Penerapan
istilah nationality tidak hanya
diberikan kepada orang tetapi dalam konsep hukum kemaritiman istilah tersebut
juga diberikan terhadap kapal sebagai acuan untuk menentukan hubungan hukum
antara sebuah kapal dengan negara benderanya.
Konsep kebangsaan
diperluas terhadap kapal- kapal karena :
1. Adanya
hak kebebasan dari laut dan pelayaran, di bawah hukum internasional. Hal ini
dikarenakan setiap negara baik yang berpantai ataupun tidak ( Land Lock ) mempunyai hak untuk
melayarkan kapal dengan menggunakan benderanya
2. Kenyataan
bahwa tidak suatu negara yang mempunyai kedaulatan diluar laut wilayahnya.
Sehingga jelas bahwa kapal akan di pisahkan tidak hanya dari pengawasan suatu
negara tetapi juga di laut terlepas dari pelaksanaan peraturan. Itulah sebabnya
kapal harus punya kebangsaan.[1]
Lingkup
berlakunya hukum nasional terhadap kapal-kapal ditandai dengan adanya
kebangsaan suatu kapal. Hal ini menandai bahwa kapal juga diartikan sebagai
subjek hukum yang harus dilindungi layaknya subjek hukum lain pada umumnya.
Oleh karena itu terhadap setiap tindakan hukum yang berlaku diatas kapal
haruslah mengikuti segala ketentuan perundang-undangan yang ada. Hukum Nasional
sebagai ruang berlakunya hukum terhadap kapal didasarkan pada :
a.
Asas Legalitas
Asas legalitas merupakan salah satu asas yang
penting dan sentral dalam ilmu hukum. Dalam asas ini di kenal doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia
rege poenali, yang memiliki arti bahwa segala sesuatu tindakan tidak dapat
dijatuhkan pidana tanpa sebelumnya ditetapkan dalam suatu undang-undang.
Doktrin tersebut sejalan pula dengan ajaran
Lex Certa yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan jangan diartikan
lain selain daripada maksud diadakannya substansi peraturan undang-undang
tersebut. Asas legalitas merupakan salah satu pilar utama bagi setiap negara
yang menghargai hukum sebagai supremasi, akan tetapi terhadap kejahatan seperti
criminal extra ordinary sering
digunakan oleh penguasa untuk memnfaatkan hukum pidana secara sewenang-wenang
yakni pemanfaatan implementasi asas retroaktif untuk memenuhi kebutuhan
politis. Padahal makna yang terkandung dalam asas legalitas yang universalitas sifatnya adalah
(1) tiada pidana tanpa peraturan perundang-undangan sebelumnya, (2) larangan
adanya analogi hukum, dan (3) larangan berlaku surut suatu undang-undang atau
yang dikenal sebagai larangan berlakunya asas
retroaktif. [2]
b.
Asas Teritorial
Asas
ini diatur dalam pasal 3 KUHP dan diperluas dengan asas extra- teritorial yang
ada di dalam ketentuan pasal 4 ayat (4) KUHP ( dalam kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia ) diluar wilayah Indonesia. Asas teritorial ini merupakan asas
yang mendapatkan prioritas pertama sebab setiap wilayah memiliki kedaulatan di
wilayahnya masing-masing. Disamping itu, apabila dihubungkan dengan hukum acara
pidana maka untuk kepentingan pengadilan, asas wilayah penting guna menemukan
alat bukti dengan mudah sehingga akan menjamin adanya fair trial. Ruang lingkup wilayah meliputi darat, laut, dan udara
yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya
secara tuntas, baik secara geografis berdasarkan wawasan nusantara maupun
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang diakui.[3]
c.
Asas Nasional Aktif
Asas
ini merupakan asas yang penting untuk dipertahankan, hal ini maksudkan untuk
menumbuhkan rasa patuh hukum bagi setiap warga negara Indonesia dimana pun ia
berada, dengan batasan batasan asas kejahatan rangkap ( double criminality) untuk tindak pidana pada umumnya. Bagi tindak
pidana yang yang berkaitan dengan atau terhadap keamanan negara Indonesia
dikecualikan dari asas double criminality,
sebab tindak pidana sejenis ini biasanya tidak merupakan tindak pidana di luar
negeri, maka demi pengamanan kepentingan negara, terutama apabila dilakukan
oleh warga negara Indonesia, maka perbuatan- perbuatannya itu wajib dipidana
dimanapun pidana itu dilakukannya.
Tindak
pidana perompakan dan pembajakan di laut baik yang dilakukan oleh kapal-kapal
asing maupun kapal-kapal domestik telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran
domestik maupun internasional. Penindakan kejahatan perompakan dan pembajakan
laut tersebut, didasarkan pada berlakunya delik-
delik KUHP yang berkaitan dengan “ Kejahatan Pelayaran” dengan menggunakan
suatu istilah yang sama yaitu sebagai delik “ pembajakan”. Selama ini persepsi
secara umum mengenai tindak kekerasan di laut selalu di identikkan dengan
istilah pembajakan laut ( piracy ),
meskipun dalam dalam kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindak
kejahatan perompakan di laut ( sea
robbery ). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama hakekatnya, dan
kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu peristiwa tindak kekerasan
di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan mengenai wilayah yurisdiksi
tempat terjadinya ( locus delicti )
tindak kekerasan di laut tersebut. Pembajakan
di laut mempunyai dimensi internasional karena biasa digunakan untuk
menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas. Sedangkan perompakan
di laut lebih berdimensi nasional karena merupakan tindak kekerasan di laut
yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu negara, dengan tujuan yang berbeda
pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup transnasional.
Pengaturan mengenai perompakan dan
pembajakan di laut diatur dalam pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP,
diantaranya :
1. Pasal 439 KUHP
(1) Diancam
karena melakukan pembajakan di pantai dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan
terhadap kapal lain atau terhadap orang
atau barang diatasnya, di dalam wilayah laut Indonesia.
(2) Wilayah
laut Indonesia yaitu wilayah “ teritorial
zee en maritime kringen Ordonantie ” 1939.
2. Pasal 440 KUHP
Diancam
karena melakukan pembajakan dipantai dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun, barangsiapa yang didarat maupun diair sekitar pantai atau muara
sungai, melakukan perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang disitu,
setelah lebih dahulu menyeberangi lautan seluruhnya atau sebagiannya untuk
tujuan tersebut.
3. Pasal 441 KUHP
Diancam
karena melakukan pembajakan disungai, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan
disungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, setelah
datang ketempat dan untuk tujuan tersebut kapal dari tempat lain.
4. Pasal 438 KUHP
(1)
Diancam karena melakukan
pembajakan dilaut :
Ke-1 : Dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa masuk bekerja sebagai
mahkoda atau menajalankan pekerjaan itu di
sebuah kapal, padahal diketahui bahwa kapal itu diperuntukkan untuk
digunakan melakukan perbuatan kekerasan dilaut bebas terhadap kapal lain atau
terhadap orang lain dan barang diatasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari
sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk angkatan laut negara yang diakui.
Ke-2 : dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan
atau penggunaan kapal itu, masuk kerja menjadi kelasi kapal tersebut, atau
dengan sukarela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelah diketahui hal itu
olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut.[4]
Dalam
kenyataannya, ketentuan dalam KUHP tersebut menggunakan istilah “ pembajakan”,
untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas, maupun tindak kekerasan yang
dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Sebagai produk perundang-undangan yang
berasal dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku, pengaturan
pembajakan dalam KUHP Indonesia tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh
dengan perkembangan pengaturan secara internasional dan perkembangan kebutuhan
untuk kondisi dan situasi saat ini.[5]
Indonesia
merupakan salah satu negara yang meratifikasi konvensi UNCLOS dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS
1982. Proses ratifikasi merupakan salah satu cara untuk memasukkan hukum
internasional menjadi hukum nasional. Dengan
diratifikasinya suatu konvensi maka isi dari konvensi tersebut akan mengikat
negara pihak dari konvensi itu. Akan tetapi pengecualian dapat dilakukan dengan
melakukan reservasi atau deklarasi terhadap suatu pasal. Oleh karena itu,
dengan diratifikasinya UNCLOS sebagai Undang-undang maka Indonesia terikat pada
setiap ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982 termasuk ketentuan yang mengatur
tentang pembajakan.
[1] Jurnal kemaritiman, pengertian hukum – sumber hukum – pembidangan
hukum . diakses pada tanggal 20 Juni 2018
[2]Indriyanto
Seno Adji,“Perspektif Mahkamah Konstitusi
Terhadap Perkembangan Hukum Pidana” dalam Mardjono Reksodiputro, Pengabdian
Seorang Guru Besar Hukum Pidana, Jakarta, Bidang Studi Hukum Pidana Sentra HAM
FHUI Badan Penerbit FHUI 2007, hlm. 235
[3]Lucky
Rezeky. Skripsi tentang “Kajian Hukum
Terhadap Tindak pidana Pembajakan Kapal Asing di Perairan teritorial Indonesia”
Kendari : Universitas Hale Uleo,2017, hlm.47
[4]Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
[5]Media
Hukum/Vol.V/No.1/Januari-maret/2005. No ISSN 1411-3759
Tidak ada komentar:
Posting Komentar