Sejarah
menunjukkan bahwa pembajakan dilaut lepas sudah ada sejak awal manusia
melakukan perjalanan melalui laut. Pembajakan dilaut lepas memiliki umur yang
sama dengan kapal dan kodrat manusia. Para pembajak laut lepas pada awalnya
hanya memiliki tujuan untuk memperkaya diri.[1] Dalam berbagai situasi pembajak juga
melakukan pembunuhan, penculikan dan meminta tebusan. Sejarah tercatat
menunjukkan bahwa sejak zaman Yunani Kuno dan Kekaisara Romawi pembajakan di
laut lepas menjadi beban dari perdagangan maritime. Salah satu tindakan
pembajakan di laut lepas yang disertai dengan penculikan terjadi pada tahun 75
SM, dimana kapal diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai
tebusan. Para pembajak kemudian mendapatkan tebusan atas penyanderaan terhadap
Julius Caesar, namun kemudian mereka ditangkap dan dihukum.[2] Pada abad ke-16 pembajakan
digunakan oleh Negara-negara untuk menambah kekuatan maritim mereka. Para
pembajakan ini disebut sebagai privateer,
yaitu “Pembajakan” yang diizinkan atau disahkan oleh Negara untuk bertindak
atas nama negara tersebut melalui surat yang disebut Surat Marquee. Tujuan utama para privateers ini adalah merusak sumber
daya negara musuh, melatih kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut
peperangan.
Ratu
Elizabeth sendiri bahkan menyatakan bahwa penggunaan negara disponsori
terorisme seperti privateering merupakan
cara ideal untuk memukul mundur musuh dan kemudian menyembunyikan diri.[3] Setelah perang Spanyol
usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa tidak diperlukan lagi para privateers. Raja James kemudian mencabut
seluruh Letter of Marquee dan
mengkriminalisasikan pembajak di Laut Lepas. Tindakan ini menyebabkan ratusan privateer kehilangan pekerjaan dan
mencari pekerjaan sebagai pembajak secara penuh. Tanpa adanya negara yang
mengasuh atau menyewa privateers ini,
maka mereka melakukan tindakannya berupa menyerang dan membajak semua negara-negara
tanpa diskriminasi.[4]
Pada
tahun 1856 mayoritas negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar
menandatangani Deklarasi Paris 1856 menyatakan penghapusan terhadap pembajakan
di laut lepas dalam bentuk apapun, termasuk privateering
dan pembajakan di laut lepas yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarari
Paris 1856 ini, timbul konsep bahwa pembajakan di laut lepas merupakan hostis humani generis atau musuh dari
seluruh umat manusia.[5] Pembajakan laut lepas
dalam wilayah barat tidak hanya mempengaruhi Yunani, Spanyol dan Inggris.
Tercatat pula berbagai pembajakan di laut lepas dalam kawasan Eropa Utara dan
Amerika. Dalam kawasan Asia, pembajakan di Laut Lepas terjadi pada kawasan
Timur dan Tenggara. Pada wilayah Asia Timur, pembajakan di Laut Lepas paling
awal tercatat terjadi pada masa Dinasti Han (106 SM -220 M), namun pembajakan
di Laut Lepas diyakini sudah ada sebelum zaman ini. Pembajakan di Laut Lepas
pada masa ini timbul saat ada kesempatan. Pada awal abad ke 17, pembajakan di
Laut Lepas kembali meningkat yakni pada masa peperangan Dinasti Ming dan Qing.
Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan di pantai, dan pemberontakan yang
dilakukan oleh Taiwan dan Vietnam, serta disusul terjadinya Perang Opium pada
tahun 1839-1842. Pada abad ke 20, terjadi perang saudara di China antara
penganut paham nasionalis dengan komunis, sehingga kembali memberikan
kesempatan yang baik bagi pembajak untuk beraksi.[6]
Pada
wilayah Asia tenggara pembajakan di laut lepas marak terjadi pada abad ke 19
dimana para pembajak mencoba membajak kapal-kapal perdagangan milik Eropa.
Pembajakan di laut lepas dalam kawasan ini dilakukan berdasarkan komunitas yang
terorganisasi dan bahkan melibatkan elit-elit lokal. Para pembajak ini
mayoritas beraksi di perairan selat Malaka dan perairan Riau Lingga dan
tercatat pula hingga sampai Kalimantan Utara. [7] Pembajakan di laut lepas
dalam kawasan Asia Pasifik bukanlah fenomena baru. Wilayah timur Puntland di
Somalia sejak dahulu merupakan wilayah maritim yang strategis, sehingga
kegiatan pelayaran dan perdagangan telah beroperasi di wilayah ini. Pada abad
ke 18, Eropa mengunjungi wilayah ini dan merekrut para pelaut setempat yang
dikenal dengan nama pelaut laut merah dan kelompok Marjerteen dan Hyobo.[8]
[1]Alfred S., Bradford, Flying the Black Flag- A Brief History of
Piracy, Westport, Connecticut : Praeger, 2007, Hlm 4.
[2]Thaine Lennox Gentele, Piracy, Sea Robbery and Terrorism: Enforcing
Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, Transportation law Journal,
Vol. 37:199, 2010, Hlm 202-203
[3]Ari triwibowo Yudhoatmojo,
skripsi tentang : Penerapan Yuridiksi
universal untuk menanggulangi dan mengadili pembajakan di laut berdasarkan
resolusi dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa dalam kasus pembajakan di
Teluk Aden, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,
jakarta: Tesis tidak diduplikasikan, 2010
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[8]Lucas Bento, “Toward and International Law of Piracy Sui Generis : How the Dual
Nature of Maritime Piracy to Flourish”, Berkeley Journal of International Law, Vol.29.2,2011,
Hlm. 405
Tidak ada komentar:
Posting Komentar