Senin, 15 Juni 2020

SEJARAH PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT



Sejarah menunjukkan bahwa pembajakan dilaut lepas sudah ada sejak awal manusia melakukan perjalanan melalui laut. Pembajakan dilaut lepas memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Para pembajak laut lepas pada awalnya hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri.[1]  Dalam berbagai situasi pembajak juga melakukan pembunuhan, penculikan dan meminta tebusan. Sejarah tercatat menunjukkan bahwa sejak zaman Yunani Kuno dan Kekaisara Romawi pembajakan di laut lepas menjadi beban dari perdagangan maritime. Salah satu tindakan pembajakan di laut lepas yang disertai dengan penculikan terjadi pada tahun 75 SM, dimana kapal diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan. Para pembajak kemudian mendapatkan tebusan atas penyanderaan terhadap Julius Caesar, namun kemudian mereka ditangkap dan dihukum.[2] Pada abad ke-16 pembajakan digunakan oleh Negara-negara untuk menambah kekuatan maritim mereka. Para pembajakan ini disebut sebagai privateer, yaitu “Pembajakan” yang diizinkan atau disahkan oleh Negara untuk bertindak atas nama negara tersebut melalui surat yang disebut Surat Marquee. Tujuan utama para privateers ini adalah merusak sumber daya negara musuh, melatih kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan.
Ratu Elizabeth sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan negara disponsori terorisme seperti privateering merupakan cara ideal untuk memukul mundur musuh dan kemudian menyembunyikan diri.[3] Setelah perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak diperlukan lagi para privateers. Raja James kemudian mencabut seluruh Letter of Marquee dan mengkriminalisasikan pembajak di Laut Lepas. Tindakan ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan sebagai pembajak secara penuh. Tanpa adanya negara yang mengasuh atau menyewa privateers ini, maka mereka melakukan tindakannya berupa menyerang dan membajak semua negara-negara tanpa diskriminasi.[4]
Pada tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar menandatangani Deklarasi Paris 1856 menyatakan penghapusan terhadap pembajakan di laut lepas dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan pembajakan di laut lepas yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarari Paris 1856 ini, timbul konsep bahwa pembajakan di laut lepas merupakan hostis humani generis atau musuh dari seluruh umat manusia.[5] Pembajakan laut lepas dalam wilayah barat tidak hanya mempengaruhi Yunani, Spanyol dan Inggris. Tercatat pula berbagai pembajakan di laut lepas dalam kawasan Eropa Utara dan Amerika. Dalam kawasan Asia, pembajakan di Laut Lepas terjadi pada kawasan Timur dan Tenggara. Pada wilayah Asia Timur, pembajakan di Laut Lepas paling awal tercatat terjadi pada masa Dinasti Han (106 SM -220 M), namun pembajakan di Laut Lepas diyakini sudah ada sebelum zaman ini. Pembajakan di Laut Lepas pada masa ini timbul saat ada kesempatan. Pada awal abad ke 17, pembajakan di Laut Lepas kembali meningkat yakni pada masa peperangan Dinasti Ming dan Qing. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan di pantai, dan pemberontakan yang dilakukan oleh Taiwan dan Vietnam, serta disusul terjadinya Perang Opium pada tahun 1839-1842. Pada abad ke 20, terjadi perang saudara di China antara penganut paham nasionalis dengan komunis, sehingga kembali memberikan kesempatan yang baik bagi pembajak untuk beraksi.[6]
Pada wilayah Asia tenggara pembajakan di laut lepas marak terjadi pada abad ke 19 dimana para pembajak mencoba membajak kapal-kapal perdagangan milik Eropa. Pembajakan di laut lepas dalam kawasan ini dilakukan berdasarkan komunitas yang terorganisasi dan bahkan melibatkan elit-elit lokal. Para pembajak ini mayoritas beraksi di perairan selat Malaka dan perairan Riau Lingga dan tercatat pula hingga sampai Kalimantan Utara. [7] Pembajakan di laut lepas dalam kawasan Asia Pasifik bukanlah fenomena baru. Wilayah timur Puntland di Somalia sejak dahulu merupakan wilayah maritim yang strategis, sehingga kegiatan pelayaran dan perdagangan telah beroperasi di wilayah ini. Pada abad ke 18, Eropa mengunjungi wilayah ini dan merekrut para pelaut setempat yang dikenal dengan nama pelaut laut merah dan kelompok Marjerteen dan Hyobo.[8]



[1]Alfred S., Bradford, Flying the Black Flag- A Brief History of Piracy, Westport, Connecticut : Praeger, 2007, Hlm 4.
[2]Thaine Lennox Gentele, Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, Transportation law Journal, Vol. 37:199, 2010, Hlm 202-203
[3]Ari triwibowo Yudhoatmojo, skripsi tentang : Penerapan Yuridiksi universal untuk menanggulangi dan mengadili pembajakan di laut berdasarkan resolusi dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa dalam kasus pembajakan di Teluk Aden, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, jakarta: Tesis tidak diduplikasikan, 2010
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[7]Ger Tetlier, Piracy in Southeast Asia A Historical Comparasion, Hlm. 70-71
[8]Lucas Bento, “Toward and International Law of Piracy Sui Generis : How the Dual Nature of Maritime Piracy to Flourish”, Berkeley Journal of International Law, Vol.29.2,2011, Hlm. 405


Tidak ada komentar:

Posting Komentar