam batas-batas maritim.
[1]J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi X. Jakarta : Sinar Grafika,
2008, Hlm. 353
[2]Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit
Binacipta, bandung, 1978, Hlm. 224-225
[3]Henkin, Louis. International Law , Cases and Materials, American Casebook Series,
ST, PaulMinn, West Publishing Co, USA, l980, Hlm. 387
[4]Mochammad Radjab, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit
Bhratara, Jakarta, l993. Hlm. 226
[5]Ibid, Hlm. 226-227
[7]Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan,
Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005, Hlm. 34
[8]Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional dan Perkembangannya,
Bandar Lampung:Universitas Lampung, 2012, Hlm.
58
[9]Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan
dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia,
Jakarta, 2008, Hlm. 34
[10]Konvenssi Hukum Laut 1982 Pasal 75
[11]Konvensi Hukum Laut
1982 Pasal 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar